Kebencanaan
sebagai Penggalangan Solidaritas Global
Syamsul Maarif ; Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2012
SEBESAR-BESARNYA kepentingan diri dan kelompok,
seberagamnya kepala dan pendapat, semua manusia dipersatukan oleh
kemanusiaan. Segala hal yang terkait dengan kemanusiaan selalu menjadi
kepentingan bersama. Asian Ministerial
Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) 22–25 Oktober lalu
memperlihatkan ‘hukum’ itu.
Keragaman pandangan politik, budaya, dan tingkat ekonomi
negara-negara Asia yang paling menonjol di antara kawasan-kawasan lain di
dunia mendadak melebur di Yog yakarta, dicairkan oleh persoalan dan tantangan
bersama, yakni upaya mengurangi risiko bencana.
Pengurangan risiko bencana bukan saja terlihat melunakkan
kepentingan-kepentingan kelompok negara yang begitu menonjol di bidang lain.
Itu juga mengundang minat yang begitu membesarkan hati.
Konferensi Menteri Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana itu ialah satu di antara sangat
sedikit perhelatan internasional dengan negara-negara peserta tampil
bersemangat untuk saling membantu, dengan mengabaikan perbedaan dan konflik
kepentingan. Dengan melihat pertunjukan ‘drama AMCDRR’, rasa-rasanya persoalan
kemanusiaan sangat sulit dimasuki rekayasa politik.
Mungkin, karena itulah AMCDRR menarik antusiasme yang
begitu besar. Bukan saja dari peserta yang berjumlah 2.600 orang yang berasal
dari 72 negara dan 366 organi sasi, melainkan juga dari masyarakat DIY dan
sekitarnya. Mungkin orang tak terlalu hirau istilah sukses atau tidak sukses.
Saya kira tak perlu pula kita terlalu memikirkan soal itu, tapi bagaimana
proses-proses perundingan di sana berjalan sedemikian lancar dan cepat perlu
dicatat dan diabadikan.
Kenyataan itu akan menjadi kemubaziran bila dilewatkan
begitu saja karena berbagai peserta mewakili sejumlah negara Asia Pasifik
yang terlibat dalam konflik politik dan ekonomi. Namun, di AMCDRR ini
negara-negara itu bisa bersama-sama membangun kesepakatan bulat--dalam waktu
singkat. Padahal, konflikkonflik di antara mereka itu sama sekali tak
sederhana.
Mungkin, bila perhelatan ini membahas persoalan pertahanan
dan keamanan, Korea Selatan dan Korea Utara tak akan sampai membuat
kesepakatan bersama. Demikian pula Palestina, Iran dengan Amerika Serikat,
dan India dengan Pakistan. Namun, di AMCDRR Yogyakarta, mereka malah menjadi
penjalin pemikiran-pemikiran yang berkembang dan mengawal itu menjadi
deklarasi bersama.
Mengapa bisa demikian? Sebetulnya sederhana. Siapa yang
akan mempersoalkan kemalangan anak-anak dan orangtua yang terkena bencana?
Siapa yang akan terpikir mencari-cari alasan politik kaum papa dan lemah?
Melebur
Yang perlu dicatat pula, jumlah peserta AMCDRR Yogyakarta
jauh lebih banyak daripada jumlah yang diundang. Tidak ada satu peserta
mempersoalkan hal itu. Apalagi Indonesia sebagai tuan rumah. Kehadiran
peserta di forum tersebut ialah terutama untuk berbagi. Tentu saja, untuk
berbagi tak perlu menunggu undangan.
Suasana AMCDRR memanglah suasana kemanusiaan. Semua
delegasi adalah delegasi kemanusiaan. Mereka hadir dan tampil lebih sebagai
bagian dari keluarga besar umat manusia, bukan wakil dari kekuatan atau
kepentingan tertentu. Setiap interest dari tiap-tiap negara peserta yang
mungkin berseberangan akhirnya melebur dalam common interest berupa bagaimana upaya untuk menyelamatkan
manusia dari ancaman bencana antargenerasi dapat dilakukan.
Maka, semua peserta terlihat begitu terbuka, lepas, dan
leluasa berekspresi. Ketika utusan dari Kazakhstan `curhat' bahwa karena
negaranya kecil dan kurang signifikan, mereka luput dari per hatian dunia.
Segera seluruh peserta, dipandu Indonesia, meyakinkan Kazakhstan bahwa semua
peserta siap membantu!
Ternyata, bukan cuma Kazakhstan yang tak risih mengungkapkan
kekurang an dan kelemahan. Jepang, negara adidaya ekonomi dan teknologi,
tanpa segan menceritakan sampai saat ini masih mempunyai masalah dalam
menempatkan kembali para pengungsi tsunami ke tempat asal. Jadi setelah dua
tahun, masih banyak korban yang tinggal di tempat-tempat pengungsian.
Begitu pula, negara-negara yang merasa sukses melakukan
upaya-upaya pengurangan risiko bencana tidak segansegan menuturkan pengalaman
mereka tanpa merasa menggurui. Andai konferensi di Yogyakarta itu mengenai
pakta keamanan, dijamin sikap demikian tak akan muncul.
Kebencanaan adalah masalah kemanusiaan yang merupakan
wilayah netral. Tanpa sadar ia malah menjadi kata lisator bagi
persoalan-persoalan nonkebencanaan yang mandek di forum-forum perundingan
lain. Terbukti, beberapa negara bersemangat memasukkan dan menawarkan solusi
bagi masalah-masalah gender, perlindungan anak, penyandang cacat,
masalah-masalah kelompok rentan, krisis air bersih, dan isu-isu penting dunia
lainnya, yakni adaptasi pada perubahan iklim.
Penyerapan masalah-masalah strategis non kebencanan ke
dalam masalah kebencanaan itu terlihat jelas dalam deklarasi yang di
hasilkan. Deklarasi Yogyakarta sebagai hasil dari konferensi tersebut lebih
tegas merekomendasikan komitmen politik di semua tingkat pemerintahan yang
perlu diwujudkan.
Tema konferensi yang berupa Penguatan Kapasitas Lokal Dalam Pengurangan Risiko Bencana
merupakan wujud kesadaran global bahwa masyarakat di tingkat lokal ialah stakeholder utama dalam pengurangan
risiko bencana. Wilayah remote yang terpencil jelas merupakan target
sekaligus pelaku bila terjadi bencana. Tidak ada pilihan lain, kecuali
meningkatkan kapasitas lokal di tempat bencana tersebut berpotensi hadir.
Pesan simbolis yang dapat diambil dari Deklarasi
Yogyakarta kepada dunia ialah penanggulangan bencana dapat menjadi salah satu
saluran bagi penyelesaian masalahmasalah ekonomi, politik, dan keamanan dari
aspek yang lebih soft. Karena itu, perhatian pemerintah terhadap masalah
kebencanaan baik berlingkup domestik maupun di tingkat internasional tentu
merupakan langkah strategis.
AMCDRR Yogyakarta mengingatkan kita kepada
kepemimpinan Indonesia dalam penggalangan solidaritas Asia-Afrika pada usaha
untuk melepaskan kawasan dari penjajahan pada dasawarsa 1960-1970-an. Tak
salah bila AMCDRR Yogyakarta dilihat sebagai bentuk baru penggalangan
solidaritas antarbenua itu--dengan ‘medan pertempuran’ yang berbeda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar