Kebutuhan
Pangan Terancam Kartel
Abdul Hakim MS ; Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
|
SUARA
KARYA, 26 Desember 2012
Beberapa
waktu lalu, publik digoncang oleh naiknya harga kedelai diluar batas normal.
Tak ayal, kenaikan harga kedelai yang mencapai 40 - 60 persen ini membuat
para pengrajin tahu dan tempe berteriak. Luapan protes pun bermunculan.
Tuntutan ini dilakukan agar pemerintah cepat melakukan intervensi agar harga
bahan pokok pembuat lauk favorit masyarakat Indonesia ini segera bisa turun.
Kenapa harga kedelai bisa melonjak tanpa bisa dikontrol?
Jika
merujuk pada analisis Menteri Pertanian, Suswono, melonjaknya harga kedelai
itu lebih diakibatkan oleh beralihnya para petani menanam komoditas lain
dibandingkan kedelai, misalnya jagung. Komoditas jagung dinilai lebih
menjanjikan karena harganya lebih tinggi. Dengan harga kedelai yang hanya Rp
5.000 per kilogram, Suswono mengatakan petani agak berat menanamnya karena harga
perawatan yang besar. Itu sebabnya, produksi kedelai tak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan nasional. Untuk menutupi kekurangan, pemerintah kemudian
memutuskan untuk melakukan impor.
Dalam
konteks impor kedelai inilah, kemudian membuat Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) mencurigai adanya praktik kartel terkait melonjaknya harga
kedelai. Analisis KPPU ini merujuk pada fakta bahwa struktur pasar impor
kedelai nasional saat ini bersifat oligopolistik, yakni hanya ada sedikit
saja yang menjadi pemasok. Akibatnya, importir bisa dengan bebas memainkan
harga (kartel).
Sebetulnya,
peristiwa lonjakan harga kedelai pada 2012 ini pernah terjadi 2008 lalu. Kala
itu, naik-turunnya harga kedelai sangat tergantung pada dua pemasok utama,
yaitu PT Cargill Indo-nesia dan PT Gerbang Cahaya Utama. Hal itu disebabkan
74,66 persen pasokan kedelai impor dikuasai oleh dua pelaku usaha tersebut.
Saat itu, KPPU juga mencium adanya upaya praktik pengaturan pasokan oleh
keduanya, meski setelah KPPU melakukan penyelidikan, dugaan praktik kartel
ini sulit dibuktikan.
Naasnya,
meski sudah pernah terjadi, keadaan serupa terulang kembali. Pemerintah
seolah tidak menjadikan kasus 2008 sebagai bahan pelajaran penting.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), masih saja
memberikan izin impor kedeleai hanya kepada sebagaian kecil kelompok
tertentu. Tak heran apabila kemudian kelompok kecil ini memiliki power
berlebih dalam menentukan harga komoditas ini. Buntutnya, ketika AS yang
menjadi sumber impor kedelai terbesar Indonesia mengalami kekeringan,
Kemendag tak kuasa mengatasi lompatan harga.
Semestinya,
Kemendag sadar bahwa menyerahkan proses impor komoditas kedelai hanya kepada
sebagian kecil kelompok akan sangat rentan terhadap terjadinya praktik
kartel. Apalagi, komoditas kedelai saat ini sepenuhnya sudah mengikuti
mekanisme harga pasar. Selain itu, hingga kini belum ada lembaga penyangga
yang sewaktu-waktu bisa melakukan operasi pasar ketika harga kedelai tak
terkontrol. Bulog yang selama ini menjadi pengaman stok pangan nasional juga
tak bisa berbuat banyak. Namun, kenapa masih saja terjadi izin impor hanya
diberikan kepada sebagian kecil pemasok, yang kelihatannya kurang arif?
Dalam
konteks akademis, terjadinya praktik kartel sebetulnya bisa dijelaskan dengan
menggunakan pendekatan ekonomi politik. Kartel bisa terbentuk disebabkan oleh
adanya kepentingan para perencana pembangunan (pemerintah) dan politisi yang
ketika mengeluarkan kebijakan, motivasi utamanya bukan untuk memakmurkan
bangsa, melainkan lebih didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi atau politik dalam jangka pendek (Grindle, 1989). Disaat bersamaan,
kepentingan ini kemudian bertemu dengan kepentingan elemen-elemen masyarakat
(pengusaha) yang juga memiliki motif mengeruk keuntungan ekonomi jangka
pendek. Sehingga, kumpulan tiga elemen ini tak lebih hanya sebagai kelompok
pemburu rente semata (self-seeking
interset groups).
Keberadaan
para pemburu rente ini, menyebabkan tak adanya pertimbangan jangka panjang
ketika akan mengeluarkan sebuah kebijakan. Dampaknya, aturan yang dikeluarkan
oleh pembuat keputusan hanya berdasar pada motif kepentingan jangka pendek,
baik secara ekonomi ataupun politik, yang terkadang sangat mengabaikan
kepentingan masyarakat.
Dalam
konteks impor kedelai, sebetulnya Kemendag tak akan terlalu kesulitan untuk
membuat prediksi bahwa AS akan mengalami kekeringan yang menyebabkan produksi
kedelai negeri Paman Sam ini akan turun. Kita yang sangat tergantung pada
impor kedelai AS, tentu memiliki kepentingan khusus untuk mengkajinya. Namun,
kenapa Kemendag gagal melakukan analisis tekait hal ini?
Penjelasannya
tentu bisa diarahkan pada postulat awal bahwa lemahnya prediksi Kemendag
terkait kekeringan di AS yang berdampak pada melonjaknya harga kedelai
nasional, disebabkan oleh adanya kongkalikong kartel dengan pemerintah.
Secara sederhana bisa dikatakan, Kemendag, telah "terkerangkeng"
oleh kartel ketika akan membuat kebijakan tentang kedelai.
Memang,
analisa di atas masih sebatas postulat yang memerlukan verifikasi valid. Namun
setidaknya, jika ingin menghilangkan praktik kartel, Presiden harus berpijak
pada persoalan pemberangusan para pemburu rente yang ada di tubuh pemerintah
sendiri. Jika hal ini tidak dilakukan, tentu praktik kartel akan terus
mengkerangkeng pemerintah yang dampak negatifnya akan selalu ditanggung oleh
masyarakat luas, seperti yang terjadi pada kasus kedelai.Hal yang sama,
agaknya bisa terjadi pada daging yang sudah naik tinggi saat ini, dan pantas
dicermati.
Seperti telah
dikemuka-kan oleh Menko Perekonomian Hatta Rajasa, praktik kartel ini tidak
boleh terjadi karena sangat bertentangan dengan persaingan usaha yang sehat
dan adil. Ini hanya akan merugikan masyarakat luas dan menjadi penghambat
laju perekonomian Indonesia yang trennya positif. Jika ada, sudah sepatutnya
pemerintah memberikan sangsi tegas terhadap praktik kartel ini, agar tak
terulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar