Jalan Tol dan
Kemacetan
Azas Tigor Nainggolan ; Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta
|
KOMPAS,
27 Desember 2012
Kabar atau wacana akan dilanjutkannya
rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta oleh
Kementerian Pekerjaan Umum kembali ramai didiskusikan.
Rencana proyek bernilai Rp 42 triliun itu
mulai dipublikasikan pada 2005, tetapi terus tertunda karena penolakan
publik. Sejak awal publik menolak pembangunan jalan tol dalam kota yang baru
sebagai solusi bagi pemecahan kemacetan di Jakarta.
Sekarang ini publik
menyebar Petisi Online untuk mengorganisasikan penolakan.
Petisi Online itu mengatakan dan meminta
dukungan pembatalan rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota
Jakarta. Dikatakan pula, rencananya Kementerian Pekerjaan Umum menunggu izin
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo agar enam ruas jalan tol itu dapat dimulai
pada 2013.
Secara khusus petisi itu bersi- kap bahwa
pembangunan jalan raya baru, termasuk jalan tol dalam kota Jakarta, tidak
akan menyelesaikan problem kemacetan lalu lintas di kota. Disampaikan juga
pengalaman di California bahwa setiap 1 persen peningkatan panjang jalan
dalam setiap mil akan menghasilkan peningkatan kendaraan yang lewat sebesar 0,9
persen dalam lima tahun (Hanson, 1995).
Petisi itu mengungkapkan sebuah studi
kelayakan PT Pembangunan Jaya pada Mei 2005: setiap pertambahan jalan
sepanjang 1 kilometer di Jakarta akan selalu dibarengi dengan peningkatan
jumlah kendaraan sebanyak 1.923 mobil pribadi. Singkat kata, pembangunan
jalan tol baru dalam kota Jakarta semakin menambah macet dan polusi udara di
Jakarta.
Sementara itu, para pendukung pembangunan
jalan tol tersebut mengatakan bahwa hingga saat ini rasio jalan di Jakarta
baru sekitar 6,2 persen dari sekitar 661,52 kilometer persegi luas Kota
Jakarta. Memang jumlah ruas jalan di Jakarta masih sangat minim dibandingkan
dengan kota di luar negeri. Salah satu yang sering diajukan sebagai
pembandingnya adalah Singapura: tidak macet lagi setelah rasio jalannya sudah
mencapai 15 persen dari total luas wilayah.
Para pendukung pembangunan jalan tol terus
mengatakan bahwa rasio jalan di Jakarta menunjukkan masih sangat kurang ideal
jika dilihat peruntukannya. Banyak pula pakar mengatakan bahwa idealnya rasio
jalan dengan luas wilayah adalah 10 persen agar bisa memecahkan kemacetan.
Namun, dasar teori penghitungan rasio ini tidak pernah dibeberkan.
Dampak Buruk
Belajar dari pengalaman banyak negara lain,
dalam sepuluh tahun terakhir beberapa pemerintah kota sudah meninggalkan
pembangunan jalan tol baru di dalam kotanya. Pakar yang peduli dengan
persoalan tata ruang berpendapat bahwa pembangunan enam ruas jalan tol hanya
akan merusak tata ruang di Jakarta, yang kini saja sudah buruk dan semrawut.
Pembangunan jalan (tol) hanya akan
menyuburkan minat warga menggunakan kendaraan bermotor pribadi dalam
mobilitas mereka sehari-hari di Jakarta. Artinya, pembangunan enam ruas jalan
tol hanya akan menjadi karpet merah bagi kendaraan pribadi yang jelas menjadi
penyebab utama kemacetan di Jakarta. Menurut survei terakhir Dinas
Perhubungan, jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 25 juta per hari. Sekitar
60 persen di antaranya menggunakan kendaraan pribadi.
Dari kacamata lingkungan hidup, pembangunan
enam ruas jalan tol akan memicu kerusakan atau pencemaran lingkungan serta
pemborosan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi di Jakarta. Peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi yang signifikan akan memproduksi gas karbon di
udara Jakarta secara signifikan pula. Apalagi, bahan bakar yang digunakan
berupa bahan bakar fosil yang masih disubsidi.
Berkaitan dengan pencemaran udara,
pembangunan enam ruas jalan tol juga akan memicu angka kesakitan warga
Jakarta yang terkait dengan infeksi saluran pernapasan akut. Kondisi ini
tentu akan sangat menurunkan produktivitas warga Jakarta dan menguras
pendapatan warga Jakarta karena sakit, khususnya warga miskin.
Revitalisasi Angkutan Umum
Penolakan yang sangat kuat dari warga
biasa, pengamat transportasi, tata kota, dan lingkungan hidup terhadap
rencana pembangunan enam ruas jalan tol ini melalui Petisi Online ditandai
dengan terkumpulnya saat ini tidak kurang dari 4.000 penanda tangan.
Penolakan itu disertai dengan usul alternatif kebijakan memecahkan masalah
kemacetan di Jakarta.
Hampir semua penanda tangan Petisi Online
itu mengusulkan agar sebaiknya pemerintah mengendalikan penggunaan kendaraan
pribadi dan revitalisasi angkutan umum massal di Jakarta. Solusi alternatif
itu sangat logis karena penyebab utama kemacetan Jakarta adalah tingginya
penggunaan kendaraan pribadi disebabkan buruknya layanan angkutan umum
massal.
Yang seharusnya dibangun bukanlah ruang
untuk kendaraan pribadi yang kapasitas angkutnya sedikit atau kecil. Jalan
tol baru hanyalah karpet merah bagi kendaraan pribadi. Jadi, meningkatkan
kapasitas layanan atau revitalisasi sistem layanan angkutan umum massal
itulah yang harus dilakukan.
Prioritas pada revitalisasi angkutan umum
tentulah tepat karena kapasitas angkutnya jauh lebih besar daripada kendaraan
pribadi. Inilah yang harus dilakukan pemerintah. Revitalisasi angkutan umum
itu selanjutnya bisa disertai dengan kebijakan mengendalikan penggunaan
kendaraan pribadi, seperti parkir mahal dan retribusi jalan elektronik.
Dapat kita bayangkan, uang Rp 42 triliun yang
awalnya untuk membangun jalan tol baru difokuskan pada revitalisasi sistem
angkutan umum massal seperti bus transjakarta di Jakarta. Menurut hitungan
dan analisis Institute for Transportation and Development Policy (ITDP)
Indonesia, dana sebesar Rp 42 triliun itu bisa digunakan untuk merevitalisasi
layanan bus transjakarta beserta seluruh bus umum reguler yang bukan
transjakarta.
Saat ini daya angkut bus transjakarta baru
sekitar 350.000 orang per hari. Angkutan reguler mati suri. ITDP Indonesia
menghitung bahwa revitalisasi sistem bus transjakarta dan angkutan umum
reguler dengan dana sebesar Rp 42 triliun bisa mengangkut 1,5 juta orang per
hari dan bisa memberi layanan gratis selama 20 tahun bagi penggunanya.
Mengacu pada pertimbangan dan usul di atas,
pertanyaan tentang keperluan membangun enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta
sudah dapat dijawab. Tentu jawabannya adalah tidak diperlukan atau batalkan
saja rencana pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota di Jakarta.
Membatalkannya dapat dilakukan oleh
Gubernur Jokowi dengan tidak memberi izin pembangunan enam ruas jalan tol
dalam kota tersebut. Lebih baik pembangunan solusi bagi pemecahan masalah
kemacetan Jakarta difokuskan pada kebijakan revitalisasi sistem angkutan umum
massal bus transjakarta dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor
pribadi di Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar