Mencegah
Radikalisme
Mohammad Mahpur ; Dosen Psikologi Sosial UIN Maliki Malang;
Sekretaris Lakpesdam NU
Kota Malang
|
KOMPAS,
29 Desember 2012
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran
bangsa karena praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebinekaan dan
kedamaian.
Radikalisme ini membawa gerakan purifikasi:
mengingkari unsur lokalitas yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena
itu, praktik keberagamaan semacam ini pada praksisnya menafikan pluralisme
sedemikian rupa sehingga cenderung bersikap intoleransi dalam beragama,
menjadi eksklusif, anti-keragaman, dan pada titik kritis dihipotesiskan
melahirkan terorisme.
Said Aqil Siroj berpendapat dalam artikel
berjudul ”Kebutaan Budaya” (Kompas, 10/12/2012), bahwa puritanisme yang
akhirnya membibit radikalisme agama dan terorisme terkait dengan polarisasi
keberagamaan berangkat dari sentimen antibudaya. Mereka tidak melihat bahwa
persenyawaan Islam Indonesia adalah metamorfosis yang tidak bisa terlepas
dari khazanah lokalitas keindonesiaan. Inilah yang disebut Said sebagai
kebutaan budaya. Sentimen antibudaya inilah yang mengikat psikologis mental
keagamaan kalangan radikalis menjadi tertutup (eksklusif) dan garang. Mereka mudah
terkontaminasi oleh induksi teror dalam bentuk stimulasi semangat jihad
perang dan martir bom bunuh diri sebagai dampak pesan subliminal mati syahid.
Sebagai langkah mengantisipasi perkembangan
radikalisme dan terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme telah
mengagendakan perspektif afirmatif dengan memperkuat program-program
deradikalisasi. Ini untuk memicu praksis keberagamaan yang lebih ramah bagi
kehidupan kebangsaan dan mencegah lahirnya martir terorisme. Namun, jika
mengacu ke historisitas keberagamaan Nusantara, program deradikalisasi itu
sebenarnya tidak terlalu mengakar ke basis komunitas beragama tanpa memahami
bahwa rentang perkembangan dan peradaban Nusantara telah memiliki akar
antroposentris bagaimana Islam menjadi agama Nusantara yang berkembang secara
evolusioner.
Jejak Historis
Tulisan ini ingin memantik kembali gagasan
Gus Dur tentang ”Pribumisasi Islam” yang muncul tahun 1980-an dalam Islamku,
Islam Anda, Islam Kita (Anwar, 2006, The Wahid Institute). Gagasan itu
merupakan jawaban yang mampu memberikan perspektif pencegahan praktik
radikalisme agama. Gus Dur sangat menghargai metamorfosis Islam Nusantara
dengan menempatkan Islam secara kontekstual, yaitu sebagai bagian dari proses
budaya. Meskipun sedikit terlambat, inilah cara pandang futuristis Gus Dur
(suara langit beliau) tentang Islam Indonesia ke depan agar tidak
terperangkap dalam radikalisme dan terorisme yang mencerabut Islam dari akar
Nusantara.
Pribumisasi Islam menekankan bahwa praksis
keislaman ”tidak selalu identik” dengan pengalaman Arab (Arabisme). Ia
adaptif dengan lokalitas. Akar ”Pribumisasi Islam” sebenarnya tidak asing
jika dilihat dari historisitas NU. Pribumisasi merupakan semangat lanjutan
dari perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari, yang berusaha tetap
mempertahankan praktik ritual dan beragama mazhab Syafi’i Indonesia dengan
corak tradisional. Perjuangan ini membidani kelahiran NU (1962) karena tidak
sejalan dengan kaum modernis yang mendukung kepemimpinan baru Wahabi di
Mekkah di bawah reformis Ibnu Saud. Naiknya Saud dikhawatirkan akan
merongrong keberagamaan mazhab Syafi’i.
Gerakan ini tidak semata-mata aksi untuk
pembelaan kaum tradisionalis dari serangan modernis yang mengatakan kaum
tradisionalis musyrik karena praktik TBK (takhayul, bidah, dan khurafat).
Kelahiran NU telah mengilhami praktik kultural Islam Nusantara yang
menyelamatkan Indonesia ketika puritanisme dihipotesiskan melahirkan gerakan
Islam radikal dan terorisme.
Menyelamatkan Indonesia
Gus Dur lebih eksplisit lagi
mentransformasikan perlawanan kakeknya melalui gagasan ”Pribumisasi Islam”.
Gerakan melawan puritanisme telah menyadarkan kita bahwa pilihan perjuangan
tersebut tidak semata-mata demi kalangan tradisionalis (NU). Di hari ini
ketika Islam Indonesia di bawah ancaman radikalisme dan terorisme, gerakan
itu justru dapat dikatakan menyelamatkan Indonesia.
Pribumisasi adalah cara mujarab untuk
memerangi radikalisme agama. Pribumisasi menjadi entitas genuine yang
mengembalikan Islam Indonesia menjadi lebih membudaya, rahmatan li al ’alamin,
sesuai konteks keindonesiaan. Islam kultural inilah yang sebenarnya telah
dipelihara NU sebagai bagian dari upaya pendekatan keberagamaan. Dalam
konteks ini, NU memahami bahwa nilai-nilai historis perkembangan Islam tidak
bisa lepas dari konstelasi dan persinggungan dengan budaya. Ambil contoh
Sunan Bonang dan Kalijaga, yang menggunakan seni lokal sebagai instrumen
dakwah.
Perspektif Walisanga ini selain
melestarikan budaya Nusantara juga mengembangkan Islam dengan menggunakan
”kecerdasan artistik”. Islam dikomunikasikan ke orang lain dengan makna
keindahan. Doktrin digubah menjadi spirit yang dapat dengan mudah dipahami
oleh orang awam dengan cara persuasif. Spirit itu telah menyinari alam bawah
sadar masyarakat. Islam seperti ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu
mereduksi (menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental
perang. Islam mengedepankan kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin
dan tetap menghidupkan ekspresi lokalitas.
Pribumisasi Islam memungkinkan praksis
keberagamaan mengambil sisi kearifan lokal. Islam dapat ditafsirkan untuk
memaknai kearifan lokal, bahkan mampu menghidupkan komoditas budaya lokal
menjadi semangat zaman di tengah liberalisasi budaya dan komoditas
”Arabisme”. Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenous yang mengembangkan
spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan lokal. Khazanah
kearifan lokal ditafsirkan untuk membentuk variasi keberagamaan ke dalam
anasir budaya yang dapat dimaknai.
Islam ditafsirkan ke dalam jantungnya kearifan
lokal. Ia mampu menggubah substansi spiritualitas (tauhid) tanpa mengubah
bentuknya. Tanpa berteriak Allahu Akbar, tauhid mampu dibangun bersama
narasi-narasi lokalitas. Inilah Islam yang telah menyatu ke jantung
masyarakat dengan beragam latar budaya. Di sinilah Islam rahmatan li al-’alamin dipraktikkan tanpa menyakiti manusia.
Dengan demikian, praksis keberagamaan untuk
mencegah lahirnya kader radikalisme dan teroris pada akhirnya akan jauh lebih
mengakar ketika gagasan ”Pribumisasi
Islam” dilestarikan sebagai praksis Islam Nusantara. Ia menjadi
pendidikan kultural yang disebarluaskan melalui langgar, surau, mushala, dan
masjid di desa-desa. Ia mewadahi dinamika kolektif masyarakat lokal, diwariskan
dari generasi ke generasi, dikonservasi melalui praktik budaya lokal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar