Saatnya
Liburan
Rhenald Kasali ; Ketua
Program MM UI
|
SINDO,
27 Desember 2012
Di atas
pesawat yang membawa saya ke Turki, seorang pria berkebangsaan Malaysia duduk
melamun memandangi hujan yang membasahi kaca jendela. Sebelum turun di Kuala
Lumpur, ia bercerita betapa dongkolnya mengunjungi Jakarta.
Tiga jam duduk di atas taksi dari hotel menuju Mangga Dua tak kunjung tiba, akhirnya ia meneruskan perjalanan ke bandara dan kembali pulang. Kisah terjebak banjir dalam berwisata bukan hal yang baru di dunia ini. Di Amerika saja Anda bisa terperangkap banjir atau terhadang badai tornado. Saya juga pernah kehilangan waktu dan uang saat tur menuju Lake Tahoe di California karena terhadang badai salju yang tebal. Juga bukan hal aneh bila Anda terhadang banjir atau kebakaran hutan di Australia. Dua tahun silam saya bahkan meninggalkan Suriah hanya satu hari sebelum terjadi konflik bersenjata. Hari-hari ini jutaan orang pergi berlibur, berdoa, melakukan ziarah, bersilaturahmi, berbelanja, dan sebagainya. Data terbaru dari World Tourism Organization menunjukkan, tahun ini jumlah pelancong lintas negara telah menembus 1 miliar manusia. Ini berarti satu dari enam penduduk dunia telah bepergian lintas negara. Kalau yang lima sisanya bepergian domestik, berarti hampir semua penduduk dunia adalah konsumen wisata. Siapkah Indonesia menjadi penghasil devisa pariwisata yang penting? Pemburu Perdamaian Manusia yang berwisata pada dasarnya bukanlah manusia yang senang konflik. Juga tak ada bangsa yang lebih bodoh daripada yang menghamburkan anggaran promosi wisatanya sebelum menurunkan angka kriminalitas dan memperbaiki sanitasinya, termasuk pembuangan sampah. Maka itu, dari dulu saya pikir mengurus pariwisata bukanlah urusan pasang iklan dan ikut pameran di luar negeri, melainkan memperbaiki produk seperti yang dilakukan Turki yang dulu juga tidak aman, atau wali kota Palembang yang membersihkan preman, sehingga kita kini merasa nyaman berwisata di Jembatan Sungai Musi. Sejak terjadi konflik, Suriah yang dulu sedang giat beriklan bahkan berhenti berpromosi. Padahal di sana banyak situs peninggalan sejarah, termasuk bekas pasar yang pernah didatangi Nabi Besar Muhammad SAW. Memang ada banyak motif manusia berwisata, tetapi semua orang ingin mendapatkan sesuatu, ya pengetahuan, keindahan alam dan budaya, pengalaman, getaran jiwa, oksigen, kesehatan,dan sebagainya. Di Istanbul, Turki, saya bertemu sepasang dokter berkebangsaan Pakistan yang sudah 30 tahun membuka praktik di Wisconssin-Amerika Serikat, seorang investment banker asal Singapura dan seorang tua asal Spanyol yang menggandeng wanita muda yang tak henti-hentinya berpelukan di depan keramaian. Di depan menara Blue Mosque yang sangat terkenal, dokter asal Pakistan itu menanyakan kebenaran tentang arsitek yang kepalanya dipenggal Sultan karena membangun masjid yang tak sesuai dengan keinginannya. Ahmed, sejarawan muda yang mengantar kami, menjelaskan,“ Ada beberapa versi sejarah. Memang Sultan tidak senang ketika melihat bangunan masjid tak sesuai dengan keinginannya. Setelah itu arsiteknya hilang. Tetapi, versi lain menyebutkan, mereka hanya menghilang selama enam bulan, pergi ke Mekkah untuk melihat Kakbah, lalu kembali dan menambah satu menara lagi sesuai keinginan Sultan,” ungkapnya. Di Museum Aya Sofia (Hagia Sofia) yang indah kami kembali tertegun. Gereja Katedral ortodoks terbesar di timur yang berada di seberang Blue Mosque itu dulu dibangun Kaisar Konstantinopel pada abad keempat. Tetapi, di era kejayaan kerajaan Ottoman, oleh Sultan Mehmed 2,bangunan ini diubah menjadi masjid. Bel gereja dan altar dipindahkan, ornamen-ornamen khas gereja ditutup. Kaligrafi Arab dipasang di bagian dalam bangunan. Mimbar, menara masjid, dan mihrab ditambahkan. Namun, setelah Turki menjadi Republik, bapak bangsa Turki,Mustafa Kemal Ataturk, mengembalikan bangunan kuno itu menjadi museum. Selubung ornamen gereja yang ditutup sejak 1453 juga dilepas. Kini pengunjung museum bisa menyaksikan jerih payah perjalanan manusia mencari Tuhan. Di puncak altar, ada ornamen gereja yang dilukis seniman Bizantium berupa Bunda Maryam yang memangku Isa. Di kiri dan kanan-Nya terpampang kaligrafi Arab yang indah tentang kebesaran Tuhan. Kepada seorang profesor Turki,saya menanyakan keberadaan Turki dalam Uni Eropa (UE). Ia menjawab sambil tersenyum, “Lima belas tahun kami berjuang agar bisa diterima UE, sampai kini tak jelas rimbanya. Sekarang kami bersyukur tak masuk ke dalam UE. Kini merekalah yang butuh Turki. Kini semua orang Eropa ingin menghabiskan uangnya di Turki yang aman dan ekonominya sehat.” Berwisata, Berpengetahuan Sudah sejak lama saya mempercayai berwisata merupakan wadah pembelajaran yang penting. Maka itu, saya sering tersenyum-senyum membaca komplain masyarakat terhadap prilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang senang berjalan-jalan. Melancong itu sehat, sah, dan bagus untuk mengubah manusia. Sayangnya,tak semua manusia senang dengan perubahan. Yang pasti, hanya yang masih mau belajarlah yang bisa berubah, dan itu akan tampak dari apakah ia memakai uang sendiri atau tidak. Saya sejak lama mewajibkan mahasiswa saya memiliki passport. Punya passport itu sehat, apalagi sekarang biaya tiket pesawat banyak yang murah. Diluarnegeri, saya sering melihatanak-anaksekolahbiasa diajak gurunya melancong ke luar negeri. Mereka belajar tentang gunung berapi ke Hawai, batu-batuan alam ke Samoa, dan sejarah ke Candi Borobudur. Sebelum memasuki perkuliahan, calon-calon mahasiswa dari negara-negara di Eropa bergerombol memburu tiket lelang. Mereka menjadi backpackers, menginap di hotel-hotel bertarif murah. Semuanya memakai uang pribadi, bukan subsidi, bukan perjalanan dinas. Dari para backpackers-lah saya mengerti betapa banyak persoalan pariwisata yang belum diurus pemerintah. Ribuan makalah tentang pariwisata yang ditulis mahasiswa asing di luar negeri menyebutkan arah pariwisata Indonesia tidak jelas, cuma berpromosi. Mereka juga menyoroti kelucuan daftar 30 makanan asli Indonesia yang akan dipromosikan. Nasinya saja ada tiga (tumpeng, goreng kampung, dan liwet). “Memangnya kami harus makan semua,” tanya mereka. Belum lagi kesemrawutan lalu lintas, sampah, dan keamanan. Tetapi, apa pun juga harus diakui, di beberapa lokasi kita masih bisa menikmati suasana wisata yang berbeda. Naik becak di Cirebon sambil makan nasi jamblang dan belanja batik, makan nasi liwet dan borong batik di Solo, menikmati angklung Ujo di Bandung, mengelilingi sawah di Ubud, membeli gelang baja putih eks pesawat tempur Sekutu di Morotai, menikmati ikan jelawat di Pontianak, atau menembus hutan pala di Maluku. Jadi, bersyukurlah Anda yang masih diberi waktu, kesehatan, dan uang untuk berlibur. Ini saatnya bercengkerama bersama keluarga. Berikanlah kesempatan bagi anak-anak Anda menjadi guide, memilih hotel, dan menentukan rute perjalanan. Hanya dengan cara itulah kepala Anda bisa menjadi ringan, dan liburan benar-benar bisa dinikmati. Dengan cara itu pula, anak-anak bisa menjadi driver bagi hidup mereka sendiri, bukan passenger yang selamanya menumpang dalam kehidupan orang lain. Selamat berlibur. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar