KONSTITUSI DAN NEGARA
KESEJAHTERAAN
Depolitisasi
Masyarakat Sipil
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan
berkah bagi negeri ini karena telah memainkan peran kultural sebagai gerakan
masyarakat sipil.
Dedikasi keduanya dalam bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, dan kebudayaan sudah tak diragukan lagi. Dalam konteks
kebangsaan, NU dan Muhammadiyah telah menegaskan Pancasila, UUD 1945, Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar-pilar
kebangsaan yang final. Kesadaran ini dibangun dari penghayatan terhadap
simbiosis mutualisme antara keislaman dan keindonesiaan. Salah satu kaidah
yang mengakar kuat dalam tradisi NU, mencintai Tanah Air, adalah ekspresi
penghayatan keimanan seorang muslim (hubb
al-wathan min al-iman).
Eksistensi NU dan Muhammadiyah sebagai
distingsi dan eksepsionalisme dari disharmoni antara Islam dan masyarakat
sipil. Di dunia Islam lain, khususnya di Timur Tengah, Pakistan, Banglades,
dan Malaysia, gerakan keislaman selalu identik islamisasi negara. Namun, NU
dan Muhammadiyah justru menolak arus mainstream dengan berperan aktif pada
ranah kultural untuk memperkuat solidaritas kebangsaan. Selain itu, pilihan memperkuat
masyarakat sipil sebagai bentuk keberpihakan terhadap hak-hak kaum tertindas
(al-ma’un/al-mustad’afin), yang
bersumber dari pembacaan otentik terhadap problem keumatan.
Konsekuensi dari pilihan itu sangat
positif. NU dan Muhammadiyah punya basis sosial yang mengakar kuat di tengah
masyarakat. Pada masa kemerdekaan, kedua ormas ini saling bahu-membahu
melawan penjajahan dalam rangka menyongsong dan mengawal kemerdekaan. Pada
masa Orde Baru, keduanya menjadi kekuatan kontrol dan penyeimbang (check and balance system) terhadap
rezim otoriter.
Namun, seiring perjalanan waktu
pasca-Reformasi, kedua ormas yang merupakan ikon gerakan masyarakat sipil ini
mulai menghadapi persoalan serius. Terbukanya kanal-kanal demokrasi di satu
sisi kian membuka peluang bagi peran masyarakat sipil. Namun, di sisi lain,
demokrasi justru menghambat peran-peran kultural karena tarikan ke ranah
politik yang begitu kuat.
Godaan syahwat politik
Sebagai organisasi yang punya pengaruh di
akar rumput, kedua ormas punya daya tarik cukup kuat di mata partai politik.
Godaan untuk naik ke atas panggung perebutan kekuasaan tidak terelakkan
karena politik dipahami sebagai instrumen penting dalam menunjang perjalanan
roda organisasi. Bahkan, aturan main yang menegaskan bahwa ormas harus steril
dari politik praktik sesuai amanat khitah cenderung dilanggar tanpa ada
sanksi serius. Untuk menduduki kursi kekuasaan, tidak sedikit elite menyeret
kedua ormas tersebut ke ranah politik praktis. Syahwat politik yang
berkecambah dalam kedua ormas ini menyebabkan visi dan misi masyarakat sipil
sebagai kontrol dan penyeimbang kekuasaan terbengkalai.
Salah satu masalah besar yang dihadapi
negeri ini yaitu korupsi dan kemiskinan. Kedua masalah ini telah menjadi
problem akut yang dihadapi bangsa ini. NU dan Muhammadiyah telah mempunyai
program kemitraan dalam rangka penghapusan korupsi. Bahkan, kedua ormas
mengeluarkan fatwa yang menggema di jagat politik bahwa koruptor adalah kafir
karena itu seorang koruptor yang meninggal dunia tak perlu dishalati. Sayangnya,
fatwa ini laksana angin berlalu karena tak mampu memengaruhi ruang politik,
yang sebagian mereka adalah kader-kader berlatar belakang kedua ormas ini.
Apalagi muncul anggapan, mereka yang
berlatar belakang NU dan Muhammadiyah tidak punya distingsi yang mencolok
saat terjun dalam dunia politik. Mereka bukan mewarnai dunia politik dengan
nilai-nilai masyarakat sipil yang telah mengakar kuat dalam tradisi kedua
ormas ini, melainkan justru terbawa arus dalam politik transaksional.
Konsekuensinya, ranah politik kehilangan figur teladan yang mampu mewujudkan
politik transformatif, terutama dalam rangka melayani rakyat dan mengangkat
derajat mereka.
Memperkuat Gerakan
Karena itu, dalam rangka memperkuat kembali
gerakan masyarakat sipil sebagai pilar penting dalam demokratisasi dan
tercapainya cita-cita para pendiri bangsa, diperlukan langkah serius untuk
melakukan depolitisasi masyarakat sipil. Pertama, kedua ormas terbesar di
negeri ini, NU dan Muhammadiyah, harus mampu memanfaatkan kader-kadernya
untuk memperkuat visi dan misi organisasi sebagai gerakan masyarakat sipil.
Dalam beberapa tahun terakhir, kedua ormas
ini melahirkan ratusan sarjana dalam berbagai disiplin keilmuan, baik lulusan
perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri. Mereka harus dilibatkan
secara aktif dalam memberdayakan rakyat sesuai keahlian masing-masing.
Langkah ini penting agar mereka tak tergoda ingar-bingar politik.
Kedua, memperkuat amal usaha sebagai
langkah membangun kemandirian ekonomi. Harus diakui, problem akut yang
dihadapi oleh gerakan masyarakat sipil, khususnya NU dan Muhammadiyah, adalah
soal sumber dana. Kedua ormas ini biasanya mengandalkan bantuan asing atau
anggaran pemerintah. Ketidakmandirian dalam sektor ekonomi menyebabkan
perannya sebagai gerakan masyarakat sipil tidak maksimal, karena terikat
dengan kepentingan pihak lain. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius
untuk mengukuhkan kemandirian finansial.
Ketiga, mengubah paradigma yang selama ini
sebagai ”pengemis jabatan” kepada pemerintah menjadi gerakan masyarakat sipil
yang mempunyai daya tawar terhadap pemerintah. Langkah ini penting agar
pemerintah tak melihat gerakan masyarakat sipil sebagai entitas yang mampu
diintervensi, bahkan pada akhirnya pemerintah mesti ditekan agar melakukan
peran-peran pelayanan dan keberpihakan terhadap warga negara.
Depolitisasi gerakan masyarakat sipil,
khususnya bagi NU dan Muhammadiyah, mendesak dilakukan dalam rangka
mengukuhkan kembali gerakan masyarakat sipil yang dalam beberapa tahun
pasca-Reformasi mengalami kelesuan akibat masalah yang dihadapi, baik masalah
kemandirian maupun masalah keterlibatan dalam politik praktis. Alangkah
eloknya jika politik yang dimainkan oleh kedua ormas terbesar di negeri ini
menjadi pendorong terwujudnya etika publik dalam politik.
Demokrasi yang sedang bergemuruh di negeri
ini sejatinya tidak hanya menjadi perayaan secara prosedural yang hiruk-pikuk
saat pemilihan umum/pemilihan umum kepala daerah, tetapi dapat mewujudkan
demokrasi substansial dalam rangka menegakkan pluralisme, hak asasi manusia,
kesetaraan jender, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini terlihat absen dalam
perhelatan demokrasi yang menyebabkan demokrasi berada di persimpangan jalan.
Perlu dorongan kuat agar politik dijadikan
sebagai instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan publik (al-mashlahal al-’ammah) dan persaingan dalam bingkai kebajikan (istibaq al-khayrat). Politik bukanlah
alat merampok uang rakyat, melainkan alat untuk mencapai cita-cita bersama
sebagaimana dicetuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi setiap warga
negara, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan
mewujudkan perdamaian dunia.
Prinsip-prinsip adiluhung dan luhur tersebut mulai absen dalam realitas kehidupan
sosial-politik. Karena itu, tugas gerakan masyarakat sipil, khususnya NU dan
Muhammadiyah, menjadi pengingat dan kontrol efektif terhadap pemerintah agar
menjalankan fungsi dan tugas sebagai pelayan rakyat. Semua itu bisa dilakukan
jika NU dan Muhammadiyah benar-benar mampu menjadi ormas mandiri, apolitis,
rasional, dan transformatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar