Kapitalisasi
Desa dengan Dana Alokasi
Soemarso S Rahardjo ; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 26 Desember 2012
Tiga lurah dari desa di timur
Pantura ikut berdemonstrasi pada 14 Desember 2012. Mereka singgah ke rumah,
setelah sempat tersesat di jalan Jakarta.
Dengan fasih lurah-lurah itu
menjelaskan tiga tuntutan utama yang dikumandangkan melalui unjuk rasa di
depan wakil rakyat, yaitu pengangkatan perangkat desa menjadi pegawai negeri
sipil, perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun, dan
adanya dana alokasi desa sebesar 5-10 persen dari APBN.
Dalam kaitannya dengan dana
alokasi desa, mereka cepat berhitung. Kalau APBN 2013 sekitar Rp 1.500 triliun
dan jumlah desa kurang lebih 70.000 maka tiap desa akan memperoleh Rp 2,1
miliar per tahun. Suatu jumlah yang besar untuk ukuran desa. Pertanyaannya,
mengapa mereka sampai menuntut demikian?
Keuangan Desa
Menurut kepala-kepala desa itu,
sumber penghasilan utama dari desa dapat
berupa (1) Pendapatan Asli daerah (PAD); (2) Bagi hasil pajak
daerah kabupaten/kota; (3) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan
daerah; dan (4) bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
Persoalan
yang mereka ungkapkan adalah minimnya PAD. Suatu hal yang wajar.
Pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi pun hal senada juga terjadi.
Sementara itu, dana yang berasal dari perimbangan keuangan pusat dan daerah,
bagi hasil pajak daerah dan bantuan keuangan dari pemerintah, merupakan
sumber-sumber tidak pasti.
Itu sangat tergantung pada
kebaikan atau belas kasihan pemerintah, dan bahkan juga anggota
DPR. Kedekatan hubungan dan sering terjadi peranan calo sangat dominan dalam
perolehan dana-dana tersebut. Aroma komisi atau fee atau pungutan atau
pemotongan atau apa pun istilahnya sangat menyengat. Intinya, kendali
anggaran untuk dana-dana itu tidak berada di desa.
Sementara itu, desa harus
menanggung biaya-biaya yang sumber kegiatannya berasal dari pemerintah pusat,
provinsi, atau kabupaten/kota. Salah satunya adalah proses pemilihan
pemimpin. Ada pileg, pilpres, pilgub, pilbup/pilwakot, belum lagi, pilihan
kepala desa itu sendiri.
Hampir setiap tahun ada pilihan
pemimpin. Memang ada anggaran untuk pilihan-pilihan itu, namun, anggaran yang
disediakan pada umumnya tidak cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang
diprogramkan. Belum lagi biaya/tenaga/pikiran yang harus dicurahkan untuk
menambal kembali friksi-friksi yang diakibatkan oleh pilihan-pilihan
tersebut.
Desa menjadi destinasi dari
ambisi-ambisi politik yang berdampak pada kekohesifan masyarakat. Tidak
itu saja, desa menjadi tujuan akhir tempat dilaksanakannya sebagian besar
program/proyek yang dirancang dan dikelola pemerintah.
Tapi hanya sekedar lokasi.
Tidak heran kalau para lurah itu berkata desa masih menjadi objek pembangunan
dan ambisi politik. Semua itu dilakukan melalui kendali anggaran yang
ditempatkan di pemerintah pusat atau daerah dengan infiltrasi DPR. Pandangan-pandangan
di atas merupakan persepsi, yang tampaknya umum menyelimuti masyarakat desa.
Pendulum Keuangan Negara
Dalam era Orde Baru, Soeharto
memang tidak mau melepas kendali anggaran bahkan kepada pemerintah provinsi,
kabupaten/kota, atau DPR sekalipun. Semuanya digenggam pemerintah pusat. Pada
zaman Reformasi, pendulum berubah.
Kendali anggaran dilonggarkan
untuk mencakupi pemerintah daerah. Selanjutnya, DPR ikut berperan dalam
penentuan kendali anggaran. Anggota dewan tidak hanya sekedar berdebat
tentang kebijakan fiskal makro, tetapi malah berkutat pada
masalah-masalah mikro proyek.
Korupsi pun merebak. Makin banyak
pihak yang harus “diurusi” melalui dana APBN. Di samping itu, korupsi
mengalir dari pusat ke daerah. Semua itu menyebabkan ekonomi biaya
tinggi. Dana pembangunan sering dijadikan “iming-iming” bagi desa untuk
kepentingan finansial atau politik pribadi.
Desa tetap saja belum dapat
menentukan arah pembangunan seperti yang mereka inginkan. Keresahan sosial
yang terjadi di beberapa daerah belakangan ini patut diduga karena
bersilangnya kepentingan pemimpin pembuat keputusan dengan masyarakat tempat
keputusan itu harus dilaksanakan.
Membangun dari Sumber
Tuntutan adanya alokasi dana
langsung ke desa menjadi layak dipertimbangkan. Salah satu konsekuensi otonomi
daerah yang dirancangkan adalah mendorong pembangunan berdasarkan inisiatif
daerah masing-masing. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan terjadi di
daerah.
Anggapan yang mendasari adalah
mereka jauh lebih mengerti tentang daerahnya dibandingkan dengan
birokrat-birokrat di pemerintahan. Bagian penting dari otonomi daerah adalah
keleluasaan dalam mengelola anggaran. Sayangnya, untuk bagian ini, otonomi
berhenti sampai dengan kabupaten/kota. Desa masih pihak yang terpinggirkan.
Bahwa pembangunan perlu difokuskan
ke desa, semua pihak telah menyadarinya. Di sektor inilah sebagian besar
penduduk berada. Bahkan mereka ternyata merupakan penyumbang produksi
nasional yang cukup besar.
Jika dianggap sebagian besar
penduduk desa bergerak di sektor pertanian maka pada 2011 sumbangan sektor
ini adalah 16 persen dari produksi domestik bruto tanpa migas. Dari angkatan
kerja, pada Februari 2012, dari 112,8 juta orang bekerja, sektor pertanian
ternyata menyerap 41,2 juta orang atau 36,52 persen.
Coba lihat ada ketimpangan antara
sumbangan produksi nasional dan angkatan kerja. Produktivitas rendah
dibanding dengan sektor lain. Siapa yang merasakan dan dapat mengubah situasi
ini? Desa itu sendiri.
Dari data di atas menjadi sahihlah
kalau orang berpendapat kekuatan desa perlu dikapitalisasi. Mereka perlu
lebih diberi amunisi untuk mandiri dalam mengelola desanya. Perlu disadari
desa merupakan unit terkecil dalam tata pemerintahan Indonesia yang selama
ini seolah dianggap tidak ada.
Mereka hanya diberi kewajiban
tanpa diberi bekal hak pengelolaan sumber daya. Selama ini kita bangga dengan
tingkat pertumbuhan nasional yang cukup tinggi. Namun, selama ini pula orang
bertanya untuk siapa pembangunan itu diperuntukkan. Desa belum merasa
memperoleh manfaat optimal dari pembangunan. Kesenjangan melebar di sana.
Pertanyaannya, barangkali,
bersangkutan dengan kemampuan aparat desa. Tapi, kalau hal ini yang
dipersoalkan sampai kapan pun akan dianggap tidak mampu. Yang lebih penting,
sebetulnya, adalah kemauan politik.
Tentu pemberdayaan perlu dilakukan
secara bertahap, disesuaikan antara kemampuan dengan lingkup pembangunan yang
dapat diserahkan kepada desa. Inti dari persoalan adalah bagaimana membuat
pembangunan bergerak dari desa.
Bagaimana uang mengalir dan
mengendap di sana, dan bagaimana desa dapat mentransformasikan angkatan kerja
mereka dari sektor pertanian ke sektor lain yang lebih produktif. Ini agar
mereka tidak terjebak pada urbanisasi atau menjadi TKW. Yang menyedihkan
adalah kalau ketiadaan kemauan politik itu disebabkan akan hilangnya “mainan” para pemimpin di desa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar