Pembuangan Nol
Alamiah pada Rupiah
Rohman Budijanto ; Wartawan
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 28 Desember 2012
DI sebuah hotel kecil di
Siprus Utara, saya pernah diminta memilih membayar ongkos menginap dengan dua
pilihan dalam mata uang yang laku di situ: 100.000.000 atau 100 saja.
Keduanya bernilai sama, sekitar Rp 535.000. Yang satu uang lama (eski), yang
lain uang baru (yeni) setelah revaluasi atau redenominasi. Uangnya pun bukan
uang Siprus, tetapi uang Turki (lira). Negara pulau di Laut Mediterania itu
memang unik, karena Siprus Utara hanya diakui oleh Turki. Sementara itu,
Siprus Selatan (Republik Siprus, yang sudah masuk Uni Eropa) condong ke
Yunani.
Uniknya lagi, saya menemukan uang lama Turki yang berjuta-juta itu justru di Siprus. Di Turki sendiri, semua orang sudah pakai yeni Turk lirasi (YTL, lira Turki baru) sejak 2005, yang dihapus enam nol (juta)-nya. Uang lama segera ditarik dan waktu itu, tahun 2008, sudah bersih dari pasar. Saya pun membayar hotel dengan uang Turki baru, 100. Uang lama hanya jadi suvenir. Uang 1.000.000 lira lama, misalnya, hanya senilai Rp 5.350. Jadi, orang Turki pernah jadi jutawan, miliarder, bahkan triliuner, namun sebenarnya tak kaya-kaya amat. Tidak heran, Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan pernah menyebut banyak nol dalam mata uang Turki itu sebagai ''aib nasional''. Apalagi pernah masuk Guinness Book of World Records sebagai mata uang yang paling cepat tedegradasi. Mungkin sekarang rekor itu sudah disalip dolar Zimbabwe. Sebab, untuk membeli sepotong roti saja, butuh uang beberapa miliar. Kalau di Indonesia, jadi miliarder masih membanggakan. Sedangkan semua orang sudah jadi jutawan. UMR buruh saja di atas sejuta. Pendapatan per kapita sudah USD 3.500 atau sekitar Rp 33 juta setahun. Para jutawan itu mungkin juga termasuk orang miskin yang mencapai 30 juta orang (BPS 2011). Kalau ditotal, konsumsi mereka pasti lewat Rp 3 juta setahun. Lama-kelamaan, kalau rupiah terus menambah nol, kebanggaan jadi miliarder juga berkurang. Di sinilah bisa dimaklumi kenapa Kementerian Keuangan ingin melakukan pengguntingan terhadap dua atau tiga nol dalam rupiah. Tujuannya, rupiah kembali berwibawa dan berharga. Usul revaluasi atau redenominasi tersebut dimasukkan dalam rencana legislasi 2013 dan akan dikampanyekan mulai Januari. Sebelumnya, masyarakat sudah jauh lebih dulu melakukan pengguntingan nol. Dalam transaksi sehari-hari, sangat kerap didengar, misalnya, ''sewu'' atau ''seribu'' untuk menyebut sejuta rupiah atau ''satus'' atau ''seratus'' untuk menyebut seratus ribu rupiah. Menyebut ''juta'' memang terasa lebay. Dalam daftar harga makanan di restoran, juga makin banyak yang menghilangkan ''.000'' dalam rupiah. Mereka cukup menulis ''Rp 35'' untuk Rp 35.000, misalnya. Kadang-kadang agar terasa keren dan gaul, ditambahi ''K'' di belakangnya. Misalnya, ''Rp 35 K''. Sebagaimana kita tahu, ''K'' itu adalah kilo atau ribu. Dan, menulis satu huruf lebih ringkas daripada mencantumkan tiga nol. Tidak pernah ada pelanggan yang mempersoalkan. Ada yang menghilangkan nolnya lebih ekstrem. Sampai enam nol (juta), bahkan sembilan nol (miliar) yang tak ditulis. Kita sering melihatnya dalam laporan neraca keuangan perusahaan di media. Untuk meringkas, misalnya, laba Rp 180.000.000.000 cukup ditulis Rp 180.000, tetapi ditambahi keterangan ''dalam jutaan rupiah''. Sedangkan yang dihilangkan sembilan nolnya adalah bila pemerintah membeber APBN atau APBD. Angka-angka rupiah ringkas dipasang dan ditambahi ''dalam miliar rupiah''. Kalau nanti rupiah digunting tiga nolnya, memang banyak miliarder akan ''turun derajat'' jadi jutawan. Tetapi, mereka akan lebih bangga membawa uang tunai yang ringkas. Uang yang terlalu banyak nolnya sering disebut ''uang sampah''. Pecahan uang kita tertinggi saat ini Rp 100.000 (yang nilainya hanya USD 9,5). Dengan pertumbuhan ekonomi yang kian hebat, tuntutan memperbesar pecahan rupiah tak terhindarkan. Karena itu, setelah ada redenominasi, kita tak perlu menerbitkan pecahan. Misalnya, Rp 1.000.000 atau Rp 5.000.000, tetapi cukup RpB 1.000 dan RpB 5.000 (RpB=rupiah baru). Karena sepelenya nilai rupiah kita ini, banyak yang emoh di pergaulan luas. (Bahkan, pejabat korup pun enggan menerima rupiah karena berat dan tidak ringkas). Kalau kita ke Tiongkok, misalnya, sulit menukar langsung rupiah ke renminbi. Yang dilayani adalah dari dolar ke renminbi. Namun, saya pernah menemukan money changer yang melayani penukaran rupiah di Makau, tempat kegemaran pejudi dari Indonesia. Bukan itu saja. Pengemis asing pun ogah menerima rupiah. Para jamaah haji pasti tahu banyak pengemis berkulit hitam dari Afrika. Mereka minta riyal Saudi. Kalau pengemis di sini diberi uang Rp 1.000, Rp 2.000, atau Rp 5.000 sudah memberikan doa panjang untuk sang dermawan, pengemis ''internasional'' tersebut berbeda. Mereka lebih suka diberi satu riyal Saudi yang nilainya Rp 2.500, tak suka rupiah. Kerap ditemui pecahan rupiah itu dibuang di tempat sampah! Istilah ''uang sampah'' pun menemukan makna harfiahnya. Langkah meredenominasi rupiah memang sangat perlu. Apalagi, kita punya cita-cita besar menjadi kekuatan ekonomi utama dunia pada 2025. Menyiapkan mata uang yang ringkas dan tidak lebay menjadi salah satu jurus penting. Mata uang rupiah sudah sangat merosot, terlebih sejak 1998. Kini untuk menyebut orang-orang terkaya di Indonesia, tak bisa lagi miliarder, tetapi triliuner. Kalau rupiah terus merosot, menyebut mereka akan makin sulit. Kelak ketika redenominasi rupiah tergapai, cukuplah orang kaya kita disebut miliarder atau jutawan. Sedangkan orang miskin, daripada disebut jutawan saat ini, biarlah jadi ribuwan. Lebih sesuai kenyataan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar