Darurat
Kekerasan di Papua
Cypri Jehan Paju Dale ; Direktur Sunspirit for Justice and Peace
|
KOMPAS,
29 Desember 2012
Kekerasan semakin menambah berat derita
Papua. Di pengujung tahun ini, kontak senjata menewaskan 3 anggota polisi dan
2 warga sipil di Lani Jaya.
Di Manokwari, seorang warga sipil meregang
nyawa di ujung laras aparat, memicu amuk massa yang melumpuhkan kota. Di
Merauke, seorang pendeta perempuan ditembak anggota TNI. Rangkaian insiden
itu menambah panjang catatan kekerasan tahun 2012.
Tahun ini juga terjadi eskalasi benturan
horizontal antarberbagai kelompok, baik antarsesama Papua, seperti di Timika,
maupun antara Papua dan non-Papua, seperti di Abepura pada Juli 2012. Marak
pula kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup domestik. Secara
keseluruhan korban langsung kekerasan mencapai ribuan orang, tidak kurang
dari 100 orang meninggal dunia.
Rentetan kekerasan itu merusak sendi
tatanan sosial dan relasi antarmanusia, kelompok, dan institusi. Kekerasan
itu bukan lagi berupa insiden sporadik yang terpisah satu sama lain,
melainkan rangkaian berpola umum (sistemik), berwujud dalam perilaku dan
tindakan aktor-aktor individual, sosial, dan politik. Itu terjadi pada level
rumah tangga (domestik), antarkelompok masyarakat berbeda klan, suku, agama,
kelas ekonomi, dan orientasi politik (sosial), serta antara masyarakat dan
negara (politik).
Situasi Papua mengarah ke darurat
kekerasan. Dalam istilah Hobbes, bellum
omnium contra omnes, kekerasan semua melawan semua.
Multidimensi Kekerasan
Konstruksi segitiga kekerasan Johan Galtung
membantu kita memahami multidimensi kekerasan di Papua dan memikirkan
solusinya secara baru. Galtung dalam Theory
of Violence membagi kekerasan atas tiga tingkat: kekerasan langsung,
struktural, dan kultural.
Kekerasan langsung, mulai dari kekerasan di
dalam rumah tangga hingga perang atau operasi militer, adalah wujud kasatmata
dari kekerasan. Kekerasan struktural tertanam dalam struktur-struktur sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Kekerasan model ini termanifestasi dalam
berbagai bentuk ketidakadilan, eksploitasi, represi, dan marjinalisasi.
Kekerasan kultural ada dalam pola perilaku, kerangka berpikir, ideologi,
bahasa, dan falsafah. Kekerasan jenis ini, walau tak kasatmata, melegitimasi
kekerasan langsung dan struktural.
Masyarakat asli/adat yang termarjinalisasi
dalam proses pembangunan dan eksplorasi sumber daya alam adalah contoh
kekerasan struktural. Tengoklah kondisi hidup orang Amungme di Mimika atau
orang Waris-Senggi-Web di Keerom. Ketika korporasi tambang, kayu, dan
perkebunan mengeruk untung di tanah leluhur mereka, mayoritas orang asli
hidup dalam kemiskinan, tanpa pelayanan pendidikan dan kesehatan yang
memadai, tanpa akses pada listrik, air bersih, dan jalan.
Pada aras horizontal, masyarakat asli
dipaksa bersaing dengan ”pendatang” yang jumlahnya kini melebihi penduduk
asli. Penduduk non-Papua umumnya mendiami kota dan menguasai sentra-sentra
ekonomi. Kombinasi berbagai faktor, seperti keterampilan, etos, modal, dan
jejaring, menyebabkan pendatang lebih menikmati kesempatan dan hasil
pembangunan. Kesenjangan ekonomi asli dan pendatang, selain persoalan
politik, jadi sumber ketegangan baru di Papua.
Dua wujud kekerasan itu dilegitimasi dan
dilanggengkan oleh kekerasan kultural. Dalam kaitan dengan konflik politik,
relasi pemerintah pusat dengan elemen masyarakat Papua masih diwarnai
ketidakpercayaan. Orang Papua yang kritis langsung digeneralisasi sebagai
separatis dan dihabisi aparat negara, sementara desakan mereka untuk dialog
yang jujur tak kunjung ditanggapi.
Secara ekonomi, ideologi kapitalis-liberal
membuka Papua bagi investasi berbasis eksploitasi SDA dan membiarkan
masyarakat adat yang polos bersaing dengan pemodal dalam pertarungan yang
asimetris. Secara sosial budaya, kekerasan kultural mewujud dalam budaya
patriarkat untuk kekerasan domestik serta mentalitas sukuisme-rasisme untuk
konflik sosial. Inilah akar kultural rangkaian kekerasan di Papua.
Jadi, kekerasan di Papua bukanlah
semata-mata insiden, melainkan kondisi darurat lingkaran setan yang brutal,
bersumber pada komplikasi kekerasan langsung, struktural, dan kultural.
Pembangunan Transformatif
Tak
ada cara lain menghentikan kekerasan selain dengan menghentikan kekerasan.
Mengutip Gandhi, tidak ada jalan menuju
perdamaian, damai itulah jalannya. Konkretnya?
Pertama, potong mata rantai kekerasan
dengan stop kekerasan politik. Semakin banyak aktivis Papua disiksa dan
dibunuh, makin dalam antipati mereka terhadap Indonesia. Semangat Papua
merdeka tidak sekadar hidup di hutan gerilya, tetapi juga dalam sanubari
korban kekerasan aparat dan kekejaman pembangunan.
Kedua, tegakkan hukum sipil serta perbaiki
kapasitas aparat untuk mengelola konflik sosial dan mengatasi amuk massa. Di
tengah komplikasi konflik vertikal dan horizontal, pemerintahan pada semua
level di Papua semestinya dibekali kemampuan fasilitasi dan resolusi konflik.
Ketiga, wujudkan pembangunan yang
transformatif. Salah satu akar konflik Papua adalah paradoks pembangunan.
Jangan percepat atau perpanjang pembangunan eksploitatif dan represif.
Sejumlah agenda pembangunan transformatif itu sudah sering disuarakan, di
antaranya ”selamatkan manusia dan alam Papua”; penuhi hak-hak dasar, kontrol
migrasi; laksanakan kebijakan afirmatif dalam UU Otonomi Khusus; dan stop
eksploitasi alam, ibu bumi mereka.
Keempat, hentikan diskriminasi dan
memandang rendah orang asli Papua. Pengalaman pahit orang Papua selama 50
tahun melahirkan apa yang disebut memoria passionis, pengalaman penderitaan
kolektif. Butuh pengalaman manis, solidaritas, keadilan, dan empati untuk
memulihkannya. Selain itu, akar lain dari budaya kekerasan di Papua juga
harus direfleksikan dan diubah oleh orang Papua sendiri. Orang Papua mesti belajar
hidup dalam keberagaman dengan berbagai kelompok suku bangsa, sambil dengan
penuh percaya diri membangun masa depan mereka sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar