KONSTITUSI DAN NEGARA
KESEJAHTERAAN
Media dan
Gerakan (Media) Sosial
|
KOMPAS,
26 Desember 2012
Gerakan masyarakat sipil memang lazim
mendapat dorongan dan penguatan dari media sosial.
Namun, melambungkan peran media sosial
belaka dapat menjebak kita pada kesimpulan merepotkan, setidak-tidaknya dalam
kasus Indonesia: Koin Prita, Cecak vs Buaya (Bibit dan Chandra), dan Semut
Rangrang vs Buaya (5 Oktober 2012 di Kantor KPK).
Dalam peristiwa 5 Oktober itu aktivis
masyarakat sipil menyatakan diri membela KPK dari upaya sekelompok polisi
yang bermaksud menahan penyidik KPK, Novel Baswedan. Laporan langsung
televisi cukup intensif. Publik menyaksikan adegan visual kantor KPK
”dikepung”. Media massa selektif memilih orang- orang yang bersama-sama
menyatakan ketidaksetujuannya— sebagian mengutuk—atas perlakuan sekelompok
oknum polisi.
Demikian pula dalam ”fenomena” Joko Widodo,
yang akhirnya terpilih sebagai gubernur DKI. Selain oleh gerakan sosial
pendukung Jokowi-Basuki dan simpatisannya, terutama lewat media sosial,
mereka juga sangat terbantu oleh dukungan media massa. Sekalipun pemilihan
hanya untuk wilayah DKI, seluruh Indonesia menyaksikan ”fenomena” itu melalui
televisi.
Menggarisbawahi interaksi seperti ini,
tidak berarti mengecilkan peran gerakan sosial beserta media sosial. Justru
gerakan masyarakat sipil inilah yang sering jadi peristiwa media. Masyarakat
sipil melakukan ”pertunjukan”, media massa berjalan mengiringi. Di saat itu
media sosial konsisten menabuh penguatan.
Media dan Industri
Media sosial memang unik. Tak sedikit
tulisan di jurnal komunikasi politik internasional menggambarkan peran media
sosial dalam destabilisasi sesuatu yang dianggap tak menguntungkan serta tak
didukung publik. Ketika salah satu calon wakil gubernur DKI mengejek Basuki
dengan panggilan bernada rasisme, kekuatan media sosial dalam arah seperti
itu makin terbukti.
Media sosial juga memiliki kekuatan lain,
semacam ”kebebasan” menyajikan sinisme dengan gaya dan bahasa humoris atau
parodis. Beberapa media massa belum berani mengadopsi gaya dan bahasa yang
dianggap ekstrem ini.
Pada bagiannya, media massa yang cerdas
akan tetap berpengaruh dalam menyejahterakan rakyat sesuai dengan keinginan
konstitusi. Hanya jurnalis yang sekaligus intelektual dapat menemukan serta
mengangkat data bahwa di Indonesia setiap dua jam ada seorang ibu yang
meninggal! Jika media massa konsisten memberitakan hal-hal seperti itu,
khususnya sebagai berita utama halaman depan, maka media bisa menginspirasi,
mendorong, bahkan memobilisasi.
Namun, harus segera dinyatakan pula bahwa
media massa yang bisa memainkan peran luar biasa itu telah jatuh ke dalam
logika industri. Karena itu, publik harus memilah-milah siapa pemilik, siapa
pengelola, siapa jurnalisnya. Dalam lintasan sejarah media, kita kagum pada
kiprah PK Ojong, Jakob Oetama, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Goenawan
Mohamad.
Namun, kita juga harus kritis memperhatikan
rekam jejak para taipan media yang kini makin rajin menggunakan medianya
untuk kepentingan politis. Hanya dengan rekam jejak itu, publik dapat
membedakan mana yang sungguh-sungguh pernah berjuang untuk demokratisasi
media serta demokratisasi dan perubahan bangsa ini.
Jadi, tak berdasar pernyataan yang baru
saja dikeluarkan atas nama menginginkan perubahan. Kalaupun terpaksa harus
mengakomodasi penampilan para pemilik media untuk aktivitas politiknya, tentu
cara-caranya tidak langsung serta tidak terlalu lama makan durasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, ancaman
lain bisa muncul ketika para taipan ini memilih orang yang sejalan dengannya
pada posisi pemimpin redaksi, pemimpin usaha, dan seterusnya. Pada ujungnya,
jurnalis relatif terpaksa mengikuti arahan seperti itu.
Melirik ke belakang, dulu banyak aktivis
yang tamat kuliah memilih berkiprah di LSM dan media massa. Artinya, rekam
jejak jurnalis pun dapat menentukan bagaimana mereka bersikap di tengah
tatanan industri media masa kini. Lepas dari kritik publik terhadap industri
media, TV One masih punya ”Indonesia Lawyers Club”, di Indosiar masih ada
”BBM Show”, dan di Metro TV masih ada ”Mata Najwa”.
Gerakan Media Sosial
Bersama dengan bagian tertentu dari
industri media massa yang masih memberi harapan, media sosial dapat memainkan
peran yang lebih diharapkan masyarakat sipil. Dulu, hanya kalau redaktur
opini meloloskan, maka opini seseorang akan tersebar dan dapat dibaca secara
luas. Sekarang tak diperlukan izin semacam itu. Tiap orang langsung bisa
menebarkannya lewat Facebook, blog, Twitter, dan forum yang juga disediakan media
massa.
Salah satu kendala yang bisa dipecahkan
media sosial adalah rintangan meliput dua
sisi yang sering dijalankan secara
konservatif oleh media massa. Apalagi jika suatu isu menyangkut institusi dan
nama tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung memiliki kedekatan
dengan media itu, setidaknya secara psikologis.
Kebebasan lain yang dirayakan masyarakat
sipil pengguna media sosial di Indonesia adalah menyatakan sikap secara
langsung kepada kelompok pengguna kekerasan menghadapi perbedaan dan
interpretasi ajaran agama. Yang ini umumnya dihindari media massa, terutama
karena kelompok itu mengancam mendatangi kantor media massa.
Tentu saja kelebihan media sosial ini harus
dicatat bersama sekelompok orang yang dapat menyalahgunakannya. Mula-mula
publik menyaksikan mereka seperti gerakan masyarakat sipil pengungkap data,
tapi lama-lama menjadi kelompok bayaran untuk menjatuhkan pihak lain.
Di atas semua itu, sebetulnya tersisa suatu
pertanyaan penting: kapan masyarakat
sipil memperjuangkan hak konstitusinya untuk memiliki akses lebih adil kepada
media massa dalam kredo kebinekaan pemilikan dan kemajemukan isi media?
Ini sebenarnya bisa dilakukan dengan memobilisasi isu lewat media sosial.
Kalau ini terjadi, kita bisa melihat media massa (yang barangkali masih harus
merangkul sebagian logika industri) dalam perjuangan masyarakat sipil menuju
negara kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar