Memperbaiki
Nalar Mengadili Aceng
Richo Andi Wibowo ; Dosen
FH UGM; Peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law,
Utrecht University, Belanda
|
JAWA
POS, 26 Desember 2012
Beberapa hari lalu, DPRD Kabupaten Garut
resmi mengusulkan pemberhentian H.M. Fikri alias Aceng sebagai bupati Garut.
Rekomendasi itu telah dibawa ke MA untuk diputus secara hukum.
Menurut UU No 32/2004, MA memiliki waktu 30 hari untuk memutus rekomendasi tersebut. Sekiranya MA kelak bersepakat dengan rekomendasi DPRD, presiden akan menindaklanjuti dengan memproses administratif pemberhentian Aceng. DPRD menganggap Aceng melanggar UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Sebab, ketika menikah untuk kali kedua dengan Fani Oktora, dia tidak mendapat izin dari istri pertamanya. Aceng juga dianggap bersalah karena tidak mencatatkan perkawinan keduanya ke KUA. Berdasar dua alasan tersebut, DPRD kemudian menyimpulkan bahwa Aceng melanggar etika serta sumpah janji jabatan (www.jpnn.com, 23/12/2012). Problem Konstruksi Hukum Sesungguhnya, terdapat beberapa permasalahan atas argumentasi hukum rekomendasi DPRD tersebut. Pertama, sulit rasanya menerima alur pemikiran bahwa pejabat yang tidak meregister pernikahannya dan tidak izin menikah kepada istri pertama dihukum dengan melepaskan jabatannya. Bukankah hukuman tersebut tidak sebanding dengan kesalahan yang diperbuat? Kedua, bila menganalisis berita yang tampil di media, publik sesungguhnya marah lebih disebabkan Aceng menceraikan Fani dengan cara yang tidak patut. Yaitu: (1) menggunakan alasan Fani sudah tidak perawan; (2) mempermainkan lembaga pernikahan karena hanya menikah selama empat hari; serta (3) melakukan cerai hanya via SMS. Publik tampak kurang mempersoalkan urusan pernikahannya. Diyakini, hal tersebut terjadi karena (sebagian) publik memandang pernikahan Aceng tidak sepenuhnya salah karena dapat dianggap sah menurut agama, walaupun tidak/belum sah secara hukum negara. Dengan kata lain, jika problemnya terletak pada perceraian, lalu mengapa alasan rekomendasi pemakzulan berkutat pada urusan pernikahan? Dengan perspektif juridische denken (cara berpikir hukum) yang menuntut rigiditas, argumentasi pemakzulan yang diajukan DPRD tersebut mengindikasikan ketidaksinkronan dari sisilegal reasoning. Ketiga, lebih dari itu, argumentasi pelanggaran etika yang disampaikan DPRD tersebut juga kurang akurat. Seluruh kata ''etika'' dalam UU No 32/2004 sesungguhnya mengacu pada konteks etika pemerintahan. Terlampau berani rasanya jika DPRD ''mencomot'' kata itu untuk kemudian disematkan sebagai konstruksi hukum hubungan privat keperdataan seperti perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut, diduga MA akan berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, rekomendasi pemakzulan yang ditawarkan DPRD memiliki konstruksi hukum yang lemah. Di sisi lain, kesimpulan rekomendasi pemakzulan Aceng dirasakan selaras dengan tuntutan (rasa keadilan) masyarakat. Lalu, apa yang harus dilakukan MA dalam menghadapi dilema tersebut? Tawaran Solusi Harus diakui, mengadili kasus Aceng memang tidak mudah. Tidak ada aturan yang benar-benar clear yang bisa dijadikan rujukan langsung oleh para pengadil dalam memutus perkara. Namun, tidak berarti pula hakim harus mengait-ngaitkan (memaksakan) konstruksi hukum sebagaimana yang dibangun dalam rekomendasi DPRD tersebut. Baik kiranya jika para pengadil mencermati kembali uraian Dworkin (1977: 23-25) yang mengulas kasus Riggs vs Palmer yang diadili pengadilan New York. Kasus tersebut mengenai keberadaan surat wasiat seorang kakek yang ditujukan kepada cucunya. Belakangan diketahui bahwa si cucu tersebut mendapatkan surat wasiat dengan cara paksaan hingga membunuh sang kakek. Hakim kemudian gamang, apakah wasiat tersebut tetap akan diberikan kepada si cucu atau tidak. Di satu sisi, terdapat aturan yang mewajibkan setiap orang -dengan kondisi apa pun- menghormati dan melaksanakan wasiat. Di sisi lain, rasa keadilan masyarakat akan tercederai jika wasiat tersebut jatuh kepada si cucu pembunuh itu. Hakim pun akhirnya memutus perkara dengan menyatakan, sekalipun pengadilan mempertimbangkan aturan yang berlaku, terdapat asas hukum yang menyatakan seseorang tidak boleh menikmati buah dari hasil kejahatannya. Karena itu, si cucu pun mendekam di penjara tanpa mendapat hak waris tersebut. Inti pembelajaran dari kasus tersebut, dalam memutus perkara, hakim perlu berpikir keras untuk menggali/menghidupkan asas-asas hukum yang berlaku di masyarakat. Dengan melakukan itu, hakim akan membangun legal reasoning yang kuat dan ''menambal'' kelemahan aturan hukum yang ada. Untuk melakukan itu, hakim, misalnya, bisa mengungkapkan keyakinannya bahwa sistem pemerintahan dan hukum di Pemkab Garut akan kacau jika Aceng tetap menjadi bupati. Terdapat tiga alasan yang bisa menguatkan keyakinan tersebut. Pertama, Aceng sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya. Padahal, trust means everything. Penelitian menunjukkan, masyarakat yang tidak percaya kepada pemerintah cenderung lebih melanggar hukum (Marien and Hooghe, 2011). Artinya, mempertahankan Aceng hanya akan merangsang masyarakat untuk tidak menghormati hukum. Kedua, Aceng sudah kehilangan respek dari bawahannya. Investigasi jurnalistik menunjukkan, pamor dan wibawa Aceng telah jatuh di mata para pegawai pemkab. Akibatnya, roda Pemkab Garut pun melambat (www.tempo.com, 14/12/2012). Ketiga, lahirnya rekomendasi pemakzulan Aceng dari DPRD menunjukkan bahwa sistem politik pun telah mengeliminasi Aceng sebagai pemimpin. Sekiranya putusan MA untuk memakzulkan Aceng menyertakan argumentasi sebagaimana yang dibangun tersebut, putusan itu akan memiliki nalar serta konstruksi hukum yang logis dan kuat. Putusan tersebut akan dihormati dan berpotensi menjadi rujukan sumber hukum jika kasus serupa terjadi pada masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar