Jalan Terjal
menuju Keadaban Politik
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2012
TERKUAKNYA berbagai kasus korupsi di negeri
ini di satu sisi menunjukkan realitas buruk politik kita dan di sisi lain
bisa menjadi secercah harapan pemberantasan korupsi. Satu per satu pejabat
yang terlibat mulai diusut keterlibatannya. Publik menunggu akankah secercah
harapan itu merupakan kesungguhan penegak hukum untuk memberantas korupsi
atau sekadar angin lalu.
Sepanjang 2012, publik menunggu penuntasan
beberapa skandal besar korupsi yang sejauh ini kabur. Skandal-skandal korupsi
itu sudah jelas menunjukkan bahwa pemerintahan yang selama ini mencitrakan
diri sebagai `bersih' dan `pemberantas koruptor' nyatanya sama sekali tak
terbukti.
Wajah peradaban politik semakin suram karena
korupsi yang tampak dibiarkan dan tidak dianggap sebagai masalah serius.
Terutama ketika bagian utama kekuasaan justru berada sangat dekat dengan
skandal tersebut. Semua serba-ditutupi, dipolitisasi, direkayasa, dan bahkan
masih dicitrakan sedemikian rupa agar tampak baikbaik saja. Seperti yang
terjadi di era Orde Baru, korupsi yang berada dekat di areal kekuasaan memang
nyaris tak bisa disentuh oleh hukum. Tapi kita semua diingatkan, membiarkan
korupsi khususnya yang berada di areal kekuasaan hanya akan membuat keadilan
akan mati, cepat atau lambat.
Kekuasaan telah melenakan penguasa. Kekuasaan
yang semestinya menjadi alat untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, nyatanya
diselewengkan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kita mendapatkan
pelajaran utama, bahwa kekuasaan beserta birokrasi di dalamnya sangat rentan
disalahgunakan bila tidak dipegang orang-orang yang sungguh-sungguh ingin
menciptakan kebaikan untuk negeri ini. Kekuasaan hanyalah medium kejahatan
bagi para politisi karbitan untuk memperkaya diri sendiri.
Terbuai Kekuasaan
Kekuasaan yang telah diraih sering menjadi
bumerang untuk melupakan rakyatnya. Ritus seperti ini terus berlangsung tanpa
ada perubahan untuk memperbaiki apa sebenarnya yang ingin diperjuangkan
sebuah partai politik.
Rakyat sudah tahu saat ini tampaknya jurus
elite politik kita begitu lihai dalam memainkan kata-kata. Kata-kata mereka
sulit diprediksi, karena kata-kata yang keluar dari elite politik kerap
membias dan bercabang. Ini membuat komitmen mereka sulit untuk
dipertanggungjawabkan kepada publik. Publik kerap dikecoh dengan `akrobat'
politisi dan kata-kata manis para elite. Padahal di balik permainan kata-kata
tersebut, terdapat intrik yang mengelabui.
Ini terjadi karena partai politik, tempat
mereka digembleng, sejak awal tidak memiliki kepekaan terhadap mereka yang
tertindas. Tema `tertindas' hanya dijadikan sebagai alat politik semata,
tetapi mereka tidak memiliki political
will untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi mereka. Partai politik di
Tanah Air tercinta ini sering menjadikan rakyat miskin sebagai tumbal. Suka
tidak suka, inilah wajah kepolitikan kita.
Visi mereka tidak digerakkan kesadaran bahwa
dalam berpartai berarti membangun sebuah keadaban politik untuk menuju sebuah
habitus baru: habitus solidaritas dan kesetiakawanan. Nilai-nilai itu belum
menjadi acuan dalam segala kebijakan penguasa.
Elite politik pun enggan belajar dari fenomena
bahwa rakyat sudah tidak memiliki kepercayaan yang akurat terhadap partai.
Bahkan rakyat juga sudah mulai meninggalkan tokoh-tokoh anutannya. Hal itu
merupakan manifestasi dari kekecewaan rakyat. Kekecewaan itu lahir dari
akumulasi tindakan elite politik yang tidak sering memenuhi harapan akan
terciptanya tata keadilan.
Akibatnya, keadilan sejauh ini hanya dimiliki
mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses kekuasaan. Jumlah mereka
sangat sedikit, tapi mereka inilah yang mampu mengendalikan republik ini.
Tangan mereka sangat berkuasa untuk mengatur kebijakankebijakan yang kerap
merugikan golongan rakyat luas.
Golongan kecil ini mengatur dan mengintervensi
kebijakan negara, dan tanpa disadarinya terus-menerus memerosokkan rakyat ke
dalam sebuah lumpur pekat. Lumpur pekat itu membuat kaum miskin tetap miskin.
Kaum miskin terpola sebagai kaum tak berdaya. Akibatnya, adalah bahwa
kebijakan negara kerap membuat kaum miskin dalam posisi yang tidak memiliki
daya tawar.
Sistem dan Budaya
Korup
Masalah korupsi di negeri ini sudah begitu
mendarah daging sehingga orang yang bersih bisa tersangkut melakukan korupsi
karena berada dalam sistem dan budaya yang korup. Masalah ini sangat serius
karena menyangkut masa depan gelap negeri ini.
Namun, para politisi dan penyelenggara negara
belum juga menganggap sebagai sesuatu yang serius. Dapat di lihat dari
perilaku politisi kita yang tidak bisa keluar dari pola politik pragmatis
untuk keuntungan dirinya sendiri. Kepentingan masa depan bangsa sudah tak
lagi menjadi bagian dari perilaku kehidupan politik mereka. Yang dipikirkan
hanyalah jabatan dan uang. Dalam merancang dan menjalankan beragam kebijakan,
yang diutamakan adalah dirinya ‘mendapat apa’, bukan bagaimana rakyat
mendapat tempat yang adil di negeri ini.
Politik kita benar-benar telah kehilangan
keadabannya. Para politisinya cenderung buas, terutama ketika hasrat untuk
meraih kedudukan dilakukan tanpa memperhatikan etika dan keutamaan publik.
Inilah wajah masa depan politik Ind donesia yang dapat kita lihat h hari ini.
Perebutan jabatan dan permainan uang menjadi roh utamanya. Etika dan paham
keutamaan publik hanya menjadi pemanis mulut.
Uang menjadi faktor paling penting
dibandingkan dengan gagasan dan ideologi.
Partai politik telah menjadi alat untuk memenuhi hasrat pribadi-pribadi daripada merupakan persemaian gagasan dan perjuangan ideologi. Semua demi uang dan jabatan. Rakyat hanyalah kamuflase dalam pidato-pidato politisinya.
Inilah yang membuat negeri kita semakin hari
tidak semakin kuat, malah semakin rapuh dan keropos. Bangunan politik hanya
dilandasi dengan kepentingan material. Akibatnya, politik menjadi sandera an
para pemodal. Ka rena yang dipikirkan adalah kepentingan pribadi, politik
sudah tak lagi sanggup me mikirkan kepentingan kemanusiaan. Tidak ada lagi
kepedulian yang nyata untuk melindungi rakyat kecil, semua itu hanya sandi
wara media.
Kekuasaan pun cenderung diguna kan untuk
melayani `yang punya uang'. Ia tak bisa keluar dari lingkaran setan itu.
Rakyat adalah konsumen yang bila ia tak memiliki uang, ia tak mendapatkan
pelayanan. Kekuasaan cenderung menginjak yang miskin.
Politik lalu bukan menjadi tempat yang nyaman
untuk memperjuangkan kepentingan publik. Politik adalah untuk memenuhi hasrat
material pribadi atau golongan-golongan. Politik kita mengalami disorientasi
yang sangat fatal, dan parahnya itu sudah membudaya ke segala aspek
kehidupan.
Jalan Terjal
Jalan terjal menuju keadaban politik kita pun
semakin jauh. Samar-samar dapat kita lihat betapa kekuasaan politik digunakan
secara sewenangwenang untuk melayani kepentingan pribadi, golongan, dan
kroni-kroni. Suka tidak suka itulah yang terjadi di era reformasi ini.
Kita membutuhkan perubahan secepat-cepatnya,
atau semua ini akan mewarnai wajah gelap masa depan kita. Kita membutuhkan
momentum untuk berubah sebelum semuanya terlambat. Indonesia bukanlah milik
generasi hari ini saja, melainkan akan diwariskan pada generasi mendatang.
Kita harus menegaskan kembali makna berpolitik
dan berkekuasaan, mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan
semesta, untuk membangun Indonesia menjadi negara yang makmur dan luhur.
Berpolitik bukan jurus aji mumpung untuk sekedar meraih kekuasaan. Berpolitik
adalah seni untuk membangun kemajuan bangsa.
Politik bukan bisnis,
di mana segala transaksi bermotifkan nilai ekonomis. Berpolitik adalah untuk
membangun bangsa ini dengan penguasa yang berpihak kepada rakyat, bukan
kepada mereka yang memiliki uang semata. Semua komponen bangsa ini
bertanggung jawab untuk mengingatkan agar politisi kita berjalan sesuai
koridor dan etika. Agar mereka tidak salah arah dalam menuntun bangsa ini
menuju masa depan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar