Masa Depan
Demokrasi
Muhammad Abu Nadlir ; Dosen STEBank Islam Mr Sjafruddin
Prawiiranegara Jakarta, Peneliti The Fatwa Center |
SUARA
KARYA, 31 Desember 2012
Pembagian kekuasaan
yang mewujud dalam trias politika (eksekutif, legislatif dan judikatif)
agaknya memang menjamin ruang ekspresi dan partisipasi luas. Namun, jika
melihat sinergisitas kerjasama antara tiga kekuatan demokrasi itu, kita harus
berdiskusi ulang.
Menurut Hariman
Siregar, mantan aktivis mahasiswa 1973, ada dua tujuan utama demokrasi.
Pertama, menggerakkan partisipasi luas kepada rakyat untuk terlibat aktif
dalam kepentingan publik. Bukan hanya dalam hal memilih, tetapi juga dipilih.
Kedua, bagaimana menyelesaikan perkara tanpa kekerasan, termasuk dalam soal
suksesi kepemimpinan (Jangan Bajak Demokrasi: 2008).
Dua tujuan tersebut
mengungkapkan bahwa keterbukaan dan kebebasan demokrasi berpotensi luas
membangun nuansa yang lebih humanis dan natural. Namun, ketika tidak ada
kesadaran kolektif untuk membangun bersama, yang terjadi bukanlah sinergi,
tapi saling menguasai. Bukan perjuangan meraih kesejahteraan, namun
melanggengkan status quo. Disini, kebebasan bukan sebagai medan perjuangan,
tapi bak panggung pertikaian, demi meloloskan misi kelompok dan pribadi.
Kecenderungan itulah
yang saya lihat dalam pelaksanaan demokrasi. Tidak ada kesepakatan
"pasti" antara eksekutif dengan legislatif. Bahkan, yudikatif
kadang bertolak belakang dengan keduanya. Mereka saling mempertahankan
kekuasaan. Visi kerakyatan hanya polesan belaka.
Dari sini, terjadilah
fenomena yang oleh Ikrar Nusa Bakti disebut dengan ungovernable, yakni adanya
pemerintah tanpa pemerintahan. Pemerintah, sebagai kekuatan eksekutif, tidak
lagi memiliki wibawa di hadapan legislatif dan yudikatif. Mereka berjuang
untuk kepentingan masing-masing, bukan untuk rakyat dan kepentingan bersama.
Selain itu,
sebagaimana kata Novel Ali, dosen Politik Undip Semarang, terjadinya
kesenjangan antara aktivis demokrasi dengan aktor demokrasi (sebut, praktisi)
di masyarakat Indonesia, semakin meneguhkan asumsi bahwa demokrasi semakin
sulit dicari efektivitasnya. Aktivis yang mengontrol kinerja demokrasi
terhalang arogansi para praktisi demokrasi di eksekutif, legislatif dan
judikatif.
Ada sementara pengamat
yang berpandangan bahwa Indonesia berpotensi besar disebut sebagai negara
yang gagal (failure state). Sebab kepatuhan sosial demokrasi yang ada hanya
bersifat semu (pseudo-obedien), tidak hakiki. Sehingga, negara tidak mampu
memenuhi kebutuhan rakyatnya, karena disibukkan dengan pe-rebutan pengaruh
politik. Inilah ciri dari negara gagal sebagaima-na disebutkan oleh penulis
muda, Imam Cahyono.
Boleh saja optimis
menatap masa depan demokrasi, namun tanpa disertai de-ngan penegakan visi
misi demokrasi menuju kemajuan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bang- sa, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, kiranya hanya akan
menambah legitimasi kegagalan pembangunan bangsa ini.
Karenanya, aktivis
demokrasi yang tersebar di LSM dan juga ormas yang ada, perlu menyusun ulang
strategi untuk mengontrol para praktisi demokrasi yang sekarang sedang
bekerja di lapangan politik praktis, agar tujuan demokrasi tidak tergadaikan
oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
Namun ironis, acap
kali, para aktivis yang menjadi kekuatan konsolidasi demokrasi itu ditemukan
tidak padu lagi dalam pergerakan. Mudah terbelah oleh problem yang sepele.
Mereka terjebak dalam arogansi pribadi dan terkesan individualistik. Jika
kondisi ini terus berlanjut, sulit ditemukan tokoh sekaliber Evo Morales dari
Bolivia.
Masa depan demokrasi
macam apa jika para aktivisnya juga demikian, apalagi dengan rakyat? Mereka
semakin jauh dari sejahtera karena "pejuang" demokrasi mereka
saling bertarung. Sementara, para pemimpin mereka, yang notabene adalah
praktisi demokrasi, sibuk dengan perebutan pengaruh politik. Dikha-watirkan,
jangan-jangan benar apa yang diprediksikan para pengamat itu, bahwa
In-donesia calon negara gagal. Inilah ironisnya.
Kepada siapa lagi visi
demokrasi dititipkan, sementara para aktivis dan praktisinya belum
bekerjasama secara sinergis? Rakyat lelah menyaksikan pertikaian
berlarut-larut. Mereka hanya menginginkan penyelesaian yang pasti. Tidak
ingin ada lagi kekerasan "simbolik" dalam praktek-praktek
demokrasi. Rakyat tidak ingin lagi dijadikan "perahu" demokrasi.
Seolah-olah, dengan mengatasnamakan rakyat demokrasi sudah berjalan
semestinya. Tidak. Yang dinginkan rakyat hanya hasilnya. Hingga berbusa pun
mulut beretorika, namun manakala hasilnya tidak bisa dirasakan, rakyat akan
tetap menuntut.
Karena tuntutan sosial
yang kuat, pelaksanaan demokrasi suatu ketika akan diadili oleh rakyat.
Meningkatnya angka golput dalam pertisipasi suksesi kepemimpinan misalnya,
bisa jadi sebagai indikasi bahwa ternyata rakyat sudah muak dengan
praktik-praktik demokrasi yang hanya me-mentingan kepentingan se-saat
segelintir orang, bukan kepentingan bersama.
Demokrasi yang
disinyalir sebagai gerbang menuju kemajuan, ternyata di Indonesia masih belum
bisa dibuktikan. Bangsa ini masih kalah dengan progresivitas pembangunan
Vietnam yang pemimpinnya baru saja keluar dari semak-semak hutan karena
penjajahan. Apalagi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura,
negara ini semakin terlihat "kecil membuncit".
Maka, demokrasi akan
menemukan efektivitasnya jika agenda revolusi menjadi pijakan utama.
Sebagaimana pernah dikatakan proklamator, Bung Karno, perlu disadari
sepenuhnya bahwa konsep demokrasi belum menemukan bentuknya ideal di
Indonesia. Prospek demokrasi ditentukan oleh bentuk serta tujuan revolusi
selanjutnya. Tentu yang di-maksudkan adalah revolusi demokrasi berbasis
kerakyatan. Karenanya, wujudkan dan kembalikan kepada kerakyatan. Melayani,
mengabdi dan menyejahterakan rakyat, bukan pejabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar