KONSTITUSI DAN NEGARA
KESEJAHTERAAN
Konsolidasi
Masyarakat Sipil
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Pengantar
Redaksi
Menandai
peringatan Hari Sumpah Pemuda, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan
Lingkar Muda Indonesia pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri
I/2012 di Bentara Budaya Jakarta. Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara
Kesejahteraan: Meneguhkan Kembali Gerakan Masyarakat Sipil”, diskusi
menampilkan pembicara Karlina Supelli (STF Driyarkara), Roem Topatimasang,
Zuly Qadir, dan Ade Armando (Universitas Indonesia), dipandu oleh Sri Palupi.
Hasil diskusi dirangkum Zuhairi Misrawi dari LMI dan wartawan ”Kompas” Sri
Hartati Samhadi, diturunkan pada halaman 6 dan 7 hari ini.
Diakui atau tidak, lembaga swadaya
masyarakat menempati posisi penting dalam gerakan prodemokrasi.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, LSM
berperan sebagai pengawas dan pengimbang terhadap kekuasaan negara. Sebab, di
negara yang sudah mapan dan paling demokratis sekalipun tak ada jaminan
doktrin trias politika tentang pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif,
yudikatif) bisa berjalan ideal. Yang terjadi, ketiga cabang kekuasaan itu saling
berselingkuh. Karena itu, perlu ada pilar keempat demokrasi: masyarakat sipil
yang mencakup media, mahasiswa, LSM, dan lainnya. LSM lahir sebagai respons
terhadap ketidakadilan sosial dan otoritarianisme negara. Dulu, LSM jadi
tulang punggung gerakan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Kini, peran LSM
dinilai memudar, bahkan mendapat stigma negatif.
Tradisi yang Hilang
Pada masa Orde Baru, LSM diposisikan
sebagai kelompok anti-pemerintah, bahkan dituding sebagai agen asing. Kondisi
ini membuat LSM-LSM yang meski berbeda ideologi dan posisi merasa menjadi
satu dan memiliki musuh yang sama. Pada 1970-1980-an, peran LSM cukup
menonjol. Setidaknya ada tiga sumbangan signifikan diberikan LSM dalam
gerakan sosial saat itu. Pertama, LSM mampu menawarkan wacana pemikiran
alternatif di tingkat ideologi sebagai jalan lain atau tandingan bagi
ideologi pembangunanisme yang dijalankan pemerintah.
Kedua, LSM bukan sekadar berwacana,
melainkan juga memberikan contoh nyata penerapan di lapangan. Misalnya,
sekolah lapangan petani pengendalian hama terpadu, keuangan mikro untuk
mengatasi marjinalisasi sektor informal, dan lainnya. Ketiga, LSM menyediakan
informasi yang cukup baik bagi warga masyarakat sipil yang tak punya pilihan
dan tak tahu mau ke mana. Informasi ini diberikan dalam bentuk jurnal atau
terbitan berkala dan diskusi-diskusi reguler.
Kemampuan LSM menjadi tulang punggung
gerakan sosial pada masa itu dimungkinkan karena adanya tradisi dan komponen
penting yang berkembang di kalangan LSM. Ini tak lagi ditemukan di kalangan
LSM kini. Beberapa di antaranya adalah pertama, tradisi untuk melakukan
kajian, riset, dan diskusi secara serius untuk menemukan pemikiran
alternatif.
Kedua, adanya pembagian peran dan kongsi
sumber daya. Dulu, ada LSM-LSM yang berperan sebagai motor. Salah satunya
adalah LP3ES dengan Prisma dan diskusi-diskusi regulernya. Lembaga atau LSM
motor ini menjadi tempat bagi para pegiat LSM untuk mengasah pikiran dan
menggodok pikiran-pikiran alternatif yang menjadi terobosan.
Ketiga, adanya jaringan yang melakukan
diskusi dan rekoleksi secara reguler, bersengaja, dan berkelanjutan.
Rekoleksi ini dilakukan hampir di semua tempat di Indonesia, mulai dari kota
sampai ke komunitas-komunitas basis di desa. Dalam jaringan ini ada proses
pendidikan, pelatihan, dan perbantuan silang. Sementara sekarang, hampir
semua LSM sibuk dengan agendanya sendiri. Keempat, sistem manajemen yang
menciptakan atmosfer LSM sebagai ”rumah bersama”. Para pegiat di satu LSM tak
merasa sebagai orang asing ketika masuk ke kantor LSM lain.
Kondisi ini
menciptakan suasana dan mendorong orang saling berdiskusi.
Kelima, adanya pegiat LSM yang memainkan
peran sebagai elektron bebas. Mereka ini tak terikat pada satu organisasi
sehingga bisa ke mana saja dan semua LSM menganggap mereka ini teman yang
bisa digunakan. Keenam, adanya perekrutan khas gerakan. Dulu, orang yang mau
menjadi aktivis LSM harus melalui proses. Mereka dicari, dilatih, diajak
diskusi sampai 2-3 tahun baru bisa menjadi aktivis. Sekarang, perekrutan
melalui pengumuman dengan kriteria yang teknokratis.
Menerobos Kebuntuan
Tak seperti pada masa Orde Baru, kini LSM
menghadapi tantangan baru terkait kondisi ekonomi politik. Ekspansi kekuasaan
bisnis beberapa dekade terakhir telah melahirkan kekuatan baru yang mampu
melampaui dan mengatasi kekuasaan negara dan pilar keempat demokrasi.
Kekuasaan bisnis yang terjelma dalam kekuatan finansialnya punya kekuatan
untuk merusak tata hukum dan pemerintahan dengan membeli
keberlakuan/ketidakberlakuan peraturan, membeli jajaran pengadilan,
kepolisian, media, mendesakkan penggusuran dan perampasan hak rakyat, dan
sebagainya. Melalui cara inilah keluasan korupsi-kolusi dalam hubungan
bisnis-pemerintah terjadi.
Dalam kondisi seperti itu, tak mudah bagi
LSM menjadi saka guru masyarakat sipil. LSM dituntut dapat berperan lebih.
Bukan hanya sebagai pengawas dan pengimbang kekuasaan negara dan pasar,
melainkan juga kekuatan tandingan (countervailing
power) yang dapat menerobos kebuntuan sistem dan menawarkan jalan lain
dari apa yang sudah ada sekarang. Lalu, apa yang terjadi? Pascareformasi,
jumlah dan ragam LSM memang meningkat. Namun, LSM kini dinilai tak punya
analisis politik komprehensif terkait liberalisasi ekonomi dan karena itu tak
memiliki tawaran jalan lain atau jalan tandingan untuk menjawab ekspansi
kekuasaan bisnis yang destruktif terhadap demokrasi. Apalagi konsep-konsep
yang dulu dipakai LSM kini dipakai juga oleh pemerintah dalam kebijakannya,
seperti partisipasi, pemberdayaan, dan lainnya. Ini membuat LSM mati gaya.
Persoalan serius yang dihadapi LSM sekarang
adalah krisis ideologi, fragmentasi, dan penekanan pada kerja-kerja
berdasarkan isu tunggal. Hampir semua LSM kini sibuk dengan agenda dan
donornya masing-masing. Krisis ekonomi global serta meningkatnya kemiskinan
dan kelaparan di berbagai pelosok dunia memaparkan demikian banyak fakta atas
kegagalan sistem pasar bebas dalam kapitalisme global yang tak berpihak
kepada rakyat. Sementara demokrasi di dalam negeri terus digerogoti korupsi
yang kian sistemik dan terorganisasi. Untuk merespons ini diperlukan
konsolidasi gerakan masyarakat sipil yang mampu mengoreksi keadaan.
LSM sebagai bagian dari masyarakat sipil
punya tanggung jawab mewujudkan konsolidasi gerakan masyarakat sipil. Ini
hanya bisa terjadi kalau di kalangan LSM ada gerakan mengevaluasi diri dan
melakukan langkah-langkah konsolidasi, di antaranya membangun agenda bersama
yang didasarkan pada hasil kajian dan riset, mengurangi ketergantungan pada
sumber daya dari luar, membangun sistem informasi dan pangkalan data yang
menjadi bahan belajar masyarakat dan pelaku gerakan, serta membangun tradisi
”kerelawanan baru”. Dengan berkonsolidasi, LSM akan mampu menerobos jalan
buntu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar