Keragaman di
Negeri Syahdan
Candra Malik ; Sufi
|
KORAN
TEMPO, 29 Desember 2012
Atas nama agama, bahkan
atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air comberan,
dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa rasul yang
mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti itu.
Inilah negeri syahdan.
Nyaris segala sesuatu dibicarakan atas nama konon. Dari satu mulut ke satu
telinga, berbisik-bisik, bicara di belakang punggung, demikian seterusnya,
sampai jadilah sebuah pohon cerita yang akarnya sangat kuat, batangnya
tangguh, cabang-cabangnya melebar ke mana-mana, dan jangan lagi bertanya
bagaimana reranting kisah itu. Semakin jauh kabar ini diceritakan, semakin
terperinci dia. Dan buah-buah dari pohon dongeng ini menjadi rebutan.
Sebagian dipatuk oleh burung-burung dan diterbangkan semakin jauh lagi dan
jadilah kabar burung berikutnya. Jadilah cerita-cerita baru yang semula tidak
ada.
Tapi tidak ada yang suka
disebut menyebar rumor. Itu fitnah! Jika kau mulai menuduh mereka sebagai
biang gosip, bersiap-siaplah dihujani dalil-dalil. Ya, negeri ini juga negeri
dalil. Asalkan ada dalilnya, sesuatu dianggap sah, halal, berpahala, dan surgalah
balasannya. Jika perilaku beragama diklasifikasikan menjadi tiga--yaitu
beragama ala pencinta, beragama ala pedagang, dan beragama ala penagih--maka
warga negeri ini lebih condong untuk beragama tidak dengan klasifikasi yang
pertama. Cinta menjadi merek yang kurang menjual, sekaligus tidak bisa
dipakai untuk menagih apa pun. Cinta cepat basi berhadapan dengan masyarakat
negeri ini yang angin-anginan. Cinta tidak menarik untuk dilabeli halal.
Justru jika dianggap melanggar aturan main. Penguasa negeri ini bisa-bisa
akan mengadili cinta dan memfatwakan haram terhadapnya.
Beragama ala pedagang
selalu berorientasi pada hitung-hitungan laba dan rugi. Jika berbuat ini,
maka akan mendapat itu. Jika bersedekah, maka akan beroleh hadiah. Pemuka
agama bersalin rupa menjadi makelar surga. Dalil-dalil tentang pahala
disodorkan dalam setiap kesempatan. Entah mereka tidak paham, atau memang
itulah yang mereka pahami, berlomba-lomba dalam kebaikan dipahami sebagai
berlomba-lomba menumpuk pahala menjadi anak-anak tangga menembus langit
sampai ke pintu surga. Semakin tinggi anak tangga yang mereka pijak, semakin
kecil segala sesuatu yang tampak jika mereka menoleh ke belakang--dan ke
bawah. Mereka semakin lupa diri dan lalai menginjak bumi.
Tuhan tidak pernah
berdusta ketika Dia berfirman bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan
yang berlipat ganda. Kita saja yang tidak memahaminya secara jernih bahwa
balasan kebaikan dari Tuhan itu adalah hadiah, imbalan, anugerah, karunia,
atau apa pun namanya yang suka-suka Dia. Usia memang hanya berlaku untuk raga
sehingga wajar saja jika banyak di antara kita yang berjiwa kekanak-kanakan
meski raga sudah menua. Kita masih beragama dengan metode lolipop: mau
disuruh ini-itu asalkan diberi permen atau uang jajan. Kita tidak mau menerima
teori bahwa pada akhirnya bukan kebaikan dan pahala yang membawa kita sampai
ke surga, melainkan keridhaan Tuhan.
Beragama ala penagih tidak
lebih baik rasanya. Kita dipaksa-paksa untuk bersyukur atas apa yang kita
terima, alami, rasakan, dan nikmati. Tidak cukup dengan bersyukur saja, kita
juga dituntut untuk memberi lebih--padahal nyatanya tak ada dalil apa pun
yang menyebut bahwa Tuhan meminta sesuatu dari hambanya, apalagi meminta
balasan. Sedekah pun, bukankah untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan?
Satu-satunya yang sampai kepada Tuhan, atau yang dihaturkan kepada-Nya,
adalah ketakwaan. Bukan materi duniawi dalam bentuk apa pun. Karena itu,
terasa janggal jika pemuka agama menunjukkan seribu wajah. Sangat nyaman
dipandang ketika berurusan atas nama pahala dan surga, mendadak lebih bengis
dari preman pasar ketika berganti topik menjadi soal dosa dan neraka.
Negeri ini semakin
mengkhawatirkan ketika anak-anak di taman bermain dan sekolah dasar dididik
untuk sekadar menghafal ayat-ayat. Apalagi ayat-ayat yang dihafalkan itu
dikemas sedemikian rupa menjadi yel-yel yang menakutkan, semacam cinta mati
pada agama tertentu. Cinta mati memang klise, nyaris selalu begitu dalam
kisah-kisah asmara. Namun, apakah sudah waktunya anak-anak belajar memahami itu,
apalagi jika cinta mati itu diajarkan dengan menghidupkan benci kepada
pemeluk agama lain? Mencemaskan betapa anak-anak diajari untuk beranggapan
bahwa perbedaan adalah suatu ancaman. Menyedihkan betapa anak-anak dicetak
menjadi sosok-sosok fundamentalis justru oleh sekolah melalui ajaran tentang
kekerasan dan ancaman kekerasan atas nama agama. Mereka seharusnya bermain
secara alami dan tanpa prasangka kepada siapa pun temannya, bukan justru
dipisah-pisahkan dalam penjara-penjara curiga dan dibeda-bedakan berdasarkan
siapa Tuhannya.
Kita menyebut nama Tuhan
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak dengan kasih dan sayang. Sebagian
dari kita justru menyebut nama Tuhan dengan membawa-bawa pentungan dan
memukul. Memecahi kaca, mendobrak pintu dan jendela, membakar, memaksakan
kehendak, dan--semakin sering pula kita dengar--menyiksa, bahkan membunuh.
Mereka meneriak-neriakkan Tuhan Maha Besar, namun justru amarah dan kemurkaan
merekalah yang membesar sampai tak lagi terkendali. Atas nama agama, bahkan
atas nama Tuhan, mereka melempari pemeluk agama lain dengan telur busuk, air
comberan, dan air kencing. Entah agama apa yang mereka anut, entah siapa
rasul yang mengajarkan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan seperti
itu. Ironisnya, istana negeri ini adalah istana yang sepi dan pendiam
terhadap isu-isu seperti itu. Entah tuli, entah tidak peduli.
Tuhan sesungguhnya maha
baik. Dia menciptakan manusia dengan anugerah akal dan hati. Akal untuk
berpikir sehat, hati untuk berperasaan kuat. Jika sehat dan kuat menyatu,
manusia bisa bermanfaat bagi kemanusiaan. Alangkah sangat baik Tuhan, yang
tidak hanya mengkaruniai manusia dengan akal dan hati, namun juga menurunkan
para rasul untuk menebarkan cinta kasih. Mereka membawa agama yang
mengajarkan cinta kasih itu. Jika akal adalah pangkal pikiran sehat, hati
adalah pangkal perasaan kuat, maka agama adalah pangkal perilaku baik. Jika
pikiranmu sehat, perasaanmu kuat, dan perilakumu baik, orang lain tidak akan
bertanya apa agama kita dan bagaimana kita beragama. Kita telah menjelma
sebagai agama itu sendiri, yaitu pembawa cinta kasih bagi manusia dan
kemanusiaan.
Tapi, bagaimanapun, negeri
ini adalah negeri simbol. Masyarakat lebih mementingkan kerja lidah daripada
kerja iman. Sampai-sampai, mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama
lain pun menjadi pokok bahasan berhari-hari setiap tahun dan dikhawatirkan
menggerus iman dalam tempo cepat. Sesiapa yang memakai simbol tertentu, ia
segera dianggap sebagai perwujudan sejati dari karakter simbol itu. Tak
mengherankan jika lambang palang merah pun harus diributkan untuk diganti,
karena dianggap menonjolkan simbol agama tertentu sehingga menjadi ancaman
bagi agama lain. Dikhawatirkan, jika lambangnya masih itu, aktivitas
kemanusiaan di dalamnya akan disusupi penyebaran ajaran agama yang tampak
dari simbol itu.
Negeri ini juga negeri rahasia umum.
Hal-hal yang bersifat domestik dibawa ke ranah publik, dibicarakan secara
tidak sopan dan sok tahu, seolah-olah setiap orang pernah mengalami dan
merasakannya sehingga mengenal dan mengerti betul pangkal persoalannya dan
berhak untuk ikut campur. Masyarakatnya latah: sahut-menyahut menjadi satu,
itulah negeri ini. Kepulauan dan samudra yang memisahkan tidak lagi menjadi
penghalang untuk membahas tema-tema hangat, mulai dari urusan rumah tangga
orang lain sampai agama orang lain. Status kawin dalam kartu tanda penduduk
seolah-olah harus diperjelas: kawin dengan siapa, istri nomor berapa, siri
atau sah menurut negara? Status agama dalam kartu tanda penduduk pun harus
dipertegas: liberal atau anti-liberal? Inilah negeri kita, dan kita
menghabiskan sangat banyak energi untuk omong-kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar