Refleksi
Pendidikan 2012
Darmaningtyas ; Aktivis
Pendidikan di Tamansiswa Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 28 Desember 2012
Munculnya usul
integrasi pelajaran IPA-IPS ke dalam mata pelajaran lain dari kelas I sampai
VI dilandasi alasan untuk menyederhanakan jumlah mata pelajaran di SD yang
selama ini dinilai terlalu banyak.
Banyak catatan
untuk kinerja Kementerian Pendidikan 2012, karena memang banyak peristiwa
penting yang sifatnya strategis dan perlu dicatat. Pertama, pengesahan
Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menjadi Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (Nomor 12 Tahun 2012) menjadi tonggak penting bagi perkembangan
pendidikan tinggi (negeri) di Indonesia, karena undang-undang ini menjadi landasan
kuat bagi pengembangan perguruan tinggi negeri yang lebih mandiri dan
liberalistik. Pada dasarnya, roh dari UU PT ini adalah Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2009 tentang Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Dibatalkannya UU BHP
membuat ketujuh perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN)
kehilangan landasan hukum yang kuat. Karena itu, munculnya UUPT menjadi
"penyelamat" bagi PT BHMN karena ketujuh PT BHMN tersebut masih
tetap dapat menjalankan visi-misinya sebagai perguruan tinggi milik
pemerintah yang mandiri dengan payung hukum yang kuat.
Perbedaan UU
PT dengan UU BHP adalah, UU PT mengatur relasi antara warga dan negara secara
lebih jelas ketimbang UU BHP, yang lebih banyak mengatur masalah tata kelola.
UU PT juga lebih bisa diterima karena memberi kepastian akses bagi semua
warga untuk dapat mendaftar di PTN secara gratis, adanya kebijakan
affirmative action bagi warga yang tinggal di daerah pedalaman, daerah terdepan,
dan tertinggal, serta adanya pasal yang mengatur mengenai pertukaran dosen
antar-PTN/daerah sehingga memungkinkan terjadinya silang budaya. Itu
sebabnya, UU PT ini tidak menimbulkan tentangan yang masif seperti UU BHP.
Kedua, sidang
judicial review RSBI/SBI. Kebijakan RSBI/SBI yang dikembangkan oleh
pemerintah berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 pasal 50
(4), yang telah menimbulkan problem sosial karena sekolah-sekolah favorit
hanya dapat diakses oleh golongan mampu, akhirnya digugat ke MK oleh sejumlah
warga yang menghendaki agar RSBI dibubarkan dan dikembalikan menjadi sekolah
milik publik. Meskipun sidang tersebut sudah berlangsung pada Maret-April
lalu, sampai sekarang belum ada putusan MK mengenai hal tersebut. Diharapkan,
para hakim MK akan berpihak kepada publik dengan mengembalikan RSBI/SBI
menjadi sekolah negeri reguler yang dapat diakses oleh semua warga.
Ketiga,
integrasi ujian nasional dengan seleksi nasional masuk perguruan tinggi
negeri. Pemerintah akhirnya mengambil satu kebijakan untuk mengakhiri
kontroversi ujian nasional dengan cara mengintegrasikan hasil ujian nasional
(UN) sebagai sarana untuk seleksi masuk ke PTN. Dengan demikian, nilai UN
SMA/SMK yang sebelumnya tidak berfungsi apa-apa sekarang berfungsi sebagai
media seleksi bagi calon mahasiswa baru di PTN. Langkah pemerintah ini
sekilas solutif, tapi sesungguhnya menimbun masalah baru tentang kredibilitas
seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN. Hal itu mengingat sampai saat ini
kredibilitas UN sendiri digugat; sehingga penerimaan mahasiswa baru yang
didasarkan pada nilai UN dikhawatirkan secara perlahan akan memerosotkan mutu
PTN.
Keempat,
penegerian beberapa perguruan tinggi swasta. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan di bawah pimpinan M. Nuh ini termasuk yang rajin menegerikan
beberapa PTS menjadi PTN. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatrol angka
partisipasi pendidikan tinggi agar mencapai paling tidak 25 persen pada 2014.
Dipandang dari tanggung jawab negara, kebijakan ini betul karena dengan
penegerian PTS diharapkan animo masyarakat untuk masuk perguruan tinggi
semakin besar. Namun kebijakan ini dipandang kurang tepat ketika yang
dinegerikan adalah PTS-PTS di Jawa. Hal itu mengingat di Jawa sudah terlalu
banyak PTN. Bahkan semua PTN terkemuka berada di Jawa. Ini tentu akan
menimbulkan kesenjangan yang makin lebar antara Jawa dan luar Jawa, khususnya
Indonesia timur.
Kelima,
pelaksanaan program Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Terbelakang, dan
Terdepan (SM3T) merupakan bentuk mekanisme baru dalam rekrutmen calon guru
yang berkualitas. Boleh jadi program ini diilhami oleh program Indonesia
Mengajar yang dikembangkan oleh Anies Baswedan. Perbedaannya adalah, program
SM3T berlanjut pada proses seleksi menjadi guru pegawai negeri, sedangkan
Indonesia Mengajar tidak. Implementasi program SM3T ini adalah para lulusan
LPTK yang lolos seleksi (pada 2011 ada 3.000 sarjana) ditempatkan di
daerah-daerah terpencil di luar Jawa untuk mengajar selama setahun. Setelah
selesai mengikuti program mengajar, mereka berhak mengikuti program
Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setelah lulus mengikuti PPG, barulah mereka
berhak mengikuti tes sebagai calon guru pegawai negeri. Pola rekrutmen guru
yang panjang dan selektif ini diharapkan akan mampu melahirkan guru-guru yang
berkualitas. Ini merupakan jawaban atas kritik terhadap kualitas guru yang
rendah.
Keenam,
program Uji Kompetensi Guru (UKG) dimaksudkan sebagai jawaban atas kritik
terhadap kualitas guru yang telah menerima tunjangan profesi tapi kualitasnya
dinilai tetap rendah. Secara logika, alur kebijakan ini betul. Sebab, orang
yang telah menerima insentif berupa tunjangan profesional perlu dicek ulang
tingkat profesionalitasnya. Tapi secara empiris tidak punya akar yang kuat.
Mengapa? Karena proses sertifikasi guru tersebut tidak didasarkan pada
kemampuan akademik setiap guru, melainkan pada senioritas mengajar dan
portofolio. Keduanya ini tidak memiliki korelasi positif dengan kualitas,
tapi lebih terkait dengan lamanya mengajar dan kerajinannya mengumpulkan
berkas-berkas yang dapat menunjang. Dengan demikian, bila hasil UKG ternyata
buruk, itu merupakan konsekuensi logis dari proses sertifikasi guru yang
berbasis pada lamanya mengajar dan portofolio tersebut.
Ketujuh, Penyempurnaan
Kurikulum. Pada pengujung 2012 ini dunia pendidikan nasional diramaikan
dengan rencana pemerintah untuk menyempurnakan kurikulum dari Kurikulum 2006
(KTSP= Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) menjadi kurikulum baru (untuk
sementara disebut Kurikulum 2013). Isu yang mencuat ke permukaan adalah: 1).
Kurikulum 2006 sesungguhnya baru mulai berjalan, sekolah-sekolah baru mulai
paham tentang KTSP, tapi tiba-tiba sudah akan diganti dengan kurikulum baru;
2). Muncul usul integrasi pelajaran IPA-IPS ke dalam mata pelajaran lain dari
kelas I hingga VI dengan alasan untuk memangkas jumlah mata pelajaran di SD
yang selama ini dinilai terlalu banyak. Usul ini justru muncul pada saat
hasil TIMS (Trends in Mathematics and
Science Study) dan PISA (Programme
for International Student Assessment) menunjukkan bahwa pemahaman sains
murid-murid kita rendah. Dengan demikian, bila usul tersebut diterima,
dikhawatirkan kemampuan sains kita di dunia internasional akan semakin
menurun. Karena itu, alternatif yang bijak adalah integrasi IPA-IPS dengan
mata pelajaran lain dilakukan di kelas I-III, sedangkan di kelas IV-VI muncul
sebagai mata pelajaran tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar