Efek Kenaikan
Upah Minimum
Rekson Silaban ; Anggota Dewan Pengarah ILO
|
KOMPAS,
31 Desember 2012
Sampai 1990-an, kalangan
ekonom umumnya setuju bahwa peningkatan upah minimum akan mengurangi lapangan
kerja. Namun, konsensus ini melemah dengan munculnya temuan beberapa studi
empiris yang berbeda.
Kini
orang percaya bahwa peningkatan upah minimum memiliki efek berbeda pada
sektor industri, tingkat elastisitas permintaan, dan tingkat keahlian tenaga
kerja. Peningkatan upah minimum dipercaya meningkatkan standar kehidupan
buruh, mengurangi kemiskinan, mendorong pebisnis lebih efisien, sekaligus
menciptakan efek beruntun lewat peningkatan konsumsi ke peluang kerja baru.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kenaikan upah minimum yang cukup
tinggi akan mendorong pengangguran, khususnya pekerja dengan produktivitas
kecil, usaha kecil yang tidak memiliki kapasitas menambah modal, dan
mempersulit pekerja tidak ahli dan tidak terdidik.
Menurut
teori ekonomi, kenaikan harga (termasuk kenaikan upah) akan memicu kenaikan
penawaran, tetapi sekaligus menurunkan permintaan. Jika surplus tenaga kerja
ini tidak diikuti pertambahan permintaan kerja, penganggur akan bertambah.
Pemerintah bisa campur tangan menciptakan proyek padat karya, tetapi strategi
ini hanya mampu mengatasi sebagian kecil pengangguran. Akhirnya kenaikan upah
akan menguntungkan mereka yang bekerja, tetapi merugikan mereka yang
kontraknya tidak diperpanjang. Korban lain adalah penganggur yang makin sulit
masuk pasar kerja.
Kelompok
pro-kenaikan upah minimum mengatakan, teori bahwa kenaikan upah akan
memperburuk situasi lapangan kerja tidak sepenuhnya berlaku. Beberapa
industri tertentu yang permintaan terhadap produknya tinggi dan tidak kaku,
kenaikan upah tak harus berujung ke PHK, karena bisa dibebankan kepada
konsumen dengan menaikkan harga produk (Paul Krugman). Meski tidak banyak
produk yang bisa dinaikkan harga satuannya tanpa memengaruhi permintaan
konsumen, mereka berkukuh bahwa dampak positifnya jauh lebih besar.
Naiknya
pendapatan juga akan mengurangi beban pemerintah untuk biaya jaminan sosial
akibat turunnya kelompok miskin yang disubsidi. Upah yang semakin tinggi
mendorong banyak orang memasuki pasar kerja formal, ketimbang bekerja di
sektor informal dan ilegal, dan terutama mempercepat penghapusan kebijakan
”buruh murah” menuju kebijakan buruh upah layak.
Kelompok
anti-kenaikan mengatakan, kenaikan upah minimum bisa menyingkirkan kompetitor
bisnis yang bertahan karena menggunakan biaya buruh murah, mengganggu
keberlanjutan usaha kecil dengan kapasitas finansial terbatas, mengurangi
penggunaan tenaga kerja, dan mendorong inflasi akibat kenaikan harga-harga
barang.
Kenaikan
upah minimum diperlukan untuk mendorong percepatan realisasi hidup layak,
tetapi konsep upah minimum tak boleh disamakan dengan upah layak. Upah
minimum juga berbeda dengan kebutuhan hidup (living wages) sehingga hanya ada 60 komponen yang masuk dalam
upah minimum. Untuk komponen upah layak diperlukan setidaknya 120 komponen
upah. Teorinya, upah minimum hanya sebagai jaring pengaman, mencegah buruh
agar tidak dieksploitasi. Itu sebabnya, upah minimum hanya untuk pekerja
lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun.
Indonesia
sebenarnya menghadapi dua masalah penting dalam penerapan upah minimum:
rendahnya kepatuhan dan rendahnya cakupan.
Rendahnya
kepatuhan akibat lemahnya pengawasan, tingginya penawaran kerja, dan
penetapan upah yang lebih tinggi dari produktivitas buruh. Maka, sistem
pengupahan baru yang sesuai dengan realitas ekonomi Indonesia perlu
dirumuskan.
Menurut
data statistik per Maret 2011, di Indonesia terdapat 219.721 perusahaan.
Perusahaan skala kecil dengan buruh di bawah 25 orang berjumlah 160.867.
Perusahaan skala sedang dengan pekerja 25-49 orang ada 41.991. Perusahaan
besar dengan pekerja di atas 50 orang ada 16.863.
Umumnya
hanya perusahaan skala besar yang berjumlah 16.863 yang mampu membayar
kenaikan upah tinggi. Maka, yang sering terjadi adalah pembangkangan
pembayaran upah. Akibat surplus tenaga kerja, buruh sering terpaksa menerima
”upah kesepakatan” yang jumlahnya ditentukan majikan dan buruh. Ironisnya,
hampir semua pemerintah daerah tidak mampu membayar upah minimum tenaga
honorernya. Begitu juga dengan beberapa BUMN perkebunan yang terang-terangan
melanggar undang-undang.
Penyimpangan
upah minimum ini bisa dilihat di usaha kecil dan menengah (UKM), hotel
melati, restoran, tenaga honorer pemda, sopir angkutan, buruh jasa komersial,
dan lainnya.
Realitas
lainnya, mayoritas tenaga kerja kita sebagian pekerja tidak ahli (76 juta
atau 74 persen) karena hanya tamat SD. Kemudian ada 67 persen pekerja
informal. Kebijakan menaikkan upah biasanya dilakukan pengusaha dengan
mengaitkannya dengan produktivitas kerja. Namun, dengan mayoritas buruh tidak
ahli, industri yang tertarik investasi adalah perusahaan padat karya yang
gampang relokasi (foot lose industries).
Kadin
dan Apindo baru-baru ini mengatakan, beberapa perusahaan sudah berencana
hengkang ke luar daerah atau ke luar negeri yang upah minimumnya lebih murah.
Ini tampaknya tidak sebatas ancaman.
Diskusi
dengan pengusaha garmen menunjukkan, dengan kenaikan upah buruh garmen 60
persen di Bogor tahun 2013, dia harus mempersiapkan Rp 50 miliar untuk
membayar upah 5.000 karyawan di tiga perusahaan. Padahal, keuntungan bersih
hanya Rp 5 miliar. Dia tak sanggup menjalankan usaha dengan skenario upah
minimum saat ini dan sedang menyiapkan opsi menutup perusahaan.
Dari
sisi rendahnya cakupan upah minimum, hal ini akibat jumlah buruh formal kita
yang hanya 38 juta. Dari jumlah itu diperkirakan hanya 24 juta buruh yang
dicakup upah minimum, yaitu sektor industri 14,2 juta, konstruksi 6,10 juta,
dan jasa keuangan 2,78 juta. Jadi cakupannya hanya 22 persen dari 112,8 juta
total penduduk yang bekerja (data statistik 2012).
Mekanisme
penetapan upah Indonesia saat ini rawan konflik karena bisa digugat oleh
mereka yang dirugikan dan bisa ditunda pembayarannya. Sepanjang sistem tidak
diubah, pergolakan upah akan terus terjadi. Sudah saatnya ada sistem
pengupahan yang lebih adil, rendah konflik, dam mendorong keberlanjutan usaha
dan pekerjaan.
Di
negara-negara industri, konflik hubungan industrial akibat upah minimum
dianggap aneh. Mereka telah menyelesaikan masalah ini saat memasuki negara
industri.
Upah
minimum sebaiknya hanya untuk usaha kecil dengan definisi yang tidak hanya
berdasarkan jumlah buruh, tetapi juga jumlah modal, pasar, dan lainnya. Ini
untuk mencegah kecurangan pebisnis merestrukturisasi perusahaan dari skala
besar menjadi skala usaha kecil. Upah layak diharuskan untuk perusahaan
menengah dan besar, tetapi penetapannya lewat perundingan bipartit di setiap
perusahaan.
Selanjutnya
untuk menghindari kerumitan dan politisasi penetapan upah baru, yang pertama
perlu diganti adalah empat indikator dasar penetapan upah selama ini:
pendapatan per kapita, upah antardaerah, kemampuan perusahaan, dan biaya
hidup buruh. Tidak mungkin menetapkan upah yang adil jika indikatornya
”sesuai dengan kemampuan perusahaan versus kebutuhan hidup buruh”. Akibatnya,
keputusan upah tidak pernah memuaskan kedua belah pihak.
Indikator
lama ini juga berbahaya karena dengan alasan mempertimbangkan kemampuan
perusahaan, Indonesia seolah memberikan ruang kepada perusahaan memberi upah
rendah. Perusahaan yang bisa bertahan karena membayar upah tidak layak (di
bawah upah minimum) sebaiknya ditutup saja, sekaligus memutus sistem
eksploitasi. ●
|
Kenapa UMP itu tidak dapat dilaksanakan oleh seluruh perusahaan yg ada di Banda Aceh misalnya?
BalasHapusKenapa perusahaan-perusahaan kecil tidak mampu memlaksanakan ketentuan tersebut?
faktor & kendalanya apa y?
penyelesaiannya seperti apa y...?