Prospek
Konsolidasi Demokrasi
Munafrizal Manan ; Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia
|
KOMPAS,
27 Desember 2012
Setelah menggelar tiga kali pemilihan umum
sejak era Reformasi bergulir, dan kini tengah menyongsong pemilu keempat pada
2014, Indonesia masih berkutat pada ketidakmenentuan prospek konsolidasi
demokrasi.
Konsolidasi demokrasi tak hanya mencakup
dimensi liberalisasi politik dan kontestasi elektoral. Jika hanya dua aspek
ini sebagai barometer konsolidasi demokrasi, tak ada keraguan mengatakan
demokrasi Indonesia telah terkonsolidasi. Sebab, sejauh ini masih ada ruang
kebebasan politik dan ritual pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah
secara periodik. Praktik demokrasi pasca-rezim Orde Baru didominasi gegap
gempita dua dimensi ini.
Lantas, mengapa setelah dua kebutuhan dasar
berdemokrasi itu terpenuhi praktik demokrasi Indonesia masih terperangkap
dalam pusaran masalah? Menurut hemat saya, ini terjadi karena demokrasi
dipahami dan dihayati sekadar ”demokrasi”, bukan demokrasi konstitusional”.
”Demokrasi” mengagungkan liberalisasi
politik dan kontestasi elektoral. ”Demokrasi konstitusional” menjunjung
tegaknya konstitusi dalam semua aspek kehidupan bernegara dan berbangsa.
Titik lemah praktik demokrasi kita pada dimensi ”konstitusional” ini. Kita
belum serius berkonstitusi!
Keseriusan berkonstitusi adalah esensial
bagi demokrasi baru seperti Indonesia. Studi tentang demokratisasi
menggarisbawahi pentingnya konstitusionalisme dalam setiap fase
demokratisasi. Mulai dari fase transisi, fase instalasi, hingga fase
konsolidasi demokrasi, konstitusionalisme adalah batu uji kualitas
demokratisasi.
Juan J Linz, Alfred Stepan, dan Richard
Gunther (1995: 83-84) menekankan pentingnya konstitusionalisme dalam
berdemokrasi. Larry Diamond (1999: 67-69) meyakini bahwa salah satu indikator
konsolidasi demokrasi adalah ketika semua komponen dalam negara setuju
mematuhi konstitusi. Dalam studi lain, Linz dan Stepan (1996: 5-10)
menyimpulkan, dimensi konstitusional merupakan salah satu prasyarat penting
mewujudkan demokrasi terkonsolidasi.
Menghidupkan Teks Mati
Dalam kasus Indonesia, negara dan
masyarakat sama-sama mengidap problem berdemokrasi konstitusional. Gurita
korupsi di kalangan elite hingga intoleransi terhadap kaum minoritas adalah
contoh bahwa konstitusionalisme belum memiliki roh dalam praktik kenegaraan
dan kebangsaan kita sehari-hari. Negara dan masyarakat masih berjarak dengan
demokrasi konstitusional. Ini merintangi laju demokrasi menuju konsolidasi
demokrasi.
Konstitusionalisme sebagai bagian inti dari
demokrasi konstitusional senantiasa menyertai perjalanan sejarah Indonesia
modern. Konstitusionalisme menjadi unsur penting sejak ide dan konsep
Indonesia merdeka mulai dirumuskan oleh para pendiri negara. Debat sengit
dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) ketika merumuskan UUD 1945, kemudian pengesahannya pada 18 Agustus
1945, membuktikan para pendiri negara memancang itikad menjunjung
konstitusionalisme. Konstitusionalisme juga menjadi bagian penting dalam
proses demokratisasi Indonesia pasca-Orde Baru, yang diwujudkan melalui empat
kali amandemen/ perubahan UUD 1945.
Masalahnya, sejak Indonesia merdeka hingga
kini, kita belum bersungguh melaksanakan semua isi konstitusi. UUD 1945
pra-amandemen yang tidak demokratis pun dulu tak diterapkan secara murni dan
konsekuen. Konstitusi ditegakkan secara selektif, distortif, dan manipulatif.
Pasca-amandemen UUD 1945 kita punya
momentum mewujudkan the living constitution, yaitu konstitusi yang bisa
diterapkan sehingga konstitusi tidak menjadi kabur dan bisu (Balkin, 2009)
serta tidak ada kesenjangan antara teks konstitusi dan praktik konstitusi
(Lane, 1996). UUD 1945 pasca-amandemen relatif memenuhi prinsip-prinsip
konstitusionalisme modern yang demokratis. Di dalamnya ada prinsip supremasi
konstitusi, pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan jaminan hak-hak
konstitusional warga negara.
Ironisnya, dengan konstitusi seperti itu
pun, kita masih belum juga serius berkonstitusi. Legislator tetap sering
membuat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi sehingga banyak
undang-undang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah belum
sepenuhnya memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara yang dijamin
konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi pun tak mampu
memastikan semua isi konstitusi ditegakkan dan putusannya dipatuhi.
Maka, agenda tersisa dari demokratisasi
Indonesia adalah membuat teks mati dalam UUD 1945 menjadi teks hidup pada
semua aspek kehidupan bernegara dan berbangsa. Di situlah prospek konsolidasi
demokrasi Indonesia bergantung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar