Kurikulum
“Berpikir” 2013
Rhenald Kasali ; Guru Besar FE-UI
|
KOMPAS,
28 Desember 2012
Di banyak negara, saya sering menyaksikan
siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya.
Persis seperti yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun
1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film
Monalisa Smile.
Sewaktu mengajar di University of Illinois,
saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus
diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini.
”Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu.” Namun, anakanak itu tetap tak mau
menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.
Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik
yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang
guru besar senior mengingatkan, ”Kami bersusah payah mengubah satu generasi,
dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi
aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.”
Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi
di sini? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa
anakanak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.
Dihafal, Bukan Dipikir
Anak-anak kita punya tradisi belajar yang
sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang
dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang
sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatansingkatan agar mudah
dikeluarkan dari otak.
Cara belajar yang demikian berpotensi
menghasilkan ”penumpang” ketimbang ”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang
lebih senang duduk menunggu, hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan
ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.
Seperti tampak di angkutan umum, penumpang
boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan,
dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok
yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang
sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin
hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin
memberatkan.
Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar.
Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: ”Keluarga inti
adalah keluarga yang terdiri dari ayah-ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor
mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes
karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan ”Dihafal saja
karena bukunya berkata demikian”. Ibu di rumah berkata serupa: ”Kalau engkau
mau naik kelas, dihafal saja.”
Daya kritis tidak diberi ruang,
pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan
sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya
kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang
menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan
seterusnya.
Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian
nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri
sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi
negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio
karyakarya calon mahasiswa.
Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal
tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir.
Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua
kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita
selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di
negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri
penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi
sedikit sekali kaum elite yang bergerak.
Kurikulum Berpikir
Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran
tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para
pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada
perubahan yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang
pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu
melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus,
semata-mata kalau dirinya tampak bagus.
Bagi saya perubahan kurikulum yang ramai
diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada
sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan
momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi
mindset ”penumpang” menjadi cara berpikir ”pengemudi”. Transformasi ini
berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap
hingga ke tingkat pendidikan tinggi.
Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa
banyak cara kita belajar sudah harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya,
menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa
manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot
(myelin ). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa
anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset
tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.
Keduanya menunjukkan cara- cara baru
membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan
generasi baru di abad ke-21. Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar