2013 Tahun
Penentuan
Yudi Latif ; Pakar Politik
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Desember 2012
AKU memohon pada seorang tua yang berdiri di ambang tahun
baru, ‘Berilah aku cahaya yang memungkinkan melangkah aman menuju kegelapan’.
Orang itu pun menjawab, ‘Pergilah menuju kegelapan dan letakkan tanganmu pada
Tangan Tuhan. Hal itu akan lebih baik bagimu ketimbang cahaya, dan lebih aman
daripada jalan yang dikenal’.” Begitulah King George VI memberi wejangan
menyambut Hari Natal 1939. Sebuah tamsil bagaimana sepatutnya bangsa Inggris
menghadapi pergantian tahun dalam suasana krisis berkepanjangan, menyusul
depresi ekonomi dunia dekade 1930-an.
Sebuah krisis muncul karena warisan sisi-sisi gelap masa
lalu yang tak sepenuhnya kita kenali. Untuk mengenali sebab-sebabnya, kita
harus berani menyusuri lorong gelap masa lalu untuk menemukan visi dan
formula perubahan yang tepat, bukan mengandalkan resep-resep umum yang telah
dikenal. Untuk menemukan pencerahan di belam lorong kelam, kita perlu
ketulusan dan kepasrahan pada bimbingan Sang Mahapetunjuk.
Bagi mereka yang memiliki keberanian dan kepasrahan,
krisis yang diwariskan itu bukanlah alasan untuk mencari kambing hitam,
melainkan membuka peluang bagi perubahan fundamental. Untuk melakukan
perubahan fundamental itu terlebih dahulu harus disadari bahwa apa yang kita
petik hari ini merupakan buah dari apa yang kita tanam di masa lalu; siapa
menebar angin akan menuai badai, siapa menciptakan drama akan mendapatkan
karma.
Sepanjang 2012, publik menyaksikan arus balik dari suatu
pemerintahan yang berdiri di atas pilar kebohongan. Jika pemilihan umum
sebagai input demokrasi diwarnai aneka ‘kebohongan’, kekuasaan akan
menggunakan kebohongan sebagai cara mempertahankan kekuasaan.
Namun, kebebalan setiap rezim kebohongan ialah kepercayaan
bahwa rakyat selalu bisa dibohongi. Padahal rakyat sebagai ‘suara Tuhan’
tidak pernah tidur. Serapi apa pun kebohongan ditutupi, selalu ada risiko
kebocoran. Secara perlahan, partai politik yang dalam janji kampanyenya
paling lantang mengatakan, “Tidak,” pada korupsi dirundung skandal korupsi.
Orang-orang dari lingkaran inti partai itu satu per satu terbongkar menjadi
bagian dari sindikat korupsi. Lebih dari itu, sesuatu kekuasaan yang dimulai
dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan di tingkat bawah.
Tidak hanya berhenti pada korupsi, orang-orang dari
lingkaran dalam kekuasaan itu juga secara dingin terus , memperlihatkan
ketegaan untuk memanipulasi memperlihatkan ketegaan untuk memanipulasi nalar
publik. Dalam menghadapi ketidakpercayaan publik pada kinerja pemerintah,
yang mereka kembangkan ialah sikap apologetika. Apologetika adalah suatu
sikap untuk mengambil sebagian pandangan yang memperkuat pendakuan (klaim)
seraya menolak sebagian lain yang melemahkan. Seperti sikap pemerintah yang
begitu doyan mengumbar penilaian dunia luar yang menguntungkan, tetapi begitu
reaktif menolak penilaian lain yang mementalkan klaim keberhasilan mereka.
Sikap seperti itu melahirkan standar ganda. Di satu sisi,
pemerintah membanggakan keberadaan Indonesia dalam kelompok G-20. Di sisi
lain, dalam menetapkan ukuran kemiskinan di negeri ini, pemerintah tidak
mengikuti standar yang dipakai dalam kelompok elite itu, tetapi memakai
ukuran yang berlaku di negara-negara terbelakang.
Pemerintah bangga dengan penilaian bahwa Indonesia
merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi memicingkan
pandangan terhadap indeks demokrasi global dari Economist Intelligence Unit
pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang
diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan
(30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy (cacat
demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak bersih,
pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman
pluralisme.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya
melupakan kesenjangan yang kian melebar dengan gini ratio mencapai 0,41%
(tertinggi dalam puluhan tahun terakhir). Diabaikan juga kemunduran Indonesia
dalam indeks korupsi yang pada tahun lalu menempati urutan ke-100 dari 182
negara, dan dalam indeks pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di
urutan ke-124 dari 187 negara.
Sikap apologetika, menempatkan penilaian luar sebagai alat
pencitraan, bukan sarana mawas diri. Sikap seperti itu mengekang pencapaian
kebenaran dan kedewasaan. Kebenaran diraih melalui ketidaktertutupan.
Kedewasaan ditempa melalui kesediaan menginsafi sisi terlemah dari diri
sendiri.
Celakanya, kecenderungan pemerintah untuk menutupi
kenyataan dan menyadari kelemahannya itu diberi peneguhan oleh akademisi
lingkar dalam istana. Jika Joseph Stiglitz menganjurkan pemimpin politik mau
terlibat dalam menganjurkan pemimpin politik mau terlibat dalam forum-forum
ilmiah agar kebijakannya bersifat objektif, para ilmuwan di lingkaran dalam
istana justru cenderung mengabaikan sikap kritis dan objektivitas di hadapan
kuasa.
Sikap defensif terhadap kritik dan objektivitas itulah
yang membuat permasalahan tidak sungguh-sungguh diatasi, tetapi ditutupi
rekayasa pencitraan. Selama tahun 2011, tokohtokoh lintas agama dan Forum
Rektor telah mengeluarkan peringatan akan situasi genting yang mengancam
bangsa, yakni posisi Indonesia di ambang negara gagal. Namun, peringatan
seperti itu justru ditanggapi sinis oleh ilmuwan di lingkaran dalam istana
yang menuduhnya sebagai celoteh busuk ‘gagak hitam’.
Ternyata peringatan tokoh-tokoh bangsa itu bukanlah isapan
jempol semata. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi
Indonesia dalam Failed States Index 2012 memburuk, dari urutan ke-64 pada
tahun lalu menjadi urutan ke-63 pada 2012.
Yang lebih merisaukan bukanlah penurunan indeks itu
sendiri, melainkan cara pemerintah dan ilmuwan lingkaran dalam istana
menanggapi indeks tersebut. Sikap apriori dan kritisisme tanpa pemahaman
mendalam atas basis penilaian indeks tersebut dikembangkan secara
reaktif dengan maksud melemahkan validitasnya.
Padahal, dengan
mengedepankan sikap hanif (membuka diri pada kebenaran) orang awam pun dengan
mudah bisa meraba berbagai fenomena
negara gagal di negeri
ini. Ciri-ciri Indonesia sebagai negara di ambang
kegagalan terlihat dari
performa pemerintah pusat yang lemah atau tidak
efektif dalam
mengendalikan cabinet dan pemerintah daerah, kelumpuhan
pelayanan publik,
penyebarluasan korupsi dan kriminalitas, eksodus
buruh migran, dan
memburuknya kesenjangan ekonomi.
Korupsi Politik Menggila
Tahun 2013 merupakan tahun penentuan bagi pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menentukan nilainya dalam sejarah Republik.
Namun, pada tahun ini pula kegawatan korupsi politik akan semakin menggila
seiring dengan persiapan kontestasi Pemilu 2014. Tahun 2013 juga kelihatannya
akan diwarnai ‘kegaduhan politik’ karena terbongkarnya keterlibatan
‘aktoraktor kelas kakap’ dalam skandal megakorupsi yang terus dibiarkan
menggantung.
Sementara itu, para aspiran kekuasaan akan berlomba
mengundi peruntungan dengan saling curi kesempatan. Tak segan dengan menabrak
lampu merah dan membobol keuangan negara, yang menimbulkan tubrukan
kepentingan di persimpangan jalan. Maju kena, mundur kena; semua pengemudi
kendaraan bisa saling mengunci, berpotensi menimbulkan gridlock dalam tata
hubungan kenegaraan, yang menimbulkan kemacetan di semua jalur.
Padahal 2013 juga merupakan titik rawan dalam perkembangan
demokrasi Indonesia. Kita menghadapi titik genting perjalanan 15 tahun
transisi demokrasi, yang jika gagal mengelolanya bisa berayun kembali menuju
anarki atau tirani. Tingkat kepercayaan publik pada demokrasi dan pemerintah
berada di titik nadir, yang bisa mengancam keberlangsungan demokrasi.
Seperti diingatkan Robert Maynard Hutchins, “Kematian
demokrasi bukanlah karena pembunuhan oleh penyergapan secara tiba-tiba,
melainkan merupakan kepunahan secara perlahan yang disebabkan oleh apatis,
ketakhirauan, dan kemelaratan.“ Kita juga dihadapkan pada tantangan global
yang kian kencang menggedor pintu: tantangan Asian free trade, AFTA,
pemenuhan MDGs, dan berbagai tekanan kapitalisme global yang jika gagal dihadapi,
bisa menimbulkan kerugian besar bagi bangsa ini.
Menyusuri lorong gelap masa lalu tidaklah dimaksudkan
untuk membuat kita kehilangan harapan. Pengalaman menjadi Indonesia
menunjukkan spirit perjuangan memiliki kemampuan yang tak terbatas untuk menghadapi
berbagai rintangan karena adanya harapan. Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan
memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan semangat tetap
menyala.
Maka, seperti tertulis dalam Injil Matius (6:34), “Jangan
cemaskan esok hari karena hari esok akan mencemaskan dirinya sendiri.“
Dikatakan pula oleh Nabi Muhammad, “Sekiranya engkau tahu kiamat terjadi esok
hari, sedangkan di genggaman tanganmu ada benih, tanamkanlah.“
Seorang muda bertanya kepada syekh tua yang sedang menanam
pohon. “Untuk apa menanam sesuatu yang tuan tak akan menikmati buahnya?“
Syekh itu pun menukas, “Apakah yang kamu makan ialah hasil yang kau tanam
sendiri?“ Kecemasan akan hari esok hanya bisa diatasi dengan menanam
kebajikan hari ini. Jika pandangan kita ke depan digayuti kabut kerisauan dan
pesimisme, sebab utamanya karena kita berhenti menanam harapan untuk masa
depan.
Waktu bukanlah keabadian, sekadar labirin tanda tanya yang
di setiap ujung jeda dan pintunya selalu sisakan misteri. Akan tetapi, setiap
jejak tidaklah sia-sia. Seperti samudra bermula dari tetes air. Setiap darma
memberi harapan masa depan. Lukisan masa depan adalah pilihan kita
menggoreskan warna pada kanvas masa kini. ●
|
makanya saya tidak suka sama politik
BalasHapusmereka yg di atas hanya tukang duduk n makan
mending jadi golput saja, tukang kuli bangunan saja kalau tidak terpakai kerjanya di pecat sama yg nyuruh, tukang cuci juga kalo kurang bersih ya di berentiin kan
nah mereka yg jdi antek2(PNS SAMPAI PRESIDEN) Kerjanya apa coba
mereka kerja ke siapa?
mereka yg buat aturan, mereka yg nyalonin diri mereka yg duduk di kursi semuanya di buat dan di atur oleh mereka
lalu siapa yg punya negri, pada siapa mereka mengabdi, seperti kuli bangunan dan kuli nyuci mereka punya majikan, majikan mereka adalah negri ini, siapa pemilik negri ini, apa sukarno, atau suharto atau mungkin sby, BUKAN pemiliknya saya, kami, kamu, mereka, dan semua semua semua jelasnya KAMI RAKYAT YG KALIAN SURUH UNTUK MENUNJUK DIRI KALIAN SENDIRI SUPAYA JADI PEMIMPIN KAMI, namun pantaskah kalian,kamu, mereka, dan penguasa penguasa sampah mandul dan lemah juga tiada amanah seperti ANJING ANJING EH salah anda anda sebagai peminpin kami?
jadi liat tukang cuci+kuli bangunan mereka di pecat karena kinerjanya kurang baik
tapi anjing anjing politik dari awal perangkat desa sampai presiden tiap hari tak pernah mendengar suara kami(pemilik negri ini) tapi kami tidak bisa memecat kalian, tidakah kalian malu pada kami pada leluhur yg telah memerdekakan negri ini dengan nyawa cinta bahkan penderitaan,
sudah di jajah bangsa luar masih di jajah sodara sendiri dalam bentuk kata penguasa
mending jadi golput semua kalau bisa biar pemerintah tidak ada karena tidak di dukung rakyat kan, so tiap orang jadi merasa merdeka masing masing