CATATAN 2012
Inggris
Menjauh dari Uni Eropa
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Wacana Inggris keluar dari Uni Eropa
semakin kencang. Jika sebelumnya wacana Yunani keluar atau Grexit (Greek exit) sempat mengemuka, istilah
Brixit (British exit) juga tak
kalah bergema sepanjang tahun ini.
Apalagi, saat ini zona euro sudah hampir
tiga tahun berada dalam krisis. Publik Inggris semakin keras menyerukan
keluarnya Inggris dari UE. Alasan keluarnya Inggris dari UE dapat dibagi dua:
alasan sejarah dan propaganda.
Ketika Masyarakat Ekonomi Eropa—yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Uni Eropa (UE)—didirikan dengan dukungan
penuh Jerman dan Perancis, Presiden Perancis Charles de Gaulle memveto upaya
masuknya Inggris ke UE. Demikian pula dengan rakyat Inggris. Baru pada 1975,
rakyat mengizinkan Inggris masuk UE.
Seiring dengan perjalanan waktu, keadaan
berubah. Pada tahun 1975, Partai Konservatif merupakan pihak yang paling
pro-UE. Sementara bagi Partai Buruh, UE hanyalah klub kaum kapitalis.
Saat ini, sebagian besar anggota parlemen
dari kubu Konservatif merupakan mereka yang sangat skeptis terhadap euro.
Hanya seperempat dari pemilih Konservatif yang ingin tetap di UE.
Tak sedikit pula pengusaha yang lebih senang
Inggris keluar dari UE. Menurut jajak pendapat di The Observer, 56 persen rakyat Inggris ingin keluar dari UE.
Kampanye keluar dari UE juga sudah ditiupkan dalam satu dekade terakhir oleh
media berhaluan kiri.
Belakangan, isu-isu ekonomi, seperti perbankan
dan jasa finansial, yang menyatukan negara-negara UE dipandang sebagai
ancaman terhadap supremasi London sebagai ibu kota finansial Eropa.
Sedikit demi sedikit Perdana Menteri
Inggris David Cameron mengubah posisinya terhadap hubungan Inggris dan UE.
Satu tahun lalu, Cameron mengatakan dia tidak akan siap melihat Inggris
keluar dari UE.
Sekarang dia mengatakan, masa depan Inggris
di luar UE sudah dapat dibayangkan. Satu tahun lalu, dia menentang rencana
referendum tentang masuk atau keluar UE. Sekarang, dia hanya memerlukan
pemungutan suara segera.
Selasa (18/12), Cameron menambah panjang
daftar penolakan terhadap kebijakan UE. Dia mengatakan tidak akan
menandatangani inovasi UE dalam beberapa hal, termasuk yang paling baru,
yaitu Tentara Eropa.
Sebelumnya, Inggris telah mengatakan tidak
terhadap kesepakatan mata uang tunggal euro, persetujuan Schengen untuk
membuka perbatasan, kesatuan fiskal, dan yang terakhir tentang uni perbankan
Eropa. Inggris semakin tak nyaman dengan kebersamaan di UE.
Sikap ini tentu membuat jengkel para
petinggi UE. Jerman sering berselisih pendapat dengan Inggris, yang oleh
Jerman dituduh berstandar ganda.
Cameron mengatakan kepada anggota zona euro
untuk melakukan banyak hal demi menyelamatkan mata uang bersamanya. Namun,
Inggris tak menawarkan bantuan dan mengabaikan permintaan konsultasi mengenai
berbagai keputusan besar, seperti rekapitalisasi perbankan.
Di Brussels, Cameron mengatakan kepada UE
agar berhati-hati supaya pasar tunggal mereka tidak pecah. Namun, di sisi
lain dia justru berkeras bahwa aturan perdagangan bebas harus berlaku untuk
semua. Berlin berpendapat, pengaturan kembali aturan mengenai pasar tunggal
akan memunculkan permintaan peningkatan proteksi dari berbagai negara.
Dampak Keluar
Sebenarnya, apa dampak bagi Inggris jika
benar-benar keluar dari UE? Dilihat dari sisi keuangan, Inggris dapat
menghemat banyak. Maklum, untuk menjadi anggota, UE menarik iuran yang
lumayan besar, sekitar 13 miliar dollar AS per tahun. Jumlah ini dapat
digunakan untuk keperluan lain.
Namun, sebaliknya, dengan bergabung dalam
UE, harga pangan bisa menjadi lebih murah. Secara multilateral, negara-negara
dapat memangkas hambatan impor, termasuk untuk produk pertanian.
Ada juga dampak terkait aturan
ketenagakerjaan. Menurut aturan UE, ada pembatasan jumlah maksimum jam kerja,
yakni 48 jam dalam sepekan. Jika aturan ini tak mengikat Inggris lagi, hak
pekerja tetap dan pekerja tidak tetap akan menjadi sama. Tentu hal ini
disambut baik oleh dunia usaha. Selain itu, kejayaan London sebagai ibu kota
finansial akan muncul lagi.
Sebaliknya, apa ongkosnya bagi Inggris?
Ekspor susu olahan Inggris akan terkena pajak impor sebesar 55 persen untuk
dapat masuk ke pasar UE. Beberapa jenis barang akan kena tarif impor sebesar
200 persen. Industri komponen juga akan terkena tarif impor sebesar 4 persen
di UE.
Inggris juga dapat mengadakan perjanjian
perdagangan dengan negara lain. Pengalaman Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss
yang membentuk kelompok European Free Trade Association (EFTA) selama ini
menunjukkan, tak tertutup kemungkinan untuk bernegosiasi dengan UE dalam hal
perdagangan.
Masih banyak cara dan jalan untuk
berkembang di luar UE.
Jadi, tampaknya kata Brixit akan kita
dengar semakin sering hingga pemilihan umum Inggris yang dijadwalkan tahun 2015.
(THE
Economist/CNBC/Reuters/joe) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar