Gus Dur
sebagai Katalog Peradaban
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 29 Desember 2012
Tanggal 30 Desember 2012 ini, genap tiga tahun KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Makam Gus Dur tak pernah sepi dari
pengunjung, seolah masyarakat masih begitu dekat dengan Gus Dur.
Perpisahan fisik tidak menjadikan
masyarakat pisah secara spiritual. Gus Dur masih dirasakan dalam setiap gerak
perjuangan masyarakat, sehingga Gus Dur masih menjadi inspirasi perjuangan
dalam menegakkan NKRI, meneguhkan semangat toleransi, menyegarkan kehidupan
yang pluralis, serta selalu membela hak-hak kaum minoritas.
Bagi masyarakat NU, Gus Dur selalu menjadi
kunci gerakan dalam upaya dinamisasi di tubuh NU. Dialah yang melakukan
gerakan modernisasi tanpa melukai tradisi. Dialah yang menyeimbangkan gerakan
dan pemikiran antara generasi muda dan generasi sepuh. Di tangan Gus Dur,
gerakan pembaharuan di tubuh NU membuktikan kesuksesannya.
Kala Gus Dur belum memimpin NU tahun 1984,
warga nahdliyin masih dibabtis publik sebagai kelompok tradisional dengan berbagai
stereotip negatif; kelompok eksklusif, tidak beranjak dari kitab-kitab
“mu’tabaroh”, mengagungkan tradisi, mendaur ulang pemikiran lama, serta basis
komunitasnya pesantren dan komunitas “ndeso”.
Stereotip-stereotip tersebut akhirnya pudar
ketika Gus Dur naik tangga Ketua Umum PBNU dalam muktamar di Situbondo tahun
1984.
Sosok Gus Dur yang darah biru dan kritis
mengubah 180 derajat pola pemikiran dan pola gerakan NU. Gagasannya yang
cerdas nan bernas serta gerakan politiknya yang zigzag membuat dirinya
menjadi figur utama lahirnya perubahan di tubuh NU.
Kaum NU yang tadinya dianggap “ndeso” dan
jauh dari sinar peradaban, ternyata bangkit menjadi komunitas besar yang
menjadikan tradisi sebagai basis gerakan kulturalnya. Dengan berpegang
tradisi, komunitas NU justru semakin eksesif, unik, dan menohok berbagai
gerakan modern. NU bangkit di tengah gerakan modern kehilangan basis
tradisinya.
Sosok Gus Dur yang telah membangkitkan
tradisi inilah kemudian yang melahirkan beragam pemikiran di lingkungan NU,
khususnya kaum mudanya. Darah segar pemikiran yang mengalir dalam diri Gus
Dur kemudian menjalar bagi kaum muda di bawahnya.
Gagasan-gagasan segar kaum muda, walaupun
sering mendapatkan petisi keras kaum tua, tetap saja berlangsung eskalatif
menembus batas-batas pemikiran yang belum terjamah. Di bawah “perlindungan
Gus Dur”, kaum muda terus menggali tradisinya – sambil mengkritiknya - untuk
menjawab berbagai persoalan kontemporer. Mereka melakukan dekonstruksi
tradisi.
Tiga Problem Krusial
Menurut Ali Riyadi (2006), setidaknya ada
tiga problem krusial yang menyebabkan kaum muda melakukan perubahan. Pertama,
kejumudan berpikir. Masyarakat NU selama ini hanya melakukan al-muhafadhotu
ala al-qodimi al-sholih, melestarikan tradisi yang relevan.
Ada anggapan bahwa tradisi berkembang dalam
tubuh NU telah final, selesai, dan dapat menjawab berbagai persoalan
keumatan. Tradisi berpikir yang diwariskan ulama abad pertengahan dan para
kiai terdahulu selalu diagungkan dan diklaim dapat menyelesaikan segala
persoalan.
Apa yang terjadi, NU lupa mengembangkan
spirit wa al-akhdhu bi al-jadidi al-ashlah, melakukan terobosan baru yang
revolusioner. Mereka lupa bahwa tantangan kehidupan kontemporer membutuhkan
kreativitas baru yang inovatif yang dapat diterima semua pihak.
Kedua, kiprah NU dalam politik formal.
Dalam berbagai kesempatan, NU selalu mengumandangkan politiknya sebagai
politik kebangsaan. Politik yang memberikan kemaslahatan bagi seluruh warga
bangsa. Bukan politik yang perorangan dan kelompok. Di samping itu, NU secara
organisasi tidak terikat sama sekali dengan organisasi politik manapun. Warga
NU bebas berpolitik.
Inilah manifesto kembalinya Khitah NU 1926
di Situbondo tahun 1984. Tetapi, realitas berbicara lain. Manifesto Khitah
ternyata banyak dibobol. Kerja-kerja kultural NU terbengkalai. Konsentrasi
politik telah menghabiskan umur NU dalam berpolitik. Tidak heran Gus Dur
pernah menyatakan bahwa separuh hidup NU itu berpolitik.
Ketiga, pengelolaan organisasi. NU belum
mampu mengelola dirinya sebagai jamiyyah (organisasi). Seperti dalam
pesantren, NU lebih mengandalkan karisma kiai tertentu. Program-program
struktural dan kultural tidak jalan.
NU secara struktural seolah gagap. Para
pengurusnya yang terbiasa dengan tradisi pesantren, gagal mengubah
kulturalnya sebagai kaum profesional, sehingga kekayaan tradisi yang besar di
tubuh NU tidak pernah diberdayakan secara maksimal. “NU kaya dengan buku,
tetapi miskin katalog,” ujar almarhum Nurcholis Madjid dalam Muktamar
Pemikiran NU di Situbondo tahun 2003.
Di tengah problem tersebut kaum muda NU
gelisah. Kaum muda di sini adalah mereka yang telah merasakan kuliah di
berbagai perguruan tinggi, khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Dengan mendapat bekal akademis, bekal manajerial dan teori kritik sosial,
kaum muda melanjutkan kegelisahan Gus Dur dalam menata kembali tradisi yang
berserakan.
Mereka mulai berkumpul, berdiskusi, dan
merancang agenda-agenda pemberdayaan tradisi. Lahirlah Lakpesdam NU, P3M,
Jaringan Islam Liberal (JIL) di Jakarta; LKiS dan LKPSM di Yogyakarta; dan
Lembaga Kajian Sosial dan Agama (eLSA) di Surabaya; serta berbagai lingkar
studi ke-NU-an di berbagai tempat di Jawa.
Mereka mengoorganisasi diri melakukan
kajian, diskusi, penelitian, pelatihan, pemberdayaan skiil, penerbitan
majalah, penerbitan buletin, penerbitan buku, dan kegiatan sosial lainnya.
Banjir pemikiran yang melanda republik NU
menghentakkan banyak kalangan. Kaget sekaligus bangga. Kaum muda semenjak
akhir 1980-an memelopori gerakan pembaruan pemikiran keislaman. Mereka bangga
menyebut namanya Post Tradisionalisme Islam. Kekayaan tradisi pemikiran yang
ada di tubuh NU dijadikan landasan gerakan kritik sosial dan kritik
pergerakan.
Lambat laun mereka mengatasnamakan diri
sebagai pelopor kaum liberal yang dimotori Ulil Abshar Abdalla dengan
JIL-nya.
Gaung mereka semakin bergema karena
dentuman pemikiran yang mereka lahirkan tidak hanya mampu mematahkan
stereotip negatif publik, tetapi juga sekaligus memukul telak kaum modernis
yang miskin tradisi.
“Kaum muda NU telah menemukan kunci dan katalog
buku,” mungkin demikian komentar Nurcholis Madjid kalau Tuhan tidak
cepat-cepat mengambilnya. Walaupun sering kali kiai sepuh melancarkan kritik
pedas, bahkan ada yang sampai dikafirkan, tetapi masih banyak kiai sepuh yang
memberikan angin segar pemikiran kritis dan progresif di tubuh NU.
Kini Gus Dur telah tiada. Beliau merupakan
katalog utama bagi kebangkitan peradaban NU. Warga NU harus berjuang kembali
menegakkan peradaban yang telah ditinggalkan Gus Dur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar