Habibie dan
Harga Diri Bangsa
Munawir Aziz ; Alumnus Center for Religious and
Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
(UGM), Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 27 Desember 2012
Di akhir tahun ini, harga diri bangsa Indonesia dipertaruhkan.
Tidak hanya pada level ekonomi, hukum, dan kebudayaan, namun juga pada ranah
diplomasi internasional. Pelecehan terhadap mantan presiden Indonesia BJ
Habibie oleh mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin menjadi
kontroversi di penghujung tahun.
Bagaimana tidak, ketika panggung politik Indonesia ramai oleh
kisah perselingkuhan kekuasaan antara pejabat korup, politikus busuk, dan
pejabat rakus, yang berkongkalikong mengeruk uang negara, muncul kisah
tentang penghinaan atas mantan kepala negara Indonesia.
Kisah penghinaan terhadap Habibie bermula dari kunjungannya ke
Universiti Selangor, sebagai tamu kehormatan Anwar Ibrahim, tokoh oposisi
Malaysia. Dari kunjungan tersebut, mantan Menteri Penerangan Malaysia
Zainudin Maidin berkomentar lewat tulisan di media Utusan Malaysia, Senin
(10/12).
Esai tersebut dianggap kontroversial karena menyebut BJ Habibie
sebagai pengkhianat bangsa Indonesia setelah membiarkan Timor Timur pisah
dari Indonesia.
Dalam tulisannya, Zainudin menyebut Habibie sebagai
"penggunting dalam lipatan" terhadap Soeharto, penyebab perpecahan
Indonesia dengan munculnya 48 partai politik. Zainudin juga menyebut Habibie
pengkhianat bangsa karena memenuhi desakan Barat menggelar jajak pendapat di
Timor Timur.
Yang paling ironis, Zainudin menyebut Habibie dan Anwar Ibrahim
sebagai sesama “anjing imperialisme” (the dog of imperialism) karena telah
bersedia menyerahkan negaranya ke lembaga Dana Moneter Internasional (IMF)
lewat kebijakan-kebijakan politik ketika keduanya memegang otoritas
pemerintahan.
Martabat Bangsa
Komentar Zainudin sebagai mantan pejabat negara Malaysia
terhadap Habibie, ikon teknologi dan mantan kepala negara Indonesia, perlu
disikapi dengan bijaksana. Jika tidak ditanggapi dengan kepala dingin, akan
muncul reaksi politik yang radikal, demonstrasi massa, dan kemudian berujung
pada memanasnya hubungan politik kedua negara serumpun.
Penghinaan terhadap Habibie perlu dilihat dalam konteks realitas
politik dan konstelasi diplomasi internasional antarkedua negara. Pada titik
ini, penghinaan terhadap mantan kepala negara tidak bisa dibenarkan, yang
jika direnungkan dapat dianggap menghina martabat bangsa.
Penghinaan juga tidak dapat dibenarkan dalam komunikasi politik,
yang dapat merangsang konflik secara luas. Penghinaan politik dari negara
Malaysia sudah sering terjadi, semisal pada kasus pertahanan wilayah (kasus
Ambalat, Sipadan-Ligitan), seni budaya (fenomena reog), dan persoalan politik
sepak bola yang memanaskan hubungan diplomatik.
Namun, sebagai negara dengan tradisi politik demokratik yang
mengedepankan nilai persaudaraan, bagaimana kita menyikapinya? Penghinaan
perlu dilihat sebagai momentum untuk melihat watak dan karakter bangsa.
Jika yang dihina balas menghina, posisinya akan sama rendah.
Sebaliknya, warga Indonesia perlu memberi pelajaran moral kepada politikus
Malaysia dengan memberi ajaran etik tanpa kekerasan. Inilah politik santun
namun tegas yang perlu disampaikan sebagai citra diplomasi Indonesia.
Di sisi lain, jalur politik formal perlu dilakukan oleh DPR
maupun presiden, dengan menegur keras Zainudin, sebagai mantan pejabat
Malaysia.
Jalur politik formal ini penting dilakukan untuk menunjukkan
martabat bangsa dengan kekuatan politik. Di satu sisi, warga Indonesia
menyampaikan pesan damai berupa pelajaran etik. Di sisi lain, pada jalur
politik formal, harus ada teguran keras untuk memberi pelajaran bagi perilaku
politik pejabat Malaysia.
Figur Negarawan
Di tengah polemik ini, perilaku santun ditunjukkan oleh Habibie,
yang justru santai dengan tudingan dari Zainudin. “Kalau ada yang menghina
Anda, anggap aja sebagai sebuah pujian, bahwa dia berjam-jam memikirkan Anda,
sedangkan Anda tidak sedetik pun memikirkan dia,” ungkap mantan presiden
kelahiran Pare-Pare (Sulawesi Selatan), 25 Juni 1936 ini.
Sikap politik Habibie yang santun terhadap tudingan keras
Zainuddin menjadi pelajaran moral yang penting bagi warga Indonesia di tengah
diplomasi politik yang memanas. Habibie memilih untuk tegar dan tenang, tanpa
upaya membalas dengan ucapan. Justru, sikap tenang Habibie dan kontribusinya
dalam konteks teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi jawaban
yang konkret.
Saya kira, kasus penghinaan terhadap Habibie hanya salah satu kisah
tentang bagaimana seharusnya warga Indonesia dan politikusnya menunjukkan
sikap politik elegan. Perlu ada teladan dari negarawan untuk menuntun jalan
politik di negeri ini. Kita perlu tegas dan keras, namun jangan melupakan
sikap toleran dan persaudaraan yang menjadi karakter dasar kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar