Harapan Baru
untuk 2013
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2012
KEPERGIAN sebuah tahun menyisakan rasa haru
karena secara abstrak menandakan berakhirnya suatu episode dalam perjalanan
hidup manusia. Akan datang tahun baru dengan krisis-krisis baru. ‘Another X-mas, another year, another
crisis in the gulf...Yet another chance, if not to change to world, to love
it more. Life is a gift...’. Begitu pernah ditulis penyair Goenawan
Mohammad. Pesannya memberi harapan baru.
Memasuki 2013, apa makna yang terbaca dari
peristiwa-peristiwa lalu? Abad nuklir menawarkan berbagai kemungkinan
positif. Namun, manusia, dengan sifat dan adatnya, memiliki kepentingan yang
berbeda, baik sebagai anggota masyarakat dunia ataupun sebagai individu.
Rasanya kita bersepakat, mudah-mudahan dalam tahun baru kita memiliki
pemimpin-pemimpin dunia yang bersikap bijak, tegas, dan kuat, yang mampu
memberikan kepemimpinan teladan, suaranya didengar rakyat banyak, dan tidak
segan mendengarkan suara rakyat banyak.
Seperti kata mantan Wapres Jusuf Kalla dalam
diskusi terbuka Indef dan Media Group minggu lalu, semua bergantung pada para
pemimpin.Untuk kita di Indonesia, yang mendesak dan kasatmata saat ini ialah
kebutuhan akan kese jahteraan ekonomi, yang banyak disuarakan mayoritas
rakyat yang belum sejahtera. Sekalipun pertumbuhan ekonomi tergolong tinggi,
sekitar 6,5%, kesenjangan sosial pun tetap tinggi.
Karena itu, jajaran pemimpin diharapkan lebih
memfokus pada masalah pemerataan distribusi--baik kekayaan pendapatan maupun
pelayanan. Kontrol terhadap kekayaan pribadi atau sumber-sumber ekonomi masih
terabaikan. Pajak progresif belum berlaku seperti yang diharapkan, sedangkan
hukum belum bisa diandalkan sebagai pelindung yang lemah.
Pada gilirannya yang lemah masih jauh dari
kesempatan mobilitas ke atas karena pengaruh dan kesempatan politik pun belum
sepenuhnya terbuka bagi mereka; sebuah fakta yang tentunya semakin merugikan
kesempatan sosial mereka. Sangat tidak adil bahwa puluhan juta penduduk hanya
berpenghasilan kurang dari Rp8.000 sehari, sedangkan kelompok yang beruntung
bisa mendapat sekitar seratus kali lipatnya sehari.
Kelanggengan
Kemelaratan
Menurut James K Galbraith, ahli ekonomi
lulusan Universitas Texas, di negara-negara berkembang sebagian besar
masyarakat tinggal di daerah perdesaan tempat kemelaratan justru kukuh
mengakar. Ada alasan mengapa mereka sulit meng angkat diri dari nasib buruk
itu. Antara lain mereka menganggap kemelaratan sebagai takdir sehingga setiap
usaha perbaikan mereka lawan.
D i negara-negara kaya keadaannya berbeda.
Masyarakatnya mau hidup sejahtera. Untuk itu, mereka bekerja keras
meningkatkan produktivitas dan penghasilan. Tekad seperti itu yang oleh
Galbraith dianggap kurang di negara-negara berkembang. Menurut hasil
penelitiannya di sejumlah masyarakat berkembang, rakyat miskin ragu-ragu
mengikuti pembelajaran dan pendidikan dan bahkan curiga terhadap teknologi
baru karena khawatir akan risiko kegagalan. Kegagalan bisa berarti kelaparan
atau bahkan kematian. Tabung an sedikit yang terkumpul untuk berjagajaga
dikhawatirkan akan habis untuk biaya pembelajaran dan pendidikan.
Kemelaratan bersifat melemahkan motivasi orang
miskin untuk melawannya karena mereka terlalu malas untuk menjajaki
kemungkinan memperbaiki nasib. Bagi mereka, cara paling wajar ialah menjaga
ketenangan batin. Menurut Galbraith, tugas paling penting jajaran pemimpin di
negara-negara berkembang ialah meyakinkan bahwa sikap itu destruktif dan
tidak manusiawi, suatu penyakit yang harus dimusnahkan bersama.
Senjata paling ampuh berupa pendidikan.
Sayangnya sistem pendidikan di negara-negara berkembang kurang mendapat fokus
perhatian. Dalam hal Indonesia, kita tidak habis pikir mengapa tingkat
pendidikan kita tergolong paling rendah di wilayah ini.
Kesejahteraan yang Didambakan
Tata tentrem kerto raharjo: tenang dan damai
di negara sejahtera. Tidak mudah menciptakannya bagi rakyat yang jumlahnya
mendekati seperempat miliar. Kita sudah hampir tiga perempat abad merdeka.
Seperti yang sering diserukan para ahli ekonomi kita, sudah saatnya demokrasi
ekonomi sungguh-sungguh dilaksanakan mengingat pemerataan tampaknya menjadi
masalah laten yang menuntut penanggulangan cepat.
Bila merenungkan yang telah kita alami sejauh
ini, dan membandingkannya dengan pergolakan yang masih terjadi di sejumlah
negara lain, kita bersyukur negara ini hidup dalam suasana tenteram dan aman.
Sayangnya, demokrasi ekonomi, suatu sistem yang berkembang sesuai dengan
integritas ilmiah secara universal, kita jalankan tanpa mengindahkan
asas-asas Pancasila. Dalam diskusi dengan Media Indonesia, Prof Ahmad Erani
Yustika, ahli ekonomi lulusan Universitas Gottingen, menyatakan sistem
ekonomi apa pun memerlukan aturan main yang harus dipatuhi agar bisa
berhasil.
Bukankah Pancasila menjadi aturan main kita?
Sebab usaha pemerataan, di mana pun, termasuk di negara-negara maju,
menghadapi banyak kendala.
Sampai ada anggapan, kalau terlahir di kalangan orang tak punya, anak-cucu dan keturunan selanjutnya pun akan tetap dalam golongan tidak punya. Studi yang pernah diadakan di Amerika tentang mobilitas sosial menunjukkan anak-anak dari keluarga kelas bawah memiliki kesempatan jauh lebih kecil daripada anakanak dari kelas menengah/atas untuk memperoleh pekerjaan kelas atas.
Karena itu,
pemikir-pemikir kita di bidang ekonomi dan pendidikan rasanya memang harus
merumuskan sistem ekonomi dan pendidikan macam apa yang sebaiknya kita
terapkan untuk membangun tata tentrem kerto raharjo. Semoga tahun baru 2013
memberi harapan baru bagi segenap rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar