Wajah Islam
Indonesia
Nazar Nurdin ; Peneliti Muda di Lembaga Penelitian IAIN
Walisongo Semarang
|
SUARA
KARYA, 28 Desember 2012
Islam Indonesia
sejatinya hanya ada satu. Ia kaya warna, dan bermacam bentuknya. Menjadi
suatu "kenistaan" ketika Islam Indonesia yang satu diklaim milik
kelompok tertentu. Kemudian mereka leluasa menjustifikasi doktrin agama
melalui otoritas penafsiran tunggal yang dimilikinya. Sayangnya, sebagian besar
masyarakat kita tidak sigap dan ketakutan melihat tingkah mereka. Kalaupun
ada yang berani, hanya berani pada tataran wacana.
Meski demikian, ada
hal yang patut dikritisi bersama. Barangkali kita semua sepakat, ada sejumlah
kelompok ekstrim yang mengatasnamakan Islam dengan membuat klaim doktrinal
untuk menindas kelompok yang lain, yang tentu dinilai berseberangan. Ini
fakta, bukan semata soal penafsiran.
Islam Indonesia
sebagai mahkota keberagaman yang disegani di luar justu rapuh di dalam. Gema
takbir lebih erat dengan slogan peperangan. Mereka yang percaya menganggap
Islam benar hanya versi mereka (kaffah). Tidak diperbolehkan ada penafsiran
lain kecuali penafsiran kelompoknya. Ini yang sesungguhnya menurut penulis
berbahaya untuk kehi-dupan keberagamaan di Indonesia.
Wajah
Islam Indonesia memiliki nilai kekhasan, dibandingkan Islam di negara lain.
Sebagai negara mayoritas muslim, Islam Indonesia menanamkan identitas
kultural beragama. Ia tidak arabisme atau kearab-araban, fundamentalisme dan
liberalisme. Islam Indonesia merias wajah keislamannya dengan kearifan lokal.
Hasilnya, sebuah harmoni baru bagi kearifan budaya kultural Indonesia.
Untuk
itu, Tholchah Hasan agak bijak ketika memetakan wajah Islam Indonesia.
Pertama, faktor geografis, demografis dan multikultur. Pemikiran keagamaan
dapat terbentuk lewat alam atau lingkungan. Maka, perbedaan pandangan lumrah
dalam kondisi ini. Tamsil masyarakat pesisir yang berwatak keras,
temperamental dan terbuka.
Kedua,
proses akulturasi dan inkulturasi. Ada anggapan bahwa agama Hindu, Budha,
Islam datang di Indonesia secara damai dan secara bersamaan. Perlu diingat,
bahwa agama yang datang tidak hanya membawa misi religius, tapi membawa aspek
budaya. Maka, wajar jika sekarang terjalin suatu keakraban untuk saling
bertukar budaya. Mozaik dan warna-warni keberagaman terbentuk.
Wajah Islam Indonesia
beragam karena ada ragam penafsiran teks. Perbedaan penafsiran dari berbagai
masa menjadi aneka mozaik keberagaman. Ditambah dengan kondisi sosial politik
dan arus globalisasi dan pengaruh sosio-kulturnya membentuk masyarakat
menjadi terbuka, ilmiah dan rasionalis. Celakanya, globalisasi datang bersama
dengan sikap masyarakat yang materialis, individualis dan hedonis.
Indonesia
(nusantara) hadir dari semangat kebangsaan yang dipupuk dalam sanubari
masyarakat lokal. Semangat untuk berjuang menunjukkan rasa cinta terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah Islam yang datang ke Indonesia,
tampak beradaptasi dengan baik.
Sumber
inspirasi bagi keberagaman masyarakat Indonesia telah ada sejak lama. Hanya
tinggal menggali saja. Itu pun kalau masyarakat Indonesia bersedia menggali
khazanah intelektualnya. Ini yang kemudian memberi kesan bahwa Islam
Indonesia telah lama hadir dan berdialektika dengan masyarakat lokal.
Islam Indonesia
memberi ruang gerak yang luas, bahkan "bebas" bagi para pemeluknya.
Islam menjamin kebebasan memilih agama sejalan dengan kehendak hatinya. Islam
pula yang turut mengilhami para pemeluknya untuk menanamkan nilai kasih,
damai kepada sesamanya. Namun, lewat penafsiran manusia, Islam juga bersifat
ambigu. Satu sisi, Islam hadir dengan balutan konsep kasih sayang kepada
sesama makhluk Tuhan, siapapun dan di manapun. Di sisi lain, ada anjuran
untuk memerangi mereka yang tidak sejalan dengan penafsiran agama.
Sekali
lagi, penafsiran ajaran Islam memberi pernyataan yang multitafsir, sehingga
bertolak belakang dengan dorongan pada sikap keberagaman. Namun, ini bukan
jatidiri Islam Indonesia. Ini menjadi tugas bersama, bagaimana ajaran Islam
masih sangat memerlukan kajian mendalam sesuai dengan kontekstualisasi
wilayah masing-masing.
Perlu
digarisbawahi, ajaran Islam bersifat universal. Dinamika lokal sebagai manifestasi
keuniversalan ajaran Islam harusnya diselipkan doktrin keramahan/perdamaian
yang memuat kepingan unsur local wisdom, tatanan budaya untuk turut serta
ambil bagian dalam khazanah Islam Indonesia.
Untuk
itulah, dalam rangka merumuskan kajian Islam nusantara akan terasa sangat
menyulitkan. Model pengkajian atas rumusan yang didasarkan pola pengamatan
dan pengalaman tidak mempunyai nilai visioner yang jelas. Butuh penelitian
mendalam agar Islam Indonesia menjadi Islam yang unik.
Sementara
ini, kita tidak perlu khawatir soal ruang identitas Islam Indonesia. Selama
Indonesia masih bercokol organisasi-organisasi sosial-keagamaan seperti NU,
Muhammadiyah, Mathaliul Anwar, Persis, al-irsyad, DDI, Perti, al-washliyah,
dan lainnya secara intens mengawal eksistensi model dan corak Islam
Indonesia.
Ia
dipraktekkan secara kultural oleh masyarakat Muslim Indonesia. Eksis-tensi Islam dalam menggali
jatidirinya tidak perlu dikhawatirkan lagi. Pasalnya, semua lembaga keagamaan
mengusung misi yang sama, agar Islam Indonesia terus berkibar di Indonesia
maupun dunia. Tugas pemerintah adalah menjaga agar umat Islam Indonesia
menjadi umat yang tahan banting dari berbagai gempuran, baik dari dari luar
maupun dari dalam yang ingin menghancurkan Islam. Patut waspada, jika gempuran
dari dalam akan jauh berbahaya daripada gempuran dari luar, yang secara nalar
bisa dipetakan dan dicarikan solusi kreatifnya.
Akhirnya, Islam
Indonesia masih butuh kajian mendalam, agar eksistensinya bisa diterima semua
kalangan. Mari kita jaga Islam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar