CATATAN 2012
Penanganan
Konfik yang Tidak Tuntas
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,
cita-cita kerukunan umat beragama di Indonesia masih sulit diwujudkan selama
tahun 2012. Berbagai kerusuhan dengan latar belakang perbedaan agama dan
keyakinan masih meletup di beberapa daerah, bahkan merenggut beberapa korban
jiwa.
Berbagai persoalan serupa sepertinya terus
berulang, sedangkan penanganan masih setengah hati. Pada awal tahun, Februari
2012, dibuka dengan bentrokan kelompok muka dan kelompok belakang di Pelauw,
Maluku Tengah, Maluku. Pemicunya, perbedaan keyakinan, khususnya dalam
menentukan hari besar agama. Enam tewas dan 400 rumah hangus dalam kekerasan itu.
Pertengahan Agustus, massa jemaah Sunni
menyerang kelompok Syiah di Omben, Sampang, Madura, Jawa Timur. Konflik yang
dibumbui masalah keluarga itu tumbuh beberapa tahun sebelumnya, tetapi tak
dituntaskan sehingga meletup kembali. Satu tewas, 6 terluka, 37 rumah
terbakar, dan 235 orang terpaksa mengungsi. Bahkan sampai saat ini, tampaknya
warga belum bisa kembali ke kampung halaman mereka.
Akhir tahun 2012, tepatnya November,
ditutup dengan bentrokan antara warga dan kelompok pimpinan Teungku Aiyub
Syakuban di Bireuen, Aceh. Warga marah atas pengajian kelompok Teungku Aiyub
yang dianggap sesat. Tiga orang tewas dan 10 orang luka-luka.
Selain beberapa kekerasan menonjol tadi,
ada beberapa gesekan lama. Kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, misalnya,
muncul di beberapa daerah. Bahkan di sejumlah daerah, banyak jemaah Ahmadiyah
yang belum kembali ke kampung halaman mereka. Contohnya, jemaah Ahmadiyah di
Cikeusik, Pandeglang, Banten, yang meninggalkan rumah mereka sejak tragedi
kekerasan pada 6 Februari 2011.
Sementara kontroversi keberadaan Gereja
Kristen Indonesia Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, masih buntu.
Konflik berlatar agama terjadi baik di
dalam satu kelompok penganut agama sama (intra-agama) maupun dengan kelompok
agama berbeda (antar-agama). Semua kalangan paham, konflik berlatar belakang
agama itu menimbulkan kerugian besar. Sejumlah nyawa melayang, sebagian
terluka, dan banyak warga kehilangan tempat tinggal. Di kawasan pertikaian,
umat beragama tidak aman dan tidak bebas menjalankan ibadah sesuai keyakinan.
Pada tahap lebih lanjut, kondisi ini rawan merusak solidaritas kebangsaan
Indonesia.
Berulang
Jika berdampak demikian serius, lantas
kenapa konflik berlatar belakang agama masih saja berulang? Masalahnya memang
masih ada faktor-faktor penyebab. Hal itu mencakup faktor dari dalam umat
beragama dan faktor dari luar.
Faktor dari dalam terkait pemahaman
sebagian umat terhadap ajaran agama yang masih sempit. Ada kelompok yang
merasa benar sendiri sehingga siapa pun di luar keyakinannya dianggap salah, bahkan
patut diperangi. Mereka sulit menerima perbedaan.
Fanatisme itu bisa semakin menguat setelah
bersinggungan dengan faktor-faktor luar. Sebut saja masalah kemiskinan,
kesenjangan ekonomi, pengangguran, pendidikan rendah, dan ketimpangan
pembangunan. Masyarakat yang merasakan ketidakadilan mudah mengamuk meski
hanya dirangsang hal-hal sepele.
Saat bersamaan, pemerintah cenderung gamang
dalam menangani gejala konflik, bahkan kerap hanya menjadi penonton. Penegak
hukum—yang diharapkan bisa menjerat pelaku kekerasan—justru lemah, bahkan
menjadi bagian dari masalah.
Kondisi demikian bisa kian runyam ketika
ada kepentingan politik, katakanlah dalam pertarungan pemilihan kepala daerah
yang memainkan sentimen agama untuk kepentingan sesaat. Semua faktor itu tentu
bisa saling menopang sehingga semakin mudah memicu konflik antar-umat
beragama. Konflik-konflik itu sangat berpotensi memunculkan pelanggaran hak
asasi manusia sebab konflik yang tak mampu diantisipasi sejak dini kerap kali
menimbulkan kekerasan di lapangan.
Konstitusi
Bagaimana kita menangani konflik demi
mewujudkan cita-cita kerukunan umat beragama? Tak ada pilihan lain, kecuali
kita bersungguh-sungguh merujuk dan mengamalkan konstitusi, yaitu Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa,
menegaskan, negara Indonesia bukan negara agama, tetapi memfasilitasi
masyarakatnya untuk mengembangkan keyakinan berketuhanan. Dasar ini lantas
diterjemahkan dalam Pasal 29 UUD 1945 bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Konstitusi itu harus diterapkan dalam
kehidupan nyata berbangsa dan bernegara. Pemerintah bertanggung jawab untuk
memberikan jaminan atas kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Lindungi semua
kelompok, termasuk minoritas, untuk memperoleh hak dan kesempatan yang sama
dalam beragama. Jangan ada perlakuan diskriminatif terhadap kelompok
tertentu.
Cegah gejala-gejala konflik dan segera
tangani jika sudah mulai meletup. Jangan biarkan letupan membesar, apalagi
negara kalah oleh kelompok-kelompok kekerasan. Pelaku kekerasan harus
ditindak tegas sesuai aturan hukum sehingga akan terbentuk efek jera yang
bisa mengurangi kemungkinan terulangnya perilaku serupa.
Lebih dari itu, negara dalam hal ini
pemerintah mesti berusaha mewujudkan cita-cita negara, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, menciptakan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kembangkan program pembangunan
secara merata di semua bidang sehingga bisa memupus perasaan ketidakadilan.
Jangan sampai negara dinilai tidak mampu melindungi hak-hak warga atau
dianggap tidak melakukan apa-apa (pembiaran).
Para pemimpin agama mesti meyakinkan umat,
negara ini menjamin kebebasan semua agama. Meski berbeda pendapat dan
keyakinan, tak boleh ada kekerasan, penyerangan, atau pembunuhan satu
kelompok terhadap kelompok lain. Tak cukup menyeru, elite agama harus tampil
sebagai teladan yang menerima dan menghargai perbedaan keyakinan dan
mengembangkan cinta kasih pada sesama manusia.
Di sisi lain, umat beragama terus mendalami
ajaran keagamaan. Tentu semua agama sejatinya menyerukan kebaikan, hormat
atas sesama manusia, dan mengecam segala bentuk kekerasan. Organisasi-organisasi
besar keagamaan perlu terus memperkuat diri untuk meneguhkan pemahaman yang
moderat, toleran, dan membumikan ajaran agama dalam bingkai Indonesia yang
multikultur. Sebab, para pendiri negeri ini justru mampu merekatkan berbagai
perbedaan paham, termasuk agama, sebagai fondasi kokoh sampai hari ini. (Ilham Khoiri) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar