Intoleransi
Agama
Zuly Qodir ; Sosiolog UMY; Jemaah Muhammadiyah
|
KOMPAS,
29 Desember 2012
Kita hampir memasuki tahun 2013 dan
meninggalkan tahun 2012 yang disinyalir penuh rapor merah dalam hal kehidupan
beragama. Sejumlah survei memberikan rapor merah atas kebebasan beragama,
khususnya terkait kaum minoritas, seperti jemaah Ahmadiyah, jemaah Syiah
Indonesia, minoritas Kristen di daerah tertentu, sampai minoritas penghayat
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Survei The
Wahid Institute November 2012 menyebutkan, terdapat 193 kasus pelanggaran
atas kebebasan beragama yang dilakukan dengan bentuk-bentuk kekerasan,
pemaksaan, dan pelarangan.
Sementara itu, Setara Institute
menyebutkan, terdapat 103 kasus pelanggaran kebebasan beragama dengan
berbagai ancaman, perusakan, kekerasan, bahkan penghilangan nyawa.
Hal yang juga menarik, survei LSI dan
Yayasan Denny JA menyebutkan, tahun 2012 masyarakat kehilangan kepercayaan
dan kepuasan terhadap lembaga negara. Ketidakpuasan masyarakat atas lembaga
kepresidenan mencapai 62,7 persen, ketidakpuasan terhadap polisi 64,7 persen,
dan ketidakpuasan terhadap partai politik 58,1 persen.
Rendahnya kepuasan masyarakat atas tiga
lembaga negara tersebut disebabkan kerja lambat, terkesan apatis, dan
membiarkan dalam pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, kebebasan
beragama, di Indonesia.
Berdasarkan survei yang dilakukan di atas,
kita dapat mengambil banyak pelajaran yang berharga untuk tahun mendatang.
Tentu jika negara ini benar benar hendak melakukan perubahan secara
fundamental dalam hal kebebasan kehidupan beragama.
Pendidikan Inklusif
Salah satu penyebab menguatnya intoleransi
beragama diduga keras karena kurangnya pemahaman keagamaan yang memadai dari
masyarakat kita sehingga masyarakat mudah ”terjerumus” dan diprovokasi untuk
berbuat melawan hukum serta tindak intoleran. Beberapa perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan masyarakat adalah melakukan perusakan fasilitas umat
beragama: membakar, menyegel, dan atau melemparinya.
Sementara perbuatan dan tindakan
intoleransi agama yang dilakukan masyarakat, di antaranya dalam wujud
melarang jemaah umat beragama beribadah di tempat yang telah didirikan dan
tersedia dengan alasan mengganggu ketertiban dan harmoni dalam kehidupan
beragama.
Bahkan, tindakan intoleransi juga dilakukan
oleh umat beragama dengan melakukan aksi-aksi teror, baik atas umat beragama
yang satu keyakinan maupun yang beragama lain.
Pertanyaan tentu dapat diajukan di sini,
mengapa umat demikian mudah ”terjerumus” dan terprovokasi oleh orang yang
mengarahkan kebencian kepada orang yang berbeda?
Bukankah perbedaan merupakan kondisi
obyektif dan tidak bisa dihilangkan? Apakah perbedaan berarti harus
dihilangkan dan dijadikan arena perkelahian dan pembunuhan? Bukankah Tuhan
sendiri yang menciptakan perbedaan tersebut sebagai sunah-Nya?
Jika benar dugaan kita bahwa salah satu
penyebab utama faktor pemahaman agama yang ”dangkal” dan kurang, terutama berkaitan dengan paham keragaman,
terbuka dengan umat lain, pendidikan inklusif merupakan hal yang tidak bisa
ditawar lagi.
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan
yang memberikan pemahaman kepada publik bahwa perbedaan merupakan keniscayaan
(sunatullah). Perbedaan adalah berkah bangsa ini bukan petaka. Negeri ini
lahir karena adanya perbedaan dan sekaligus keragaman.
Dengan demikian, perbedaan merupakan hal
yang tidak boleh menjadikan kita membenci pihak lain yang berbeda dengan
kita. Perbedaan tidak perlu menghalangi kita untuk berbuat baik dan saling
menghargai. Bahkan, dengan perbedaan kita harus memiliki kehausan untuk
saling menghormati sebab di situ akan semakin tampak derajat keimanan
seseorang.
Pendidikan yang semacam itu harus digagas
dan dijalankan oleh setiap pendidik, baik formal ataupun nonformal. Pendidik
formal adalah mereka yang memang menjadi guru dari taman kanak- kanak sampai
perguruan tinggi. Sebab, mereka berhadapan langsung dengan peserta didik yang
sangat beragam kemampuan dan latar belakang.
Sementara itu, pendidik nonformal adalah
mereka yang berposisi sebagai juru dakwah, pengkhotbah, ustaz, guru mengaji,
serta sejenisnya yang juga memiliki jemaah dan sering kali berpengaruh di
depan jemaahnya.
Pendidik nonformal ini harus memiliki
”bahasa publik”, bukan sekadar bahasa domestik (khusus kelompoknya), sebab
dampaknya jika salah bersabda akan memakan korban.
Oleh karena itu, para pendidik formal dan
nonformal harus memiliki kemampuan bahasa domestik sekaligus bahasa publik
sehingga yang disampaikan akan sesuai konteks sosial yang dihadapinya.
Pendidik harus memiliki kemampuan multidisiplin dalam memahamkan agama kepada
jemaahnya, tidak sekadar pemahaman tunggal yang sifatnya dogmatik.
Memaknai Demokrasi
Dalam bahasa yang lebih longgar, pendidik
harus mampu memahami dan memaknai demokrasi. Demokrasi yang menghadirkan
keragaman dan perbedaan. Pendidik tidak bisa hadir sebagai sosok yang angkuh,
tiran, dan memberi napas kebencian kepada pihak lain.
Demokrasi dipahami sebagai arena untuk
menciptakan kehidupan yang lebih bermakna, lebih sejahtera, dan kenyamanan.
Demokrasi dipahami sebagai arena menyemaikan kedamaian dan keadaban sehingga
demokrasi menjadi bermakna tanpa kekerasan dan penuh kesantunan.
Kita tentu saja tidak berharap pada tahun
2013 kehidupan keagamaan Indonesia mendapatkan rapor merah karena umat
beragama yang beragam saling membenci, melakukan teror, serta melakukan
tindak kekerasan yang disebabkan oleh para pendidik dan absennya aparat
negara.
Semua tindakan kebencian, teror, dan
perusakan harus mendapatkan perhatian serius dari aparat negara yang dinilai
oleh publik lemah sehingga publik tak dapat kepuasan atas pelayanan yang
dilakukan selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar