Demokrasi
Minus Toleransi
Jeffrie Geovanie ; Founder The Indonesian Institute
|
SINAR
HARAPAN, 28 Desember 2012
BANYAK
kalangan menilai, Indonesia saat ini merupakan negara paling demokratis di
dunia. Bahkan Amerika yang kita kenal sebagai gurunya demokrasi, dalam
batas-batas tertentu sudah kalah dengan Indonesia, dalam memilih calon
presiden misalnya, cara yang digunakan di Indonesia lebih demokratis
dibandingkan cara Amerika.
Indikator
lain yang membuat Indonesia lebih demokratis adalah dalam hal kebebasan pers
dan kebebasan menyatakan pendapat.
Di
luar adanya kasus-kasus ancaman terhadap wartawan, pers memiliki kebebasan
yang maksimal. Begitu pun cara rakyat mengemukakan pendapat. Saking bebasnya,
siapa pun bisa menjadi bulan-bulanan pers kita, termasuk presiden.
Karena
demokrasi diyakini sebagai sumber kekuatan rakyat maka atas nama rakyat,
siapa pun bisa mengritik atau bahkan mengecam pihak-pihak yang tak
disukainya, terutama mereka yang dianggap memiliki kekuasaan. Maka tak perlu
heran, di negeri ini, bahkan presiden pun bisa dikecam, dan di-bully kapan
saja, terutama di jaringan media sosial.
Di
negeri ini, intoleransi benar-benar berkembang dengan mengatasnamakan
demokrasi. Yang paling sering kita dapatkan, intoleransi itu diekspresikan
oleh “para pemilik suara mayoritas” untuk mengecam atau bahkan menistakan
“suara minoritas”.
Sepanjang
2012, atas nama demokrasi, intoleransi umat beragama berkembang. Banyak kita
saksikan para penganut agama dan mazhab mayoritas mengucilkan dan mengusir
yang minoritas. Di daerah-daerah tertentu, pengikut mazhab minoritas bahkan
bisa dibunuh dan dibakar tanpa ada pembelaaan, bahkan dari negara sekali pun.
Demokrasi
minus toleransi, jika dibiarkan berkembang secara perlahan namun pasti akan
membunuh demokrasi itu sendiri. Karena pada saat otoritas pemerintah tak lagi
dihiraukan, dan hak-hak orang lain diabaikan, maka pada saat itulah demokrasi
akan mati. Itulah sebab mengapa toleransi, menurut Robert Putnamm, menjadi
modal sosial yang teramat penting bagi demokrasi.
Jadi
Fondasi
Di
Eropa dan Amerika, toleransi sudah menjadi fondasi bagi bangunan negara yang
ditemukan dan dipelihara sejak awal sebagai instrumen nilai untuk menata
keadaban publik dan demokrasi. Sejak abad ke-17, prinsip dasar toleransi
sudah ditekankan John Locke dalam A
Letter Concerning Toleration, (1689).
Dari
kota pengungsian di Amsterdam, Locke menulis surat terbuka tentang pentingnya
toleransi untuk negerinya tercinta, Inggris, yang saat itu sedang diselimuti
suasana intoleransi dan tahun-tahun konflik berdarah.
Para
dissenters—sebutan untuk mereka yang berbeda pendapat dan menolak pemaksaan
doktrin gereja Anglikan yang didukung Pemerintah—menjadi korban penyiksaan
secara politik dan keagamaan. Peristiwa itu mendorong Locke untuk
mengingatkan bahwa tugas pemerintah sipil bukanlah mendukung gereja Anglikan;
tetapi menjaga prinsip netralitas dalam masalah keyakinan agama dan iman.
Setiap
usaha intervensi iman oleh kekuatan eksternal, baik pemerintah sipil maupun
institusi keagamaan, mengandung kekeliruan pada dirinya sendiri. Itu karena
iman yang benar, kata Locke, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal;
melainkan oleh hati nurani individu. Bahkan kekuatan mayoritas yang mengatasnamakan
demokrasi pun tak boleh menindas yang minoritas.
Argumen
itulah yang diadopsi Bapak Konstitusi Amerika, James Madison, untuk
merumuskan konstitusinya. Sadar akan posisi agama dan iman sebagai anugerah
Tuhan, bukan manusia, Madison mendesain toleransi dan kebebasan beragama
sebagai spirit utama konstitusi Amerika.
Kebebasan
beragama ditafsirkan sebagai kebebasan dari agama apa pun. Karena itu, ateis
pun dijamin konstitusi; juga sekte dan aliran agama apa pun dan ada berarapa
pun pengikutnya, dibiarkan hidup dan berkembang.
Indonesia,
seperti halnya Amerika, sebenarnya didesain bapak pendiri bangsa di atas
fondasi serupa. “Bineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga)
melambangkan moto yang serupa dengan Amerika, “E Pluribus Unum” atau “Satu dari
Banyak”.
Setiap
warga diikat oleh kesatuan komitmen dan tekad suci akan pluralitas. Hidup di
bangsa pluralis di dunia seperti Amerika dan Indonesia, mensyaratkan
toleransi yang tinggi. Ini adalah anak tangga ke arah terwujudnya high trust
society. Amerika mencerminkan warganya yang punya tingkat kepercayaan tinggi
satu dengan lainnya karena toleransi yang tinggi.
Indonesia
justru sebaliknya, low trust society; ditandai oleh rendahnya tingkat
kepercayaan satu warga dengan warga lainnya. Kehidupan kita, hampir di semua
lini, ditandai rasa curiga dan sarat rumor, dengan kadar toleransi yang
rendah pula. Padahal, toleransi yang rendah, dengan sendirinya, mudah retak
dan membawa kita ke jurang perpecahan.
Demokrasi
tak bisa ditegakkan tanpa fondasi toleransi yang kokoh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar