Prahara
Promosi Hakim
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Kota Baru, Kalimantan Selatan
|
KOMPAS,
28 Desember 2012
Patogen birokrasi akibat ambruknya kerangka
regulasi sistem karier dan ketidakjelasan kriteria perekrutan pejabat menjadi
persoalan sistemik lembaga pemerintahan kita.
Alih-alih menciptakan pemerintahan yang
bebas dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme, pascareformasi
penyalahgunaan wewenang dan jual-beli jabatan justru menggurita dan
menegasikan asas umum tata kelola yang baik. Temuan populer terkait patogen
birokrasi adalah para pegawai negeri sipil yang bermasalah dengan hukum
tetapi memegang jabatan strategis.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mencatat, 474 PNS tersangkut kasus hukum dan menduduki jabatan pemerintahan
daerah di 19 provinsi. Mereka berstatus tersangka, terdakwa, bahkan terpidana
(Kompas, 22/11). Dalam hal ini, pemerintah perlu membangun sistem
pengangkatan pejabat birokrasi berbasis rekam jejak, kompetensi, dan
integritas.
MA Terjangkit
Patogen birokrasi juga menjangkiti Mahkamah
Agung (MA). Beberapa hakim yang pernah terlibat pelanggaran berat terkait
etika profesi justru dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Kejadian
hakim ”sakti” yang seharusnya didemosi tetapi justru mendapat promosi terus
berulang. Setidaknya ada dua peristiwa anomali promosi yang bisa menjadi batu
uji.
Pertama, terkait peristiwa promosi hakim XX
yang berdasarkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) MA pada 29 November
2012 menduduki jabatan sebagai wakil ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Padahal, Komisi Yudisial (KY) memiliki catatan hitam tentang perbuatan
tercela yang bersangkutan empat tahun silam.
Hakim XX pernah berkomunikasi dengan pihak
beperkara, yaitu Artalyta Suryani alias Ayin, perihal keinginannya untuk
bermain golf di Shanghai, China, bersama teman-temannya. Percakapan itu
mengandung unsur mengharapkan sesuatu sehingga melanggar prinsip persamaan
dan imparsialitas.
Keputusan mempromosikan hakim XX menjadi preseden
buruk dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Jabatan strategis yang idealnya diisi hakim bersih justru dimandatkan kepada
oknum hakim dengan reputasi buruk. Keputusan itu harus dievaluasi karena
mencederai asas kepatutan dan norma kesusilaan. Pejabat publik harus menjadi
figur panutan bagi bawahannya.
Proses evaluasi mencakup desain ulang
kriteria penerapan sistem promosi secara lebih jelas dan terbuka sehingga
dapat dipertanggungjawabkan. Parameter promosi harus meliputi aspek kualitas,
integritas, dan prestasi hakim, bukan semata-mata berdasarkan
senioritas/pangkat.
MA saat mempromosikan hakim XX memberikan
beberapa alasan. Pertama, ”pemutihan” cacat integritas telah dilakukan dengan
mencopot hakim XX dari jabatannya kala itu, yaitu sebagai ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Barat. Kedua, hakim XX telah menjalani etape uji kelayakan
dengan predikat baik.
Namun, pertimbangan itu mengandung polemik
karena yang terkesan uji kelayakan dan kepatutan justru mengalpakan aspek integritas.
Padahal, tak sukar mencari hakim dengan reputasi cemerlang untuk jabatan
tertentu. Jika iktikad tulus untuk bersih-bersih MA benar-benar menjadi napas
para pengambil kebijakan, anomali mutasi dan promosi macam ini tidak terjadi.
Kedua, pada saat pertemuan bersama empat
lingkungan peradilan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, pimpinan MA
memberikan pengarahan agar warga peradilan senantiasa menjaga citra dan
keagungan MA. Jangan sampai kesetiaan terhadap institusi justru menjelma
menjadi kayu bakar dan membakar institusi sendiri.
Menggugat Promosi
Seorang peserta menanggapi dengan kritis
bahwa idealnya citra MA harus dipelihara. Namun, jika sistem mutasi dan
promosi MA terus mengoyak rasa keadilan, ia siap menjadi kayu bakar dan akan
membakar MA. Peserta tersebut tidak sedang bercanda. Ia menggugat promosi
seorang mantan pimpinan pengadilan sebagai wakil ketua pengadilan kelas IA.
Padahal, yang bersangkutan sedang menjalani hukuman disiplin hingga Maret
2013 berupa penurunan pangkat dan pemotongan remunerasi.
Merespons pertanyaan itu, pimpinan MA
mengatakan akan mengeceknya. Tak lama berselang hakim yang dimaksud dicopot
dari jabatannya meski yang
bersangkutan baru saja dilantik.
Jelas bahwa perbaikan sistem menjadi
mutlak. Ke depan pengembangan sistem rotasi, mutasi, dan karier hakim perlu
terus disempurnakan parameter yang obyektif. Dengan demikian, sistem reward
and punishment bisa diterapkan dan menekan unsur nepotisme. Promosi hakim
yang (pernah) melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim perlu
dipertimbangkan matang dan penuh kehati-hatian.
Catatan buruk sepak terjang seorang hakim
tak boleh diabaikan begitu saja. Kelak ketika yang bersangkutan mendaftar
sebagai hakim agung di KY, rekam jejak itu sangat memengaruhi penilaian.
Itulah dasar filosofis mengapa hakim yang cacat reputasi tidak punya ruang
yang luas untuk dipromosikan. Jabatan harus diemban oleh orang yang
berintegritas tinggi, berprestasi, dan memenuhi standar kompetensi.
Begitu juga hakim yang berprestasi bisa
mendapat reward dalam bentuk peningkatan karier. Hakim berprestasi yang
terlalu lama bertugas di daerah terpencil, misalnya, akan mengalami
keterbatasan akses pengetahuan dan kesempatan melanjutkan studi dibandingkan
dengan mereka yang bertugas di kota besar. Karena itu, asas pemerataan—dengan
menempatkan hakim ke sejumlah daerah— jangan sampai mengalahkan porsi
penilaian kemampuan seorang hakim dalam menentukan mutasi.
Ukuran hakim berprestasi bukan semata-mata
karena berani menjatuhkan hukuman berat atau putusannya tidak pernah
dibatalkan di tingkat banding ataupun kasasi. Hakim yang berprestasi adalah
hakim yang gigih menggali norma yang hidup dalam masyarakat dan memunculkan
teori baru sebagai pedoman bagi hakim lain sehingga menjadi yurisprudensi.
Standar Baku
Sistem mutasi dan promosi memang merupakan
bagian dari upaya pembinaan dan peningkatan kapabilitas/keahlian hakim.
Namun, diperlukan standar baku yang transparan agar proporsionalitas
perjalanan karier hakim bisa dipantau. Sistem mutasi dan promosi yang ideal
berbasis pada tiga hal: database rekam jejak, manajemen putusan dan
berorientasi pada peningkatan kualitas hakim.
Selama ini MA kecolongan mempromosikan
hakim bermasalah karena kurang mengoptimalkan integrasi data sumber daya
manusia dengan pengawasan, sistem karier, promosi, dan mutasi. Keterlibatan
KY yang terkait langsung dengan pengawasan hakim sangat diperlukan.
KY dan MA seyogianya menjalin kerja sama
dalam proses penilaian kinerja hakim karena keduanya memiliki keterkaitan
dalam tugas dan pelaksanaan fungsi sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar