Memerangi
Kartel Pangan
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan
Bisnis
Universitas
Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 27 Desember 2012
FENOMENA ada kartel pangan di
Indonesia seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dalam rangka menuju
ketahanan pangan. Kartel pangan begitu mengganggu proses menuju ketahanan
pangan dan pembangunan secara menyeluruh mengingat ada berbagai alasan
mendasar.
Pertama; pangan, mengutip
pernyataan Bung Karno pada waktu meletakkan batu pertama pembangunan kampus
Institut Pertanian Bogor tahun 1952, merupakan mati hidupnya bangsa dan
negara. Kemunculan kartel pangan, sebagai bentuk pasar oligopoli yang dapat
mengatur dan menguasai pasar, akan mengobrak-abrik negara dan masyarakat.
Pelaku pasar dalam kartel itu
dapat mengatur harga demi memperoleh keuntungan yang sangat besar, yang
pada akhirnya merugikan masyarakat, dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Dalam jangka panjang, keberadaan kartel mengancam eksistensi bangsa dan
negara.
Kedua; kartel menjadikan
penyebab pemborosan anggaran pemerintah. Kasus kenaikan spektakuler harga
kedelai beberapa waktu lalu, dan juga harga daging pada akhir-akhir ini,
terbukti merugikan anggaran pemerintah.
Dalam kasus kelangkaan kedelai,
negara merugi Rp 400 miliar hanya dalam waktu 4 bulan (September-Desember
2011). Ketika terjadi kelangkaan kedelai, importir berbondong-bondong meminta
izin kepada pemerintah untuk mengimpor dengan bea masuk 0%. Karena takut dipersalahkan,
pemerintah mengizinkan tapi lagi-lagi masyarakat dan pemerintah yang
dirugikan oleh mereka.
Demikian juga dalam kasus
kelangkaan daging. Ada dugaan, kenaikan harga daging yang begitu tinggi
disebabkan pelanggaran prosedur impor 118 kontainer daging sapi dari
Australia, sehingga harus dikembalikan. Para importir tentunya tidak mau
rugi, dan kemudian membuat ulah seolah-olah terjadi kelangkaan daging
sehingga pengembalian sejumlah besar daging itu tidak jadi dilakukan.
Harga yang membumbung tinggi
memicu protes keras masyarakat. Terkait risiko besar yang timbul seandainya
masyarakat bertindak anarkis maka pemerintah terpaksa memenuhi tuntutan
masyarakat dengan mengadopsi kemauan pihak kartel. Padahal praktik kartel
merusak etika dan moral masyarakat. Hukum menjadi tidak berkutik, keadilan
sulit ditegakkan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan memburuk,
pengangguran dan kemiskinan makin memprihatinkan, dan sederet dampak
kumulatif negatif lain.
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam kasus kedelai meminta agar kartel yang terbukti merugikan
masyarakat ditindak secara hukum. Pernyataan itu secara eksplisit menyatakan
bahwa dalam hal kedelai dan pangan lain, tidak boleh ada pasar dengan bentuk
kartel karena benar-benar merugikan masyarakat.
Lembaga yang paling berkompeten
menangani kasus ini sebenarnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang
dalam kasus kedelai juga menyatakan kecurigaannya pada praktik kartel.
Sayang, komisi itu tak mempunyai kewenangan luas untuk menangani permasalahan
bentuk pasar yang begitu merugikan masyarakat tersebut.
Ke depan, pemerintah perlu
memperluas kewenangan KPPU, misalnya dengan pemberian hak penyadapan
dan penindakan hukum. Revitalisasi KPPU seperti halnya KPK memerlukan
SDM yang kompeten, dukungan infrastruktur ataupun ketetapan hukum supaya
lembaga itu lebih mempunyai wibawa demi keterwujudan persaingan usaha secara
sehat.
Revitalisasi Kelembagaan
Pemerintah juga perlu
memperluas peran Bulog mengingat sebelumnya Indonesia mengikuti saran IMF
untuk mempereteli peran Bulog, yang tadinya begitu luas mengurusi masalah
pangan strategis. Sekarang badan tersebut hanya mengurusi beras untuk
rakyat miskin.
Semestinya, badan itu bisa
menangani kebijakan stabilisasi harga melalui operasi pasar, penentuan harga
tertinggi (ceiling price) dan harga
terendah (floor price), ataupun
kebijakan strategis lain, seperti lembaga penyangga pangan di berbagai
negara.
Pengalaman kelam masa lalu
Bulog yang penuh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), harus menjadi
perhatian dalam revitalisasi lembaga itu dengan segala aturan kelembagaannya.
Pengelolaan yang berprinsip pada good
corporate governance yang di dalamnya harus akuntabel, transparan, dan
dapat dipertanggungjawabkan menjadi pilar penting pemberdayaan Bulog.
Tetapi yang terpenting adalah
dukungan pemerintah, terutama presiden sebagai orang nomor satu dalam
memerangi segala bentuk kartel, yang terjadi karena ada perburuan rente
ekonomi (rent seeking), yang sudah
pasti melibatkan pihak-pihak kuat. Hanya ketegasan presiden yang dapat
menghilangkan segala bentuk pasar yang merugikan anggota masyarakat, yang
berarti harus memproses sesuai peraturan dan hukum yang berlaku bagi
pihak-pihak yang benar-benar melakukan kesalahan.
Penegasan presiden tentang
tidak boleh ada bentuk pasar kartel di Indonesia sebagai cermin pasar yang
begitu liberal bukanlah sekadar penyataan, yang implikasi pelaksanaannya
kurang mengena sasaran. Dia memang perlu menyuarakan dan mengampanyekan
perang melawan kartel, dan kita menunggu aktualisasi pelaksanaannya. Ide baik
dan gemilang tanpa ada tindak lanjutnya hanya menjadi sekadar pencitraan.
Masyarakat lebih membutuhkan bukti nyata, yakni melihat bahwa yang terjadi
adalah persaingan usaha secara sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar