Selasa, 18 Desember 2012

Century yang Menyandera


Century yang Menyandera
Yovita Arika ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 18 Desember 2012



Keputusan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat memperpanjang masa kerja Tim Pengawas DPR untuk Penuntasan Kasus Bank Century selama satu tahun atau hingga Desember 2013 tidak hanya menyandera Partai Demokrat, tetapi juga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. 
Pemerintah tersandera bukan karena tokoh sentral dan aliran dana dalam kasus dugaan pelanggaran pada pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century ini belum terungkap. Bukan pula karena dua dari tiga pemegang saham PT Bank Century yang juga pengendali bank tersebut, yaitu Rafat Ali Rizvi dan Hesham al-Waraq, menggugat pemerintah ke Pengadilan Arbitrase Internasional.
Kejaksaan Agung dan juga Kepolisian Negara RI telah membuktikan adanya penyimpangan yang dilakukan para pemegang saham PT Bank Century. Paling tidak, putusan pengadilan menyatakan, Rafat dan Hesham, serta Robert Tantular, terbukti menyalahgunakan kekuasaan dalam mengelola Bank Century untuk keuntungan mereka atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara.
Sebaliknya, gugatan Rafat dan Hesham yang, antara lain, mempermasalahkan keputusan pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), mengindikasikan bahwa putusan pengambilalihan/pemberian dana talangan Bank Century tanpa persetujuan pemegang kendali bank tersebut. Menjadi pertanyaan, mengapa Presiden Direktur Bank Century Robert Tantular, yang bukan pengendali bank tersebut, bisa (baca: boleh) memberikan persetujuan pengambilalihan bank itu pada 2008.
Perhatian pun kemudian tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang berwenang mengawasi dan menyetujui pengambilalihan Bank Century. Dari sini, diduga, penyalahgunaan dalam pengambilalihan/pemberian talangan untuk Bank Century bermula.
Karena itu, pada November lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua mantan Deputi Gubernur BI sebagai tersangka. Mereka adalah Budi Mulya (Deputi Bidang IV Pengelolaan Moneter dan Devisa) serta Siti Chalimah Fadjrijah (Deputi Bidang V Pengawasan). Mereka disangka menyalahgunakan wewenang dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Kinerja BI
Ketika sangkaan tersebut terkait jabatan Budi dan Siti di BI, tak bisa dihindari ini menyangkut pula kinerja lembaga pemerintah yang waktu itu dikomandani Boediono. Tak heran jika kemudian nama Boediono sering muncul dan dikaitkan dengan kasus ini, apalagi diketahui ada memo dari Boediono yang waktu itu meminta jangan sampai ada bank gagal.
Memo tersebut diyakini terkait erat dengan keputusan pemerintah, dalam hal ini BI, menyetujui pemberian dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Dana yang kemudian diduga disalahgunakan dan mengalir entah ke mana.
Sebenarnya KPK berharap dari keterangan Siti untuk mengungkap soal memo dari Boediono yang oleh Siti diberikan kepada bawahannya tersebut. Namun, upaya ini terkendala kondisi kesehatan Siti yang belum membaik setelah terkena stroke. Bahkan, surat perintah penyidikan Siti pun belum ditandatangani karena KPK menunggu kesehatan Siti membaik.
Jika dirunut dari awal, Boediono mengetahui proses pemberian dana talangan untuk Bank Century tersebut, terlepas dari benar atau salah proses itu. Termasuk mengapa pemerintah yang semula mendukung rencana akuisisi Bank Century oleh PT Sinar Mas Multiartha untuk menjaga sistem perbankan lantas memilih opsi pengambilalihan Bank Century oleh LPS.
Ketika kini Boediono menjabat sebagai Wakil Presiden, proses politik yang pernah diwacanakan DPR, yaitu hak menyatakan pendapat, dinilai sebagai jalur yang tepat untuk mengungkap dugaan keterlibatan Boediono dalam pemberian talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Bahkan, semestinya hak itu langsung digunakan setelah awal 2010 DPR menuntaskan hak angket dalam kasus ini, yang menyatakan ada pelanggaran hukum dalam pemberian nada talangan untuk Bank Century.
Namun, kembali terjadi tarik-menarik kepentingan politik ketika untuk kedua kalinya, pada awal bulan ini, usulan penggunaan hak menyatakan pendapat tersebut dibahas. Ada kecurigaan hal itu hanya akan dimanfaatkan untuk menjatuhkan Partai Demokrat meski akhirnya hanya dua anggota DPR, dari Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Hanura, yang setuju adanya hak menyatakan pendapat.
Padahal, apa pun hasilnya, dengan penyelenggaraan hak menyatakan pendapat, Boediono tak akan tersandera lagi dalam kasus ini, baik secara politik maupun hukum. Dengan demikian, pemerintah pun tak akan tersandera dalam kasus ini.
Kini, tantangan bagi KPK untuk mengungkap kasus ini, terutama disposisi Gubernur BI Boediono, yang diyakini punya andil besar dalam keputusan pemberian dana talangan atau fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) ke Bank Century pada 2008. Alasan pemerintah bahwa pemberian FPJP itu untuk mencegah krisis perbankan 1998 terulang, justru semakin menimbulkan kecurigaan adanya kepentingan lain di luar urusan perbankan.
Alasan itu dinilai berlebihan, mengingat kondisi ekonomi dan perbankan di Indonesia saat itu secara umum sehat meski ada krisis global. Belum lagi ada 15 temuan BPK tentang adanya transaksi tak wajar di Bank Century yang bertentangan dengan undang-undang dan berpotensi merugikan keuangan negara dan masyarakat.
Adanya aliran dana sebesar Rp 1 miliar dari Robert Tantular kepada Budi Mulya memunculkan keraguan akan independensi BI meski menurut Budi uang tersebut pinjaman Robert kepadanya. Alih-alih membuktikan uang tersebut benar-benar merupakan pinjaman, Budi justru memilih nonaktif dari BI.
Harapan kini tertumpu pada KPK. Penetapan tersangka barulah awal untuk mengungkap misteri besar kasus ini agar pemerintah, bahkan rakyat Indonesia, tak tersandera. Jangan sampai pula kasus ini menjadi warisan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar