Menuju
Swasembada Daging
Ferry Ferdiansyah ; Mahasiswa Pasca Sarjana
Universitas Mercubuana
Jakarta, Program Studi Magister Komunikasi
|
SUARA
KARYA, 27 Desember 2012
Indonesia dan Australia
menyepakati peningkatkan kerja sama pengembangan usaha dibidang peternakan
sapi dan infrastruktur di kawasan Indonesia tengah dan timur. Itu sebabnya
dalam kunjungan kerja beberapa waktu lalu ke Darwin, Australia, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mengajak Gubernur Bali, Gubernur NTB,
Gubernur NTT, dan Gubernur Papua Barat.
Format kerja sama
antara kedua negara ini, terkait perternakan sapi adalah Indonesia membeli
sapi dari Australia untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Namun,
kerja sama semacam ini tidak lagi sesuai dengan strategi Indonesia menuju
kemandirian pangan. Untuk itu, Presiden SBY ingin mengajak dunia usaha di
Indonesia untuk juga memiliki komitmen, inisiatif, dan betul-betul
melaksanakan investasi di bidang peternakkan sapi.
Jika diingat setahun
lalu, pemerintah Australia melalui Menteri Pertanian Australia Joe Ludwig
menginstruksikan mengkaji ulang ekspor sapi ke Indonesia. Langkah Australia
itu, setelah menerima laporan yang dilayangkan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) pencinta binatang, serta melihat tayangan program Four Corners ABC soal
penanganan sapi asal negara tersebut, pada akhir Mei 2011, yang menayangkan
gambar rumah pemotongan hewan memberlakukan sapi asal Australia secara kejam,
mata sapi dicungkil, ekornya dipatahkan, dan tenggorokan dipotong. Ini
membuat pihak Australia geram, didukung LSM pecinta hewan di sana yang
memiliki posisi tawar kuat kepada pemerintahnya.
Namun, langkah yang
dilakukan Australia ini, justru mendapatkan tantangan balik dari pihak
Indonesia. Pemerintah menduga ancaman Australia menghentikan pasokan sapi ke
Indo-nesia terkait kepanikan akan rencana swasembada daging sapi yang
dicanangkan pemerintah. Indonesia menargetkan impor daging sapi hanya 10
persen dari total konsumsi nasional pada 2014.
Saat
ini kebutuhan daging sapi mencapai 430 ribu ton per tahun. Dari jumlah ini,
sebanyak 25 persen atau 100 ribu ton daging berasal dari impor. Konsumsi
daging sapi di Indonesia dinilai masih rendah atau sekitar 2 kilogram per
kapita per tahun. Dengan kondisi ini, pemerintah tak khawatir terhadap
ancaman Australia yang akan menghentikan ekspor sapi ke Indonesia. Padahal,
rencana swasembada itu sendiri, tidak sama dengan penghentian impor.
SBY bersama delegasi
Indonesia dalam kunjungan kerja ke Darwin, Australia guna menghadiri
pertemuan tahunan kedua pemimpin kedua negara, The 2nd Indonesia - Australia
Annual Leaders Meeting. Salah satu agenda prioritas dalam lawatan ini, adalah
kerjasama pembelian sapi dari Australia untuk memenuhi kebutuhan Indonesia
yang sangat besar. Langkah itu kelihatannya memantapkan pencapaian swasembada
daging sapi 2014.
Saat ini, ada empat
wilayah Indonesia yang merupakan sentra daging sapi di Indonesia yakni Bali,
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua Barat. Khususnya NTT,
memiliki potensi besar menjadi eksportir dan suplai daging du-nia. Daerah
ini, memiliki potensi yang sama dengan Australia.
Keadaan geografisnya
memiliki hamparan savana yang luas sehingga sapi-sapi dapat dilepaskan secara
bebas untuk mencari pakan. Namun, kendala yang dihadapi oleh NTT adalah
masalah sumber air khususnya pada musim kemarau yang biasa terjadi pada bulan
September dan Oktober. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri peternak.
Alasan pemerintah
untuk melakukan swasembada sapi itu, untuk memproteksi daging sapi lokal.
Harga daging sapi segar impor saat ini, lebih murah sekitar Rp 15 ribu dari
harga daging sapi lokal. Untuk harga daging sapi impor sekitar Rp 40 ribu
sampai Rp 46 ribu, sedangkan harga sapi dari peternakan sekitar Rp 55 ribu
sampai Rp 60 ribu (sebelum mengalami kenaikan). Dengan perbedaan harga yang
cukup tinggi itu, dapat diprediksi peternak sapi lokal mengalami kerugian
yang cukup besar.
Akibat
serbuan daging impor yang beredar di pasaran membuat permintaan daging lokal
menurun. Kon-disi ini membawa dampak buruk bagi peternak sapi lokal. Untuk
menghindari kerugian dikalangan peternak pemerintah merespon dengan
meningkatkan produksi daging lokal dan membatasi daging impor.
Impor daging Indonesia
saat ini, sebesar 30 persen yang didatangkan dari Australia dan Selandia
Baru. Jumlah impor itu harus terus berkurang hingga tersisa 10 persen dan 90
persennya bisa dipenuhi dari daging lokal. Sebenarnya, Kebijakan pembatasan
impor sapi, sudah diberlakukan sejak 2010 lalu. Dengan harapan, pada 2014
mendatang, Indonesia hanya mengimpor 85 ribu ekor sapi dari saat ini yang
mencapai 260 ribu ekor sapi atau setara 460 ribu ton daging sapi. Data sensus
menunjukan, total jumlah sapi di Indonesia saat ini sekitar 16 juta ekor.
Adapun bentuk kerjasama dengan Australia, yakni penyediaan bibit unggul dan
rumah potong hewan (RPH) modern.
Sehingga
dapat disimpulkan, konsep yang ditawarkan Pemerintah Indonesia kepada
investor Australia cukup bagus, yaitu menjadikan Indonesia sebagai basis
peternakan sapi untuk memasok pasar ekspor dunia. Itu cukup realistis
mengingat biaya produksi di Indonesia lebih murah dibandingkan di Australia.
Keseriusan pemerintah, terlihat dengan mendorong empat gubernur untuk potensi
pertenakan sapi guna menargetkan Indonesia agar mampu swasembada daging pada
2014.
Penekanan ini, tidak berlebihan jika dilihat dari fakta yang
ada. Setiap kebijakan tanpa ada dukungan dari pemerintah daerah tidak akan
bisa berjalan. Selain itu, agar program ini berjalan, diperlukan dukungan
infrastruktur dan kebijakan lain demi terwujudnya swasembada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar