Pendidikan di
Pusaran Kerawanan
Hafid Abbas ; Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Jakarta
|
KOMPAS,
28 Desember 2012
Menarik direnungkan apa yang pernah
dikemukakan oleh Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi. Bagi Malaysia,
kata Badawi, pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia bukan sekadar
sesuatu yang mutlak atau sangat vital, melainkan persoalan hidup matinya
Malaysia.
Jika Indonesia berpandangan sama, bahwa
pendidikan adalah persoalan hidup matinya bangsa ini di masa depan, maka
sudah waktunya bangsa ini membenahi pendidikan secara sungguh-sungguh pada
semua dimensi persoalan pendidikan. Beberapa waktu lalu (27/11/2012) harian
ini melaporkan peringkat pendidikan Indonesia pada urutan terendah di dunia.
Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson,
sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan
Brasil. Tempat pertama dan kedua diraih Finlandia dan Korea Selatan.
Tiga Titik Rawan
Jika wajah pendidikan kita seperti itu,
proses perjalanan peradaban modern bangsa ini ke masa depan akan bergerak di
atas pelataran yang amat rapuh. Berikut ini titik-titik rawan itu. Pertama,
pada 21 Maret 2011, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam
rapat kerja dengan Komisi X DPR melaporkan, 88,8 persen sekolah di Indonesia,
mulai dari SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan minimal.
Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen
dari 201.557 sekolah di Indonesia berada di bawah standar pelayanan minimal,
48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, dan 10,15 persen yang
memenuhi standar nasional pendidikan. Sekolah-sekolah yang dinilai mampu
bersaing dengan mutu pendidikan negara-negara lain, yang disebut rintisan
sekolah bertaraf internasional, hanya 0,65 persen.
Jika potret suram itu tidak segera berubah,
di masa depan pendidikan kita hanya akan menghasilkan bangsa kuli yang tidak
mampu bersaing dengan bangsa lain. Lebih mengkhawatirkan lagi, pada 2015 kita
akan memasuki satu komunitas masyarakat tunggal ASEAN. Namun, sayang sekali,
hingga kini belum terlihat adanya tanda-tanda perubahan secara signifikan
pembenahan pendidikan nasional memasuki era baru itu. Dengan mutu pendidikan
yang rendah, Indonesia sesungguhnya akan memasuki era kolonialisme baru dari
bangsa lain yang kualitas pendidikannya lebih maju. Terdapat sekitar 2,7 juta
buruh migran Indonesia bekerja di Malaysia, diperkirakan 60 persen bekerja
sebagai pekerja rumah tangga, buruh perkebunan, dan buruh konstruksi.
Kerawanan kedua, saat ini tercatat sekitar
3.600 perguruan tinggi swasta dan hanya ada 92 perguruan tinggi negeri. Dari
jumlah itu terdapat 6.000 program studi yang belum terakreditasi atau tak
legal (Kompas, 18/5/2012), 42 persen dari semua tenaga pengajarnya masih
berpendidikan S-1. Hanya 6-7 persen dari semua program studi yang berjumlah
1.7000- 18.000 yang terakreditasi A.
Gambaran ini kelihatannya jauh lebih suram
jika dibandingkan dengan wajah pendidikan dasar dan menengah. Jika ditambah
dengan jumlah akademi komunitas yang akan segera dikembangkan di semua
provinsi yang tersebar di 300 kabupaten/kota, Indonesia akan tercatat sebagai
negara dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di dunia.
Sekadar perbandingan, China dengan penduduk
mendekati 1,4 miliar atau sekitar enam kali lebih besar daripada Indonesia
hanya memiliki 2.263 perguruan tinggi (Fact about China Education, 2011).
Lebih menarik lagi, China menggalakkan kebijakan penggabungan perguruan
tinggi yang kecil-kecil menjadi perguruan tinggi besar dengan pengelolaan
yang lebih profesional. Pada 2011 terdapat sekitar 900 perguruan tinggi
kecil-kecil yang dikelola dengan pendekatan seperti itu.
Moratorium pembukaan program studi dan
perguruan tinggi baru yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
bukanlah solusi, bahkan akan menciptakan masalah baru yang lebih rumit.
Perguruan tinggi harus terus-menerus berubah dan berkembang seirama dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dinamika perubahan
masyarakat. Sungguh satu kekeliruan jika tuntutan itu harus dihalangi.
Kerawanan ketiga, sejak lebih dari satu
dekade terakhir terdapat pergeseran kebijakan pengelolaan pendidikan secara
keseluruhan—baik di pusat maupun di daerah—dari pendekatan teknis profesional
ke kepentingan politik praktis. Padahal, UNESCO dan ILO (1966) telah
mengeluarkan rekomendasi tentang pengembangan profesi guru dan jabatan apa
saja yang terkait dengan pendidikan. Pada butir 43 rekomendasi tersebut
disebutkan, posisi pengawas, kepala dinas pendidikan, inspektur jenderal,
direktur jenderal, termasuk menteri pendidikan atau jabatan apa saja yang
memerlukan tanggung jawab khusus yang terkait dengan urusan pendidikan,
haruslah diprioritaskan pada urutan pertama kepada guru yang sudah
berpengalaman.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, urusan
pendidikan telah dikavling menjadi jatah politik dari Muhammadiyah dan
kementerian agama jatah NU. Akibatnya, kementerian pendidikan telah
didominasi oleh mereka yang didukung oleh kepentingan Muhammadiyah, mulai
dari menteri hingga jabatan-jabatan lain. Latar belakangan keahlian di
jajaran struktural cukup variatif, mulai dari dokter, ahli batuan, ahli
rayap, hingga listrik arus lemah. Ironisnya, terabaikan adalah bidang yang
disarankan UNESCO, yaitu keguruan dan ilmu pendidikan. Hal ini terus
terpelihara hingga sekarang. Pengkavlingan seperti itu hasilnya ternyata
adalah keadaan pendidikan Indonesia dinilai terburuk di dunia.
Demi Politik Pencitraan
Keadaan yang lebih rawan lagi terjadi di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga ke pranata-pranata unit
birokrasi pendidikan paling bawah. Dengan otonomi daerah, para bupati/wali
kota terpilih dengan bebas menempatkan orang-orang dekatnya yang telah
dinilai berjasa atas kemenangannya di proses pilkada untuk mengisi semua pos
di dinas pendidikan daerah. Ada daerah yang mempromosikan seseorang yang
mengurus urusan pasar ke urusan pendidikan, ada pula yang berasal dari urusan
pemakaman ke dinas pendidikan. Pertimbangan-pertimbangan ilmiah seperti saran
UNESCO sudah kering di dada elite politik negeri ini.
Elite-elite kepemimpinan pendidikan di
pusat dan daerah kelihatannya baru mencari bentuk karena umumnya tidak tumbuh
di ranah pendidikan dan keguruan. Mereka umumnya mementingkan pencitraan. Misalnya,
jika ada 2-3 anak menang di olimpiade sains, misalnya, itulah yang
dibesar-besarkan untuk memberikan kesan bahwa mereka telah berhasil luar
biasa memajukan pendidikan. Mereka tidak menyadari bahwa mafia penyelenggara
olimpiade seperti itu tersebar dan menjamur di berbagai belahan dunia.
Dengan kepentingan pencitraan, keputusan
strategis pun sering kali diambil tanpa melalui hasil penelitian ilmiah. Ada
tawuran antarsiswa, solusinya adalah perubahan kurikulum. Apa benar semua itu
disebabkan oleh kurikulum? Menyalahkan kurikulum adalah modus paling aman.
Sebab, kalau sang pengambil kebijakan keliru, hasilnya baru diketahui 10-20
tahun kemudian. Lagi pula, satu lembar yang berubah dalam kurikulum dapat
melahirkan sekian ribu proyek baru yang dapat memberi lahan baru bagi
mitra-mitra luar untuk membantu meningkatkan daya serap anggaran di
kementerian pendidikan.
Semoga bangsa kita segera terbebas dari
belenggu kepentingan politik pencitraan dan bangkit dari keterpurukannya dari
posisi yang terendah di dunia, seperti yang dilaporkan oleh Pearson baru-baru
ini. ●
|
izin share pak Budi...
BalasHapusapakah pak Budi ada account di facebook?
salam kenal dan terimakasih
izin share pak Budi
BalasHapusSalam dari pulau dewata