Transformasi
Ekonomi 2013
A Prasetyantoko ; Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
31 Desember 2012
Tak mudah memproyeksikan
perekonomian 2013 mengingat masih begitu banyak faktor ketidakpastian.
Dampaknya, estimasi pertumbuhan ekonomi oleh banyak lembaga memiliki rentang
cukup lebar. Komite Ekonomi Nasional memperkirakan pertumbuhan 2013 berkisar
6,1-6,6 persen, sementara pemerintah masih tetap mempertahankan proyeksi
6,8-7,2 persen. Proyeksi Bank Indonesia agak lebih fokus pada kisaran 6,3-6,5
persen.
Faktor
apa saja penyebab ketidakpastian proyeksi ekonomi tahun depan? Perekonomian
Amerika Serikat pada pengujung tahun ini diwarnai ancaman jurang fiskal (
Sementara
di Benua Eropa tengah terjadi persaingan dalam penyelamatan ekonomi domestik
mereka. Beberapa negara mulai menawarkan izin tinggal tetap bagi warga asing
yang membeli properti dalam nilai tertentu. Spanyol, misalnya, memberikan
izin tinggal permanen bagi warga asing yang membeli properti seharga 160.000
euro (sekitar Rp 2 miliar). Sementara Portugal mematok harga lebih rendah
untuk lebih menarik orang kaya asing. Hampir semua negara maju tengah
bergulat dengan persoalan fiskal, yang salah satunya dipicu oleh kredit macet
di sektor properti.
Sebenarnya,
di tengah-tengah ketidakpastian, perekonomian Indonesia relatif pasti bisa
tumbuh di atas 6 persen pada 2013 sehingga apa pun alasannya kita memiliki
momentum untuk melakukan transformasi ekonomi guna meningkatkan daya saing
jangka panjang. Sayangnya, kita mengidap kecenderungan paling sering dialami
negara dengan perekonomian stabil, yaitu keengganan melakukan perubahan.
Tanpa usaha keras saja ekonomi sudah tumbuh cukup baik, untuk apa melakukan
transformasi yang sering kali menyakitkan?
Itulah
mengapa Schumpeter mengatakan, saat paling baik melakukan inovasi justru pada
saat krisis. Sebaliknya, sulit mengharapkan inovasi ketika perekonomian
sedang
Pertama,
kita membutuhkan transformasi fiskal. Sering kali besaran subsidi yang terus
membengkak akibat melonjaknya kuota bahan bakar minyak (BBM) dipertentangkan
dengan alokasi belanja modal (
Kedua,
terkait kemampuan penyerapan anggaran diperlukan transformasi kelembagaan
dalam tubuh birokrasi. Penyederhanaan aturan, terutama dalam penyusunan
anggaran, diperlukan supaya kementerian dan lembaga bisa segera menjalankan
rencana kerja mulai dari awal tahun. Di samping itu, peningkatan kapasitas
birokrasi tampaknya juga sangat diperlukan. Reformasi birokrasi, meskipun
tampaknya sederhana, faktanya begitu kompleks dan berjalan sangat lamban.
Ketiga,
dalam rangka memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki, transformasi
angkatan kerja sangat diperlukan. Merujuk laporan McKinsey, jika kita ingin
tumbuh sekitar 7 persen per tahun, maka harus ada peningkatan produktivitas
tenaga kerja sebesar 60 persen dari level sekarang. Bonus demografi akan
mulai surut tahun 2030-an. Maka, waktu kita sebenarnya tidak banyak, tak
lebih dari 20 tahun untuk melakukan transformasi kapital manusia.
Keempat,
transformasi sistem logistik. Indeks daya saing kita terus melorot dari tahun
ke tahun. Jika pada 2010 kita berada di peringkat ke-44, survei tahun
berikutnya melorot pada peringkat ke-46. Pada 2012-2013 ini, peringkat daya
saing global kita berada pada posisi ke-50 dari 144 negara. Namun, yang lebih
mengkhawatirkan lagi, daya saing infrastruktur kita begitu parah.
Infrastruktur pelabuhan kita berada pada peringkat ke-104. Soal sistem
logistik di pelabuhan, kita nyaris termasuk barisan terburuk.
Meskipun
prospek perekonomian kita bagus, jangan sampai kita terlena. Jika saja kita
mau fokus pada empat transformasi tersebut, niscaya akan terjadi perubahan
penting dalam jangka menengah/panjang. Namun, jika gagal, sangat mungkin kita
akan menjadi bangsa yang masuk dalam skenario jebakan negara berpenghasilan
menengah (
Meski
pemerintah sudah sangat paham tentang risiko tersebut, tampaknya belum ada
konsensus kuat untuk menghindari jebakan tersebut. Ada kekhawatiran besar,
pada 2013 semua pihak saling menunggu. Ada dua hal pokok yang seharusnya
segera direspons. Pertama, soal melonjaknya subsidi akibat kenaikan kuota BBM
yang diperkirakan lebih dari 48 juta kiloliter pada 2013 nanti. Kedua, soal
kekisruhan akibat kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang sangat signifikan
itu.
Jika
tidak segera terbentuk konsensus baik di bidang kuota BBM dan besaran subsidi
maupun di bidang upah, sangat mungkin sepanjang 2013 kita akan sibuk dengan
polemik. Polemik soal BBM bisa berubah menjadi ketegangan antara pemerintah
dan parlemen, sementara polemik UMP bisa meningkatkan tensi konflik pengusaha
dan buruh.
Tanpa
kepemimpinan yang kuat dari pemerintah, kita akan kehilangan momentum sangat
penting dalam rangka melakukan transformasi ekonomi jangka menengah/panjang.
Kita hanya akan sibuk dengan urusan jangka pendek yang melelahkan. Pada saat
yang bersamaan, tidak terjadi transformasi yang signifikan dalam perekonomian
kita. Artinya, kita tidak akan ke mana-mana.
Sementara
negara lain saling berlomba memperbaiki situasi domestik mereka, kita sibuk
dengan polemik di dalam negeri. Jangan sampai kita selalu menjadi bangsa yang
terlambat dalam merespons situasi. Telah banyak kesempatan yang hilang.
Jangan sampai, kesempatan emas ini juga hilang begitu saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar