Perjuangkan
Kedaulatan Energi
Ardhiyana Putra ; Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada
|
SUARA
KARYA, 27 Desember 2012
Keputusan cukup
mengejutkan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai gugatan yang diajukan oleh
beberapa tokoh intelektual muslim atas UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas
telah dikabulkan, meski hanya sebagian dikabulkan, setidaknya telah mampu
menganulir keberadaan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai wakil
pemerintah dalam urusan kuasa pertambangan. Adapun Mahkamah Konstitusi
menilai keberadaan lembaga ini bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan ini laksana
angin segar bagi sebagian kalangan. Alasannya, keberadaan BP Migas yang
cenderung berpihak pada kepentingan asing dari pada kepentingan negara dan
rakyat. Hal ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang sudah ada dimana
banyak aset di bidang migas yang jumlahnya 74 persen justru dikuasai
kontraktor asing. Sebut saja pengelolaan Blok Cepu oleh Exxon Mobile, Blok
Mahakam oleh Total E&P dari Perancis dan Inpex Coorporation dari Jepang,
dan yang terbaru adalah LNG Tangguh yang secara aneh "dimenangkan"
oleh British Petroleum.
Rentetan pengkhianatan
yang dilakukan oleh BP Migas tentu patut disayangkan. Hal ini mengingat
pemerintah memiliki Pertamina yang notabene merupakan perusahaan milik
negara. Seharusnya menjadi kewajiban negara untuk memprioritaskan pengelolaan
potensi kekayaan alam kepada anak bangsa sendiri. Karena segala kekayaan alam
yang dimiliki adalah anugerah yang sepenuhnya menjadi milik dan diperuntukan
bagi bangsa yang mendiami wilayah tersebut.
Di
bumi Indonesia justru kebalikannya, arus liberalisasi secara nyata
menjangkiti model pengelolaan kekayaan alam di sektor migas. Setidaknya
proses tersebut tercermin dari episode panjang kebijakan di sektor hulu
pemerintah. Dimulai dengan model pengelolaannya yang sama sekali tidak
mencerminkan kedaulatan dan martabat bangsa. Mulai dari izin konsesi, kontrak
karya, produk sharing contract, maupun kontrak kerja sama. Kesemuanya
memberikan porsi lebih pada kontraktor asing.
Bisa
jadi selama ini masalah memang berada di sektor hulu. Setidaknya ini
tercermin dari beberapa pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 terkait wewenang BP
Migas, yakni dapat menunjuk penjual minyak bumi dan, atau gas bagian negara
yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Mengikuti
logika ini, berarti sama saja menempatkan Pertamina dalam posisi yang setara
dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Eksesnya jelas, dengan
pertimbangan sumber daya dan infrastruktur yang (dianggap) lebih mumpuni,
perusahaan-perusahaan asing cenderung lebih diprioritaskan. Terlebih, dalam
kerja eksplorasi dan eksploitasi bebas dilakukan tanpa campur tangan
pemerintah. Minimnya peran Pertamina terlihat dari total 275 Wilayah Kerja
Pertambangan (WKP), Pertamina hanya menguasai sekitar 12 persen saja. Sangat
miris, ditengah upaya restrukturisasi dan reformasi Pertamina yang kian
menunjukkan kinerja positif.
Namun,
bubarnya BP Migas, tidak serta merta menjamin terciptanya kedaulatan energi.
Asumsinya, mekanisme politik yang nantinya turut andil dalam porsi lebih
besar menentukan arah gerak bangsa ini. Celakanya, yang tengah menjadi tren
dalam konstelasi politik Indonesia adalah kecenderungan transaksional dan
terjebak dalam vested interest. Tidak hanya di sektor energi yang memang
menjanjikan keuntungan besar, pun di ranah lain seperti pangan, teknologi,
dan sektor lainnya kita belum mampu menunjukkan mar-tabat sebagai bangsa yang
besar.
Bangsa
yang besar tentu tidak dilihat dari kuantitas penduduk yang mendiami sebuah
wilayah semata. Terlebih penting, bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga
akan segala kekayaan yang dipunyai, yang dengan segala daya dan upaya akan
berusaha mempertahankan demi tercapainya faedah bersama. Sedangkan kebutuhan
bangsa ini sekarang adalah doktrin kedaulatan yang mampu menginternalisasi
dalam mindset kebijakan yang dihasilkan pemerintah.
Memang
benar bahwa minyak adalah sumber energi yang paling strategis, berada di
jantung ekonomi modern. Hampir seluruh infrastruktur ekonomi industri
bergantung pada minyak. Dengan nilai strategisnya itulah, minyak telah sejak
lama menjadi bahan sengketa yang sarat intrik politik sekaligus konspirasi.
Dalam diplomasi, minyak adalah senjata yang ampuh dan efektif.
Pertanyaannya,
negara macam apa yang rela atau dengan mudahnya menjual
"kedaulatan" demi kepentingan asing? Dalam konteks ini, merujuk
pada konsep Jawa, sadhumuk bathuk, sanyari bumi tak belani nganthi mati, yang
bermakna, "walau hanya seluas ujung jari, bumi/tanah milik (negeri)
kita, harus kita pertahankan."
Adagium
ini mengisyaratkan pentingnya mempertahankan, bukan hanya keutuhan wilayah
dan kedaulatan negara, tetapi juga martabat bangsa. Bukankah dalam novelnya,
Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa "kita harus berlaku
adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan".
Adil
sejak dalam pikiran dimaknai sebagai upaya penuh pertimbangan dengan
mendasarkan diri pada asas manfaat dan kepentingan orang banyak. Paradigma
semacam inilah yang senyatanya kurang dipahami dan dihayati oleh segenap elit
politik, elite birokrasi di Indonesia. Sehingga tak ayal orientasi
tindakannya selalu diliputi rasionalitas sempit dibumbui pragmatisme.
Kebijakan adalah persoalan untung rugi. Yang menguntungan akan dibela, yang
rugi tentu saja dibiarkan. Tentu bukan cerminan tindakan yang berkeadilan.
Ingat sebuah pesan
patriotisme yang pernah disampaikan oleh Bung Karno, "karmane vadni adikaraste maphalessu kada chana." Atau,
laksanakan kewajibanmu dengan ikhlas dan rela tanpa bertimbang, sebab jika
bukan engkau yang memetik buahnya, maka anakmu yang akan memetik, jika bukan
anak-mu, pastilah cucumu yang akan memetiknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar