Kemacetan
Jakarta
dan Penyebaran
Aktivitas Ekonomi
Teddy Lesmana ; Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2012
JAKARTA sebagai ibu kota negara telah lama
diliputi berbagai persoalan akut yang sangat menyesakkan dan melelahkan.
Salah satunya ialah permasalahan kemacetan lalu lintas yang sudah menjadi
permasalahan yang akut. Bahkan, Jakarta diprediksi akan mengalami kemacetan
total pada 2014.
Sementara itu, rencana pembangunan mass rapid
transit (MRT) yang belakangan ini mengemuka kembali pun belum menemukan kata
final. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan pelaksanaan
pembangunan MRT tersebut. Sekiranya pemerintah DKI akan membangun sistem MRT,
prakondisi apa yang perlu dipenuhi dan bagaimana seharusnya arah ke depan
pembangunan pusat aktivitas ekonomi di Jakarta dan sekitarnya?
Sebenarnya dalam hal pengembangan dan
perbaikan angkutan massal, Jakarta bisa dikatakan sudah sangat terlambat.
Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura membangun
infrastruktur pendukung MRT jauh sebelum populasi kendaraan bermotor
berkembang pesat (Kuranami et al, 2000).
Untuk mengatasi persoalan kemacetan, setidaknya
secara konseptual ada tiga kategori langkah yang bisa diambil. Pertama,
langkah yang terkait dengan sisi penawaran fasilitas transportasi (misalnya
dengan meningkatkan kapasitas atau daya tampung sarana transportasi). Kedua,
langkah yang diarahkan untuk mengelola sisi permintaan terkait dengan upaya
untuk mendorong penggunaan fasilitas transportasi secara efisien. Ketiga,
membangun struktur perkotaan yang kondusif bagi penyebaran aktivitas ekonomi
dan perbaikan integrasi fi sik antara lokasi kerja, fasilitas umum, dan
perumahan.
Dalam membangun MRT, umumnya ketika suatu kota
di beberapa negara seperti di Jepang, Korea Selatan, dan Singapura ingin
membangun sistem transportasi publik, itu didahului kebijakan manajemen dan
insentif terhadap sisi permintaan berlalu lintas sebagai bagian dari strategi
pembangunan sistem transportasi publik. Di Seoul dan Singapura misalnya, pada
tahap awal pembangunan infrastruktur MRT mereka membatasi pertumbuhan
kendaraan pribadi dan insentif untuk mengendalikan kepemilikan kendaraan
pribadi sebelum rasionya mencapai 70 mobil per 1.000 penduduk.
Aturan Tegas
Singapura baru membuka sistem transportasi MRT
pada 1987 setelah 15 tahun sebelumnya memberlakukan kebijakan pembatasan
kendaraan pribadi. Dalam tahapan selan jutnya Singapura melakukan pendekatan
carrot and stick untuk mengintegrasikan dan menyeimbangkan pengembangan
sarana transportasi umum. Hal itu dilakukan de ngan pemberlakuan sistem kuota
kendaraan (vehicle quota system) dan berbagai pajak yang dikenakan dalam kepemilikan
kendaraan pribadi, termasuk pemberlakuan skema pemajakan atas kemacetan.
Dana yang diperoleh dari berbagai pajak
tersebut kemudian digunakan untuk tahap pembangunan awal sistem MRT. Hal yang
serupa juga dilakukan di Seoul, Korea Selatan. Di Jepang, strategi ekonomi
nasional pascaperang yang menekankan pembatasan konsumsi dan pemaksimalan
investasi dan ekspor secara tak langsung membatasi penggunaan kendaraan
bermotor di tengah pesatnya industrialisasi dan naiknya tingkat pendapatan.
Di samping itu, pengaturan parkir yang sangat ketat dan sempitnya jalan raya
di Tokyo memberikan disinsentif penggunaan kendaraan pribadi.
Selain persoalan sistem transportasi, ada
baiknya kita melihat apa yang dilakukan Jaimie Lerner, Wali Kota Curitiba,
Negara Bagian Parana di Brasil, yang berhasil menjadikan wilayahnya menjadi
kota ramah lingkungan, sejahtera, dan menjadi laboratorium hidup kota yang
ideal.
Sebagaimana lazimnya negara berkembang,
keberhasilan mekanisasi pertanian menjadikan arus urbanisasi sangat deras ke
daerah perkotaan. Pesatnya urbanisasi tersebut tentu membutuhkan banyak
prasarana seperti perubahan, transportasi, dan aktivitas ekonomi perkotaan.
Termasuk dengan apa yang terjadi di Curitiba dan beberapa kota besar lainnya
di Brasil.
Untuk menyikapi semakin berkembangnya kota,
Jaimie Lerner berupaya untuk mengharmonisasikan desakan arus urbanisasi
tersebut dengan konsep pembangunan yang inklusif.
Berbeda dengan tipologi pengembangan kota–kota
yang pada umumnya konsentris dengan semua pusat bisnis dan pemerintahan
terpusat di satu titik, Curitiba justru dikembangkan menyebar sehingga pusat
bisnis dan pemerintahan tidak hanya terfokus kepada satu wilayah. Pusat-pusat
bisnis dikembangkan merata ke berbagai wilayah dan dihubungkan dengan jalur
transportasi umum.
Ada tiga filosofi dasar yang dianut dalam
pengelolaan Kota Curitiba yang dijalankan secara progresif. Pertama,
pembangunan kota yang memberikan preferensi kepada pengembangan angkutan umum
ketimbang penggunaan kendaraan pribadi. Kedua, membangun selaras dengan
lingkungan; dan ketiga, penerapan teknologi tepat guna dan inovasi dalam
memecahkan masalah perkotaan dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan
kota. Ketiga visi itu kemudian dilembagakan dan akhirnya diadopsi oleh Jaimie
Lerner yang menjadi Wali Kota Curitiba pada 1971 (Rabinovitch dan Leitman,
1996).
Oleh karenanya untuk membenahi persoalan
kemacetan di Jakarta, perlu dilakukan upaya yang simultan tidak saja yang
terkait dengan penyiapan prakondisi pembangunan sistem transportasi massal,
tetapi juga upaya penyebaran pusatpusat kegiatan ekonomi ke berbagai
wilayah.
Mewujudkan itu tentunya bukan hanya merupakan
tugas dan beban Pemerintah DKI Jakarta, melainkan juga diperlukan peran
pemerintah pusat dan koordinasi dengan pemerintah daerah lain yang berbatasan
langsung dengan Jakarta.
Kebijakan subsidi BBM dan
kurang dikendalikannya laju pertumbuhan kendaraan pribadi juga harus dibenahi
jika Indonesia, khususnya di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, ingin
membangun MRT. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar