Konflik dan
Kekerasan 2012
Novri Susan ; Sosiolog Konflik Universitas Airlangga
|
KORAN
TEMPO, 31 Desember 2012
Selama 2012,
berbagai konflik kekerasan masih menjadi noktah-noktah hitam di tubuh bangsa
Indonesia. Laporan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa, secara
nasional, konflik sosial yang dominan dan tercatat pada 2012 diperkirakan
mencapai 104 kasus. Isu-isu konflik meliputi bentrokan antarwarga 33,6
persen, isu keamanan 25 persen, konflik ormas 12,5 persen, konflik lahan 12,5
persen, isu SARA 9,6 persen, imbas konflik politik 2,9 persen, konflik pada
institusi pendidikan 2,8 persen, dan kesenjangan sosial 0,9 persen.
Beberapa contoh konflik kekerasan tersebut
antara lain kasus konflik Sunni melawan Syiah di Sampang, Madura; konflik Sunni-Ahmadiyah;
konflik antarpelajar di berbagai kota; konflik pertambangan di Bima; konflik
pertanahan di Mesuji, Lampung; konflik etnis di Lampung Selatan dan Papua;
konflik tata kota; serta konflik pilkada di beberapa daerah. Korban
meninggal, luka-luka, dan kerusakan material tidak bisa dihindarkan. Mengapa
Indonesia masih digelayuti oleh konflik-konflik kekerasan yang merugikan tata
kehidupan berbangsa?
Akar Kekerasan
Pluralitas kepentingan yang dibentuk oleh
keyakinan ideologis, identitas, dan posisi sosial dari individu serta
kelompok menciptakan persinggungan, persaingan, dan pertentangan di dalam
relasi sosial. Karena itu, konflik selalu omnipresent, hadir di mana pun
dalam relasi-relasi sosial dalam banyak bidang kehidupan, seperti di pasar, kantor,
bisnis, dan politik. Indonesia yang padat oleh lalu lintas kepentingan pada
gilirannya harus menghadapi konflik kepentingan dalam berbagai bidang
kehidupan tersebut. Namun, ketika konflik-konflik kepentingan tidak mencapai
pemecahan masalah dan tidak terekonsiliasi, kekerasan cenderung dimobilisasi
oleh para pihak berkonflik. Mengapa kekerasan masih sering dimobilisasi?
Kekerasan merupakan produk dari kondisi
konflik, yaitu dominasi relasi di dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Dominasi relasi mengandaikan adanya kepemilikan sumber kekuasaan
pada individu dan kelompok tertentu, baik dalam bentuk modal ekonomi,
wewenang politik, dan jumlah keanggotaan sosial. Kepemilikan atas sumber
kekuasaan mendorong model zero-sum game dalam dinamika konflik di mana salah
satu pihak menang dan pihak lain kalah. Pihak yang memiliki dominasi relasi
secara koersif menentukan sepihak hasil atau solusi dari konflik. Misalnya
konflik antara kelompok Sunni dan Syiah di Madura pada Agustus 2012, kondisi
dominasi relasi kelompok Sunni diciptakan dari fakta mayoritas dan dukungan
politis elite-elite pemerintahan. Maka dominasi relasi tersebut mengklaim
kebenaran atas solusi konflik melalui kekerasan. Dominasi relasi dan
kekerasan terjadi juga pada kasus-kasus konflik lainnya, misalnya konflik
pertambangan di Bima dan konflik pertanahan di Mesuji.
Perlawanan kekerasan oleh kelompok yang
berada di dalam dominasi relasi pada gilirannya juga direproduksi. Perlawanan
kekerasan ini adalah mekanisme mempertahankan kepentingan. Dinamika antara
kekerasan dari dominasi relasi sebagai mekanisme menentukan solusi dan
perlawanan kekerasan sebagai mekanisme mempertahankan diri kemudian
menciptakan spiral of violence (lingkaran kekerasan) (Camara, 1971). Sehingga
lingkaran kekerasan sebenarnya berawal dari dominasi relasi dalam konflik
kepentingan. Selama dominasi relasi masih menjadi kondisi dalam konflik,
lingkaran kekerasan selalu mungkin direproduksi. Pada situasi reproduksi
lingkaran kekerasan, harus ada peran konstruktif dari lembaga yang mampu
mengatasi kondisi dominasi relasi di dalam konflik-konflik kepentingan. Pada
konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, lembaga tersebut adalah
negara.
Pengelolaan Responsif
Konflik mampu mendinamisasi secara
konstruktif, tapi juga mampu merusak tata kehidupan sosial. Hal tersebut
salah satunya ditentukan oleh peran negara dalam melakukan pengelolaan secara
responsif terhadap berbagai konflik di dalam masyarakat. Pengelolaan responsif
atas konflik bermakna kecepatan, efektivitas, efisiensi, dan kreativitas
lembaga negara dalam menangani dinamika konflik. Pengelolaan responsif
tersebut berlandaskan pada prinsip demokrasi seperti nir-kekerasan,
pengutamaan proses negosiasi dan dialog damai, serta keadilan dalam memediasi
kelompok-kelompok berkonflik. Namun tingginya jumlah kasus konflik kekerasan
selama periode 2012 mengindikasikan bahwa peran negara belum mampu
merealisasi pengelolaan responsif tersebut. Negara yang diorganisasi oleh
para pemimpin pemerintahan, baik pusat maupun daerah, masih compang-camping
dalam mengelola dinamika konflik kepentingan di dalam masyarakat.
Kondisi compang-camping kepemerintahan
(governance) dalam mengelola konflik ditandai oleh ketidakmampuan mentransformasi
konflik ke dalam ruang-ruang negosiasi dan dialog damai. Banyak kasus konflik
selama periode 2012 dalam masyarakat tidak menemukan pemecahan masalah yang
dilandasi oleh prinsip kebaikan publik. Sebaliknya, pemerintah mempraktekkan
mediasi konflik yang dipandang tidak adil karena penggunaan kekerasan negara
lebih menguntungkan para elite pemerintahan dan ekonomi. Seperti pada kasus
konflik pertambangan, konflik pertanahan, konflik perburuhan, dan konflik
identitas di berbagai daerah Indonesia.
Kepemerintahan di Indonesia yang tidak
mampu mempraktekkan pengelolaan konflik secara responsif merupakan imbas dari
kepemimpinan politik. Sampai saat ini kepemerintahan pusat dan daerah masih
cenderung didominasi oleh kepemimpinan politik seksional. Yaitu kepemimpinan
yang membela dan melindungi kepentingan ideologi, ekonomi, dan identitas
tertentu dengan penggunaan wewenang politik negara. Karena itu, pengelolaan
atas kasus-kasus konflik berbagai isu cenderung menghasilkan keputusan yang
merugikan salah satu kelompok. Pada kondisi kepemimpinan politik seksional
yang hampir merata sebagai fenomena politik nasional, dominasi relasi di
dalam konflik-konflik kepentingan semakin kuat. Dominasi relasi yang memiliki
modal cenderung lebih dilindungi oleh kepemimpinan politik seksional karena
menguntungkan secara ekonomi dan politik.
Meski
demikian, di antara bayangan gelap kepemimpinan politik seksional, bangsa ini
masih memiliki harapan dari kemunculan beberapa pemimpin politik
transformatif pada 2012. Pemimpin yang melandaskan praktek kekuasaan pada
konstitusi, demokrasi, dan berpihak kepada kebaikan umum. Bangsa Indonesia
tentu berharap semakin banyak pemimpin transformatif yang mampu merealisasi
pengelolaan konflik secara responsif. Sehingga pada tahun selanjutnya,
konflik-konflik kepentingan tidak lagi diwarnai oleh kekerasan. Konflik
kepentingan harus dikelola demi kemajuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar