Flu Burung
Lagi!
CA Nidom ; Ketua Avian Influenza-zoonosis Research Center Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
28 Desember 2012
Tidak jauh dari Bandara Juanda, Surabaya,
ada warung kaki lima dengan tulisan ”Bebek Teroris” secara mencolok.
Pengunjungnya antre untuk menikmati kuliner bebek goreng dengan aneka sambal
itu.
Tampaknya tidak ada yang terpengaruh berita
banyak bebek mati karena flu burung. Memang demikianlah seharusnya. Konsumsi
daging dan telur bebek tetap aman.
Situasi di mana bebek terserang flu burung
agak mengejutkan. Biasanya bebek tahan terhadap virus flu burung. Bebek punya
kemampuan mengubah sifat keganasan dari virus flu burung. Apakah kejadian
akhir-akhir ini menunjukkan penurunan kemampuan bebek atau ada faktor lain?
Yang jelas, para peternak bebek, kebanyakan petani tulen, bukan berdasi,
mengalami kerugian finansial.
Pemerintah, khususnya Kementerian
Pertanian, dalam menghadapi keadaan saat ini terlihat lebih sigap dan cepat
dibandingkan saat wabah flu burung pertama kali pada 2003. Mengingat mereka
punya laboratorium dan SDM yang baik serta tersebarnya petugas reaksi cepat
(PDSR) sehingga bisa menyebarkan informasi secara cepat. Faktor lain yang
mempermudah, kejadian ini tidak semasif tahun 2003 pada ayam komersial.
Varian 2.3.2
Dalam tata nama virus influenza dunia
dikenal beberapa istilah. Ada tiga tipe, A, B, dan C. Tipe A merupakan virus
influenza yang banyak ditemukan pada berbagai spesies, termasuk manusia,
sehingga tipe A dibagi lagi menjadi beberapa subtipe. Pembagian itu
didasarkan pada struktur protein permukaan virus influenza, hemaglutinin (H)
dan neuraminidase (N), seperti virus flu burung H5N1 dan virus flu musiman
H1N1.
Sifat virus yang mudah mutasi dan variasi
dalam satu subtipe yang bisa bermunculan membuat satu subtipe punya varian
(clade dan subclade). Virus flu burung subtipe H5N1 yang selama ini ada di
Indonesia merupakan subtipe varian 2.1, selanjutnya terjadi perubahan menjadi
2.1.1, 2.1.2, dan 2.1.3. Kedua varian terakhir juga menginfeksi manusia.
Sejak 2008, varian 2.1.3 banyak ditemukan pada hewan dan manusia, yakni
sekitar 80 persen. Tidak jarang istilah ini membingungkan, apalagi jika ada
tambahan pembeda lain, genotipe, grup, dan lainnya.
Belum ada informasi sebelumnya di Indonesia
telah ditemukan varian selain 2.1, apalagi 2.3.2. Sampai kemudian terjadi
banyak kematian pada bebek, khususnya di Pulau Jawa. Dari pendekatan pola
mutasi, varian 2.3.2 tidak mungkin hasil mutasi dari varian 2.1.3 yang sudah
ada di Indonesia. Sebab, bagaimanapun, pola mutasi virus influenza punya tata
aturan alamiah.
Secara geografis, varian 2.3.2 banyak
ditemukan di Asia sebelah barat dari Danau Qinghai (China). Namun, karena
burung migrasi, varian ini ditemukan di bagian timur Asia, seperti Hongkong,
Korea, dan Jepang. Bahkan sampai di Bulgaria. Sementara di Indonesia berasal
dari mana?
Dari kajian kekerabatan yang dilakukan oleh
beberapa laboratorium, tampak bahwa varian 2.3.2 punya kedekatan dengan virus
sejenis dari Qinghai (China), Rusia, Mongolia, India, dan Vietnam. Juga
merupakan kerabat jauh dengan virus yang berasal dari Hongkong.
Skenario Koalisi Virus
Dari kajian lintasan dan terminal burung
migrasi, belum ditemukan lintasan burung yang berasal dari negara-negara
tersebut. Oleh karena itu, diduga kuat varian baru ini masuk ”sengaja”
melalui importasi semua hewan dan produknya. Bahkan, perlu ditelisik adanya pihak
yang memasukkan vaksin flu burung untuk unggas secara ilegal, yang berisi
varian baru dan terjadi ”kebocoran” vaksin.
Pertanyaannya, apakah bebek itu ketularan
ayam yang terinfeksi varian baru atau sebaliknya? Mutlak perlu dilakukan dan
ditelisik hewan lain yang diduga terinfeksi varian baru ini.
Jika memang benar ada kesengajaan dengan
tujuan tertentu, bisa dilihat perkembangan selanjutnya. Apakah akan ada bibit
atau daging bebek yang akan diintroduksi besar-besar ke Indonesia, termasuk
vaksin unggas yang berisi varian 2.3.2, seperti kejadian pada tahun
2003-2004? Hanya waktu yang akan membuktikan.
Adanya introduksi varian 2.3.2 menambah
variasi virus influenza yang beredar di Indonesia. Selama ini virus
influenza, termasuk flu burung yang beredar di Indonesia, meliputi virus H1N1
dan H3N2 yang populer disebut flu musiman serta H1N1 pandemik (2009) yang
sering disebut flu babi.
Ketiganya kebanyakan menginfeksi manusia
dan babi. Selain itu, H5N1 dengan berbagai variannya juga telah menginfeksi
unggas, mamalia (kucing, babi, dan lain-lain), dan manusia. Sekarang telah
ditambah varian baru 2.3.2 pada bebek. Berdasarkan data di beberapa negara,
varian baru ini telah menginfeksi unggas, bangau, angsa, merpati, dan elang.
Pernah dilaporkan 2.3.2 menginfeksi manusia di Hubei pada 2010 dan Guangxi
(China) tahun 2009.
Dua sifat mutasi virus influenza yang
dominan selama ini adalah mutasi titik (drift) dan mutasi koalisi (shift).
Semua subtipe dan varian virus flu punya peluang untuk saling berkoalisi
meskipun masih perlu hewan adaptor. Jika terjadi koalisi, tentunya
keselamatan jiwa manusia yang paling utama jadi perhatian karena otomatis
aspek ekonomi juga terselamatkan.
Secara teori, yang perlu dicegah adalah
terjadinya koalisi antara H5N1 2.1.3, H1N1 pandemik, dan varian 2.3.2 karena
bisa membuat kesulitan tersendiri. Varian 2.1.3 merupakan virus flu burung
yang sudah beradaptasi pada manusia dengan tingkat keganasan tinggi, 82
persen meninggal. Virus H1N1 pandemik dikenal punya tingkat penyebaran yang
cepat, sementara varian baru 2.3.2 diketahui punya mesin (gen internal) yang
efisien dalam perbanyakan virus.
Dengan demikian, meski kejadian flu burung
masih pada bebek, antisipasi terjadinya loncatan—baik secara utuh atau hasil
koalisi—perlu segera dilakukan pada unggas produktif ataupun keselamatan jiwa
manusia.
Antisipasi
Kementerian Pertanian sudah membuat rujukan
dalam pengendalian pada hewan ternak, mulai dari cara budidaya, biosekuriti,
pengaturan lalu lintas perdagangan bebek, sampai mencegah bebek diangon lintas
daerah lain. Sebab, virus ini bisa bertahan di air sawah atau kolam dengan
suhu 25-32 derajat celsius selama satu minggu.
Sebetulnya ada dua cara yang bisa
mempercepat pengendalian varian baru ini.
Pertama, memusnahkan bebek
terinfeksi dengan penggantian yang layak, mengingat kondisi ekonomi peternak
bebek (meskipun jumlah bebek Indonesia saat ini tidak kurang dari 2 juta
ekor).
Kedua, program vaksinasi ”darurat
terkendali” dengan menggunakan virus yang sedang menginfeksi sebagai seed
vaksin. Proses pembuatannya hanya perlu waktu sekitar satu minggu. Cara ini
seharusnya mudah dilakukan mengingat pemerintah punya unit/industri vaksin
hewan di Pusat Veterinaria Farma di Surabaya. Tentunya proses dan standar
prosedur lainnya di unit ini telah mengikuti ketentuan yang berlaku. Cara
yang kedua ini tidak perlu menunggu pembiayaan dari pusat. Sebab, bisa
dilakukan oleh setiap daerah atau provinsi dan pelaksanaan vaksinasi dan
pemantauannya bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi setempat melalui
kegiatan mahasiswa.
Sementara itu, guna mengurangi risiko pada
manusia Indonesia perlu dilakukan pembentengan pada tubuh mereka. Kita tidak
bisa hanya pasif menunggu korban jatuh baru bertindak. Hal ini mengingat
kecepatan dan sifat infeksi virus 2.1.3 dan juga oleh pola kehidupan
masyarakat Indonesia selama ini yang tidak bisa dihindarkan dari kedekatan
hidup dengan hewan. Perlu waktu untuk mengubah kebiasaan hidup rumah tangga
jauh dari hewan secara simultan.
Hampir 10 tahun flu burung berada di
Indonesia, sudah cukup banyak program komunikasi, informasi, dan edukasi yang
telah dilaksanakan, tetapi perubahan pola kehidupan masyarakat belum terlihat
secara nyata. Karena itu, program vaksinasi pada manusia dengan menggunakan
seed virus varian 2.1.3 sebagai pembentengan diri menjadi kebutuhan yang
mendesak.
Masalah utama Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat sehat adalah terhindarnya dari penyakit zoonosis (dari hewan ke
manusia). Selama ini masih terjadi antara hewan ternak dan manusia. Jika
ditambah adanya ”serbuan” penyakit zoonosis dari satwa liar, akan lebih
menyulitkan. Sebab, banyak melibatkan berbagai sektor yang punya kepentingan
dan punya titik pandang yang berbeda satu sama lain. Komisi Nasional
Pengendalian Zoonosis (Komnas Zoonosis) bersama kementerian terkait perlu
segera turun gunung untuk merumuskan langkah- langkah antisipasi.
Akhirnya, selama 10 tahun virus flu burung
di Indonesia bukan berkurang dan terbebas, malah kedatangan varian baru.
Sepertinya virus flu burung ini menuntut hak hidup di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar