Gus Dur,
Natal, dan Spirit Toleransi
Muhammadun ; Analis pada Program Pascasarjana UIN
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Desember 2012
MOMENTUM Hari Raya Natal 2012 pastilah mem
berikan nuansa spiritualitas yang sejuk dalam menjalani pernak-pernik
kehidupan. Ajaran kasih sayang selama ini telah menjadi oase perdamaian yang
meman carkan cahaya kerukunan dan ketenteraman bersama. Berkat ajaran kasih
sayang pula, dialog antaragama bisa dijalankan bersama dengan penuh persau
daraan. Dari kasih sayang untuk mene gakkan panji-panji keindonesiaan kita.
Momentum Natal 2012 ini tepat kiranya kalau
sosok KH Abdurrahman `Gus Dur' Wahid juga kita kenang, karena kebetulan juga
bersamaan dengan haul tiga tahun wafatnya beliau. Sosok Gus Dur berjasa besar
dalam menegakkan panji-panji pluralisme dan toleransi di Indonesia.
Perjuangannya dalam pluralitas bangsa begitu besar sehingga semua bangsa bisa
saling mengerti di tengah perbedaan. Gus Dur melihat perbedaan justru sebagai
media perajut persaudaraan.
Dalam konteks Natal, Gus Dur merupakan sosok
paling berjasa ihwal ucapan selamat Natal. Gus Dur justru meng anjurkan agar
umat Islam memberikan ucapan selamat Natal. Masih banyak umat Islam yang
memegangi dogma bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada penganut agama
lain dilarang. Gus Dur menerobos itu semua dan justru menganjurkan agar
antarumat beragama bisa saling berdampingan dalam pelukan kerukunan. Gus Dur
menancapkan ajaran bahwa beragama jangan terjebak dalam formalisme yang
dogmatis, melainkan harus mampu menghadirkan kontekstualisasi historis agar
agama bisa menebarkan kedamaian dan kasih sayang.
Gus Dur sangat tegas dalam menebarkan ajaran
toleransi. Beliau merangkul semua tokoh agama untuk bergandengan dalam
menjaga kerukunan sesama. Peristiwa besar yang mengguncang kerukunan umat
beragama, khususnya antara Islam dan Kristen, adalah peristiwa Situbondo pada
Oktober 1996. Saat itu terjadi rekayasa ‘naga merah’ untuk menghancurkan
‘naga putih’. Banyak gereja hancur dirusak dan dibakar. Umat Islam tersulut
oleh ‘naga merah’ untuk diadu dengan umat Kristen. Pembakaran rumah ibadah
menjadi berita besar yang menggegerkan Indonesia.
Rekayasa Rezim
Kenapa Situbondo? Karena kota kecil di ujung
timur Pulau Jawa itu merupakan basis umat Islam tradisional yang beratribut
nahdliyin. Banyak pondok pesantren besar dan kiai ternama di Situbondo. Gus
Dur menjadi sosok yang sangat dihormati di kota tersebut.
Tidak mengherankan kalau Situbondo memang
sengaja ‘direkayasa’ rezim penguasa untuk menyerang Gus Dur dalam ketegangan
umat beragama. Gus Dur bahkan diejek para pengkritiknya di Jakarta karena
pengikutnya terlibat dalam adegan kekerasan yang jauh dari yang telah
diajarkan Gus Dur selama ini.
Rekayasa ‘naga merah’ oleh rezim penguasa itu
justru makin meneguhkan peran Gus Dur dalam merajut ajaran toleransi umat
beragama di Indonesia. Segara setelah datang dari Roma, Italia, Gus Dur
langsung menuju Situbondo.
Gus Dur secara emosional menyampaikan
permintaan maaf kepada umat Kristen di Situbondo dan Indonesia. Gus Dur
sangat menyesal bahwa sebagian yang terlibat mempunyai kaitan dengan
Nahdlatul Ulama (NU). Dari peristiwa itu, Gus Dur mengajak para kiai dan
pendeta untuk saling merangkul menjaga kerukunan dan toleransi.
Dalam sebuah pesannya, Gus Dur mengatakan,
“Anda kehilangan sebuah gereja yang indah, tapi Anda memperoleh sesuatu yang
lebih berharga, yaitu hubungan yang kalian punyai antara satu dan yang lain.”
Hubungan yang dimaksud Gus Dur ialah harmonisasi antara umat Islam dan umat
Kristen dalam merajut kehidupan. Gus Dur mewanti-wanti jangan sampai umat
beragama mudah terprovokasi rezim penguasa yang mengadu domba umat beragama
untuk kepentingan kekuasaan.
Pernyataan Gus Dur itu diamini Romo
Mangunwijaya. Romo Mangun datang bersama Gus Dur menuju Situbondo untuk
bersama-sama merajut persaudaraan antarsesama.
Romo Mangun mengatakan, “Terjadinya pembakaran
gereja di Situbondo membuat pihak gereja benar-benar mulai menghargai
perlunya mengadakan dialog antariman dan pentingnya membangun relasi
antarkelompok yang baik.” Romo Beni Susetyo melihat bahwa sebelum tragedi
Situbondo, hanya sedikit aktivis gereja yang telah menyerukan pentingnya
dialog antariman dan antarkelompok.
Menegakkan Kasih Sayang
Bersama Romo Mangun, para kiai Situbondo,
dan pastor Situbondo, Gus Dur benar-benar menjalin persaudaraan sejati yang
penuh kasih sayang. Merajut persaudaraan bagi Gus Dur merupakan proses menjadi
(process of becoming), bukan proses apa adanya (process
of being). Process of becoming menuntut
keteguhan prinsip dalam menjalani laku kehidupan dengan terus setia dengan
proses. Berbagai guncangan dan tantangan menjadi ujian berharga. Dalam hal
itu, William Shakespeare, sastrawan Inggris, pernah mengatakan, “Emas akan terus
mengilap kalau selalu digesek. Hidup laksana permata yang indah tatkala
mendapatkan cobaan.“
Kehidupan beragama akan menjadi permata
kerukunan tatkala umat beragama lolos dari beragam ujian hidup. Permata dalam
beragama tak lain ialah meniupkan ajaran kasih sayang antarsesama. Spirit
toleransi sebenarnya tercakup dalam ajaran kasih sayang. Mereka yang
menebarkan kasih sayang bukan hanya toleran kepada sesama, melainkan juga
suka bederma apa saja yang dimiliki untuk kebahagiaan sesama. Jiwa memberi
pengorbanan selalu menancap dalam pribadi yang memegang teguh ajaran kasih
sayang. Jiwa pemberi tak akan berkurang kasih sayang, justru semakin
bertambah. Kasih sayang, semakin ditebarkan, akan semakin bertambah banyak,
tak terkurangi sedikit pun.
Kasih sayang akan
melenyapkan kebencian. Dengan sendirinya kebencian `menyingkir' dengan
hadirnya kasih sayang. Sebab, kasih sayang membuat kebencian sebagai ramuan
yang menabalkan ruh kasih sayang. Inilah pesan Natal 2012 yang harus kita
pupuk bersama dalam menjaga keharmonisan beragama. Semakin bertambah kuat
kepercayaan kepada agama, bertambah tinggi derajatnya di dalam pergaulan
hidup, dan bertambah naik tingkah laku dan akal budinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar