Pengarang,
Referensi, dan Eksistensi
Budiawan Dwi Santoso ; Penulis Bergiat di Bilik Literasi
|
KOMPAS,
27 Desember 2012
Dalam pameran buku International Frankfurt
Book Fair 2011 bulan Oktober, di Frankfurt, Jerman, di situ ada salah satu
sastrawan sekaligus profesor kondang hadir di acara tersebut. Umberto Eco,
namanya.
Ia hadir dalam acara itu, tak sekadar
mencari dan membeli buku. Kunjungannya di tempat tersebut tak lain untuk
mempromosikan novel terbarunya, Il cimitero di Praga (Pemakaman di Praha).
”Saya perlu lima tahun untuk mengumpulkan
buku tentang abad ke-19,” ungkap Eco. Ungkapan itu merupakan sebuah jawaban
Umberto Eco ketika ditanya salah satu wartawan mengenai proses lahirnya novel
terbarunya: Il cimitero di Praga (Pemakaman di Praha). Dari hal itu, saya
langsung terbayang dan berkata dalam hati: ”Bahwa untuk membuat suatu karya
dibutuhkan proses waktu yang panjang. Dan, itu membutuhkan kerja keras pula.”
Dalam berkarya, ia tak mau
setengah-setengah. Daya pikir, waktu, dan segala tindakan sepertinya
diharuskan sampai ”titik penghabisan darah”. Ini seperti yang pernah dibilang
oleh novelis ternama dari Indonesia juga. Abidah El Khalieqy.
Khalieqy (2007) menyatakan bahwa proses kerja
penulisan kreatif yang seperti dialami Umberto Eco itu adalah proses
penulisan untuk mencapai ”target estetis”.
Maka, sekilas, saya membenarkan
bahwa berkarya sastra memang tugas estetis yang di dalamnya juga mengandung
estetika. Ia melanjutkan bahwa yang dimaksud ”target estetis” ini adalah
menulis dengan mengisyaratkan adanya target-target tertentu yang terkait
dengan idealisme ke- pengarangan.
Di situ, pembaca atau kita akan menemui bahwa hasil olahannya selalu
mengandung hal-hal yang bersifat pembaharuan, pemberontakan, perlawanan, dan
penemuan yang bersifat estetis lagi.
Lebih lanjut, persoalan menulis dengan
”disiplin” waktu tersebut lebih menonjolkan dan bersifat kualitatif. Maka,
tak ayal bila pengerjaannya bisa sampai apa yang dialami Umberto Eco maupun
Nietzsche, yang konon juga dalam menyelesaikan karyanya berjudul Zarathustra
membutuhkan waktu 14 tahun.
Referensi
Nukilan riwayat di atas menandakan kepada
kita semua bahwa persoalan mengarang— entah
yang ditulis itu bergenre fiksi atau nonfiksi—ialah persoalan untuk
berkelana, mencari, mengamati, menyantap-menyerap, bahkan menggauli berbagai
fenomena, baik secara tekstual maupun kontekstual. Baik lewat buku ataupun
dengan melihat realitas sosial secara langsung. Dan, mengenai referensi yang
digunakan pengarang seperti yang dilakukan Umberto Eco maupun Nietzsche,
kiranya membutuhkan banyak referensi.
Salah satu peristiwa yang bisa kita jadikan
representasi kecil adalah perjuangan keras
tim peneliti dari Jepang yang
dimotori Kasuya Toshiki. Bersama timnya, yakni Edy Priyono, Urano Takao,
Wakabayashi Satoko, mereka mengarang makalah berjudul Tinjuan tentang
Terjemahan Buku-buku Bahasa Jepang ke dalam Bahasa Melayu (dalam Henry
Chambert-Loir, 2009).
Dalam mengarang suatu karya tersebut
ternyata membutuhkan usaha keras yang berbulan-bulan. Mereka berhasil
mengumpulkan buku ”...sebanyak 130 buah. Dari jumlah itu, 99 buah buku
terjemahan dalam bahasa Indonesia dan 31 buah buku dalam bahasa Malaysia.”
Alhasil, satu makalah yang mereka buat
turut memasok bagi lumbung pengetahuan di Indonesia. Kita pun bisa mengetahui
telah lama persilangan budaya antara Jepang dan Indonesia terjadi. Ini yang
kemudian turut juga mentransformasi pemikiran kita semua.
Suatu referensi menjadi kekuatan untuk
menyakinkan, mempersatukan pendapat—dalam hal ini bisa juga menyeragamkan
pemikiran. Referensi telah memorak-porandakan iman pengarang maupun pembaca.
Namun, yang menjadi pemikiran paling fundamental bagi kita adalah bukan
sekadar itu.
Ada sesuatu yang dirasa pokok. Referensi
yang digunakan oleh mereka, selain memajukan suatu peradaban, justru di situ
ada kesan memberi, mengakui, dan mengapresiasi pada tokoh si pengarang bahkan
Sang Penciptanya. Dan, berhubungan dengan kita, cara pencarian dan pemakaian
referensi tersebut berarti turut menyeimbangkan kosmologi alam. Kita
menyeimbangkan proses sirkulasi dengan pengarang, penerbit, distributor, dan
”penjual”. Di situlah ada hubungan yang manusiawi. Ada jalinan yang membuat
mereka dan kita sendiri untuk mengakui keberadaan manusia yang ”mengada”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar