Mengapa
Pertumbuhan Ekonomi Memiskinkan?
Salamuddin Daeng ; Peneliti
di Indonesia for Global Justice (IGJ)
|
SINAR
HARAPAN, 28 Desember 2012
Hampir dalam setiap kesempatan pemerintahan SBY mengampanyekan
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi. Tampaknya pertumbuhan ekonomi ini
adalah satu satunya prestasi pemerintah saat ini. Ini karena dalam bidang
lain pemerintahan oleh banyak kalangan dinilai tidak memiliki prestasi yang
dapat dibanggakan.
Memang benar, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 6
persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global. Namun
jika ditelisik lebih dalam pertumbuhan yang dicapai oleh pemerintahan SBY
dihitung dari peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun selama delapan tahun terahir pemerintah gagal mengatasi
pengangguran dan kemiskinan. Angka kemiskinan terus bertambah hingga 110 juta
jiwa, diukur dengan pendapatan UD$ 2 dolar Purchasing Power Parity (PPP).
Sementara pengangguran juga semakin tinggi. Sebanyak 75 persen pekerja hidup
di sektor informal. Di tengah APBN yang tinggi, infrastuktur dasar rakyat
justru rusak parah.
Mengapa bisa terjadi demikian? Mengapa pertumbuhan yang tinggi
tidak menyejahterakan rakyat? Pertanyaan ini sesungguhnya memiliki jawaban
yang sederhana. Pertumbuhan ekonomi Indonesia didasarkan pada perhitungan PDB
yang justru sebagian besar tidak dikontribusikan oleh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan yang didasarkan PDB inilah yang menyesatkan.
Bagaimana PDB dihasilkan? Rumus PDB berdasarkan pendekatan
pengeluaran adalah Y = C + I + G + (X - M). Jika diamati lebih mendasar
seluruh faktor penyumbang PDB bersifat membahayakan ekonomi dan sekaligus
merusak tatanan sosial dan lingkungan.
Perhatikan anatomi dari faktor-faktor pembentuk PDB Indonesia
tersebut: C (Consumtion), pertumbuhan dalam konsumsi ditopang oleh kredit
konsumsi, seperti credit card, kredit perumahan, kredit properti, yang saat
ini telah berada pada tingkat membahayakan jika terjadi kredit macet,
dikarenakan rendahnya upah, produksi, dan produktivitas nasional.
Kredit macet berpotensi meluluhlantakkan perbankan dan
perekonomian nasional. Selain itu, sumber keuangan perbankan yang disalurkan
untuk kredit konsumsi semakin didominasi dana asing sehingga dapat menjadi
faktor pemicu bangkrutnya sektor keuangan nasional akibat terlilit utang.
Selanjutnya faktor I (Investasi), jika diamati 75 persen
investasi langsung (FDI) di Indonesia berasal dari investasi luar negeri.
Sementara investasi sektor keuangan derivatif seperti bursa sahan dan pasar
keuangan lainnya hampir 50 persen asing. Investasi dalam surat utang
pemerintah mayoritas adalah asing. Investasi pada sektor keuangan melahirkan
kerentanan ekonomi yang tinggi.
Investasi dalam pertambangan, minyak, dan batu bara yang
mengeruk bahan mentah untuk keperluan ekspor menjadi sumber utama dominasi
dan eksploitasi modal asing atas kekayaan alam Indonesia.
Sementara G (Pengeluaran Pemerintah) adalah pengeluaran pemerintah
selalu ditopang oleh utang luar negeri yang terakumulasi semakin besar.
Pemerintah menetapkan sistem anggaran defisit dan memburu utang untuk
meningkatkan APBN. Sementara APBN menerima beban bunga dan cicilan utang
pokok yang tinggi, yang menyebabkan APBN akan ambruk jika tidak ada utang
baru.
Saat ini utang luar negeri telah mencapai Rp 2.000 triliun atau
130 persen dari APBN. Akibatnya APBN Indonesia sangat rentan terhadap
pergerakan nilai tukar. Sisi lain APBN Indonesia sebagian besar 70-80 persen hanya
untuk pembiayaan rutin, gaji, tunjangan pemerintah, dan DPR, akibatnya
peningkatan APBN tidak memiliki korelasi dengan kesejahteraan rakyat.
Yang paling membahayakan adalah X - M (Ekspor - Impor) di mana
ekspor Indonesia ditopang oleh ekspor bahan mentah hasil tambang, migas,
perkebunan, yang hasil dan keuntungannya dinikmati oleh segelintir perusahaan
asing sebagai pelaku ekspor hasil pertambangan, migas, perkebunan. Parahnya
ekspor yang dilakukan oleh investor asing dihitung sebagai ekonomi nasional.
Sisi lain Indonesia melakukan impor pangan, dan hasil industri
dari negara maju. Indonesia terus mengalami defisit perdagangan dalam
beberapa bulan terahir. Expor raw material telah menyebabkan kerusakan
lingkungan yang semakin parah dan konflik agraria yang meluas. Sementara
impor hasil industri telah menyebankan petani semakin miskin dan industri
nasional kolaps.
Jika didalami, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir selain palsu, juga membahayakan karena sumber pertumbuhannya
bersifat merusak baik dalam dimensi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi ini sama persis dengan watak ekonomi kolonial.
Dalam rezim yang berkuasa saat ini, pertumbuhan ekonomi
Indonesia justru semakin memiskinkan rakyat. Tidak hanya itu, pertumbuhan
yang besar akan menjadi malapetaka bagi generasi sekarang dan generasi yang
akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar