Merindukan
Perdamaian
Choirul Mahfud ; Direktur Lembaga Kajian
Agama dan Sosial
(LKAS) Surabaya
|
SUARA
KARYA, 28 Desember 2012
Lirik lagu campur
santri berjudul "perdamaian" yang populer pada era 80-an terutama
bagi pecinta musik religi di Indonesia mengingatkan bahwa perdamaian bukan
barang yang mudah didapat. Juga, bukan perkara gampang dimiliki tetapi
nampaknya sangat diperlukan.
Pertanyaannya kenapa
perdamaian diperlukan umat manusia? C.B. Mulyatno memberikan jawaban dalam
bukunya berjudul "Filsafat Perdamaian" mengajak semua orang untuk
belajar dari tokoh pemikir perdamaian seperti Eric Weil. Ia adalah salah
seorang filosof yang berjuang agar filsafat memberi pencerahan untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan hidup sehari-hari.
Secara
simpel, Ia menjelaskan tautan antara filsafat dan perjuangan untuk mewujudkan
perdamaian. Konflik, pertikaian dan perang yang melanda dunia telah
memorak-porandakan pilar-pilar hidup damai. Adalah tugas setiap orang, dan
khususnya filosof untuk membangun kembali kehidupan yang damai. Kerinduan
untuk hidup damai dan keprihatinan terhadap berbagai peristiwa kekerasan,
konflik dan perang yang mengancam perdamaian bisa menjadi tali pengikat persaudaraan
yang mendorong berkembangnya gerakan hidup damai.
Salah
satu yang menarik dari buku Mulyatno ini, ternyata Weil menolak metafisika.
Metafisika dianggap telah mewariskan sikap dogmatis yang melanggengkan
kekerasan. Metafisika berbicara soal kebenaran tertinggi. Kebenaran tertinggi
adalah kemustahilan bagi filsafat karena subjek filsafat adalah manusia
historis yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu yang terbatas (tidak
sempurna). Yang dihidupi dan diketahui oleh seorang filosof bukanlah kebenaran
melainkan absennya kebenaran atau penolakan terhadap kebenaran. Absennya
kebenaran dan penolakan terhadap kebenaran adalah kekerasan. Metafisika
bertentangan dengan hakikat filsafat sebagai kegiatan manusia yang berciri
temporal-dinamis dalam mewujudkan potensi dan karakter rasionalnya.
Mengingat
salah satu problematika hidup di negeri ini yang tidak ada ujung selesainya,
maka solusi menyelesaikan kekerasan dengan perdamaian adalah kerinduan semua
orang. Hal ini seiring munculnya fenomena menjalarnya kekerasan, konflik
hingga terorisme dari dan ke berbagai sektor kehidupan.
Karenanya,
perlu dibahas dan diurai dari akar masalahnya hingga solusi bagaimana upaya
pencegahannya. Dalam pandangan Simon Philantropa, pemikir Kristiani Jawa
Timur, kekerasan di negeri ini merupakan sesuatu yang diproduksi oleh
penguasa dan masyarakat. Modus kekerasan yang dilakukan cukup beragam. Ada
yang terbuka dan tertutup. Bahkan juga dilakukan secara diam-diam dalam
bentuk pembiaran. Bagi Simon, pembiaran terhadap kasus kekerasan merupakan
bentuk kekerasan yang juga harus diwaspadai. Di sisi lain, Amin Hasan, ketua
Comec Jawa Timur, menyatakan bahwa kasus kekerasan akhir-akhir ini nampaknya
sudah menjadi budaya bangsa. Mulai di bangku sekolah, hingga materi khutbah.
Baginya, seolah semua domain kehidupan masyarakat sudah akrab dengan budaya
kekerasan. Hal itu dapat disaksikan pula dari banyaknya kasus yang berbau
kekerasan melalui banyak media massa di negeri ini. Seperti kasus saling
serang antara warga desa satu dengan warga desa lainnya, tawuran antar
pelajar dan mahasiswa, antar suporter sepak bola, hingga adu jotos yang
pernah terjadi di gedung dewan yang diperankan anggota dewan yang katanya
terhormat.
Beberapa
kasus kekerasan di atas, lanjut Amin, tentu bukanlah sekadar kecelakaan
belaka. Namun lebih dari itu, sudah menjadi budaya "baru"
masyarakat di negeri yang plural ini. Tentu saja, bila dibiarkan budaya baru
berbau kekerasan ini, maka tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Apalagi negeri ini konon dikenal sebagai negeri yang ramah, santun dan sangat
menjunjung adat ketimurannya lainnya. Tentu menyisakan masalah apa kata dunia
bila ini terus dibiarkan.
Hingga
saat ini, kasus kekerasan mudah menimpa siapa saja. Mulai anak kecil hingga
dewasa. Namun tak sedikit pula yang menimpa kaum perempuan. Kasus trafficking
(perdagangan manusia) yang kini menimpa anak dan gadis di bawah umur adalah
wajah kekerasan yang harus disikapi bersama.
Secara
bahasa, kekerasan adalah lawan dari kelembutan. Bahasa kelembutan dalam
interaksi sosial seolah dianggap tak menyelesaikan masalah. Dari sinilah,
istilah kekerasan dikupas. Istilah kekerasan pada mulanya digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik yang bersifat menyerang (offensive) atau
bertahan (defensive), secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert),
langsung (dirrect) atau tak langsung (indirrect). Namun, dalam
perkembangannya, dapat dikatakan bahwa kekerasan merupakan perilaku agresif
satu pihak kepada pihak lain yang terjadi terus menerus. Anak yang menjadi
korban kekerasan yang cukup serius, cenderung untuk mengembangkan perilaku
kekerasan ini juga dalam kehidupannya setelah dewasa.
Persoalan kekerasan di
muka bumi ini tentu saja tidak selamanya bisa diselesaikan dengan kekerasan.
Justru, solusi kekerasan dilawan dengan kekerasan disinyalir tidak akan
pernah menyelasaikan persoalan dan bahkan hanya akan menambah persoalan baru.
Karenanya, Mahatma Gandhi, tokoh besar India, menyarankan kekerasan
seharusnya dilawan dengan tanpa kekerasan. Barangkali, solusinya diupayakan
dengan penuh kelembutan, kedamaian, keikhlasan memaafkan, dan keteladanan
yang baik untuk kehidupan dan kemanusiaan.
Bagi kita, praktik
perdamaian merupakan upaya jangka panjang bagi Indonesia agar mampu mengelola
konflik identitas dan kepentingan. Perdamaian berarti kondisi sempurna suatu
masyarakat yang ditandai oleh absennya konflik kekerasan, didukung
kesalingpahaman, dan penghormatan atas perbedaan serta keadilan sosial. Jika
saja mencari perdamaian mengutamakan dialog nirkekerasan, sebagai karakter
dasar bangsa, tentu tercipta kehidupan sosial dan politik secara dinamis
menuju pada kebaikan umat manusia di muka bumi. ●
|
Nice blog bro
BalasHapusBy Marisa
www.ut.ac.id