Ancaman
Obesitas Ekonomi
FX Sugiyanto ; Kepala Pusat
Penelitian Kajian Pembangunan,
Guru
Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip
|
SUARA
MERDEKA, 29 Desember 2012
KINERJA ekonomi
Indonesia 2012 tidak lebih stabil dibanding tahun 2011, sementara tahun 2013
bahkan diprediksi mengalami ”obesitas”. Walau ekonomi Indonesia diperkirakan
tumbuh sekitar 6,3%, tidak jauh berbeda dari 2012 dengan angka 6,29 %,
ekonomi kita tetap rentan terhadap berbagai pemicu yang dapat mendorong
goncangan-goncangan ketidakstabilan.
Berbagai paradoks
masih akan terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih tergolong cukup tinggi, tetapi
kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat dan antarwilayah juga cukup
tinggi. Inflasi cenderung meningkat karena didorong peningkatan harga
energi; listrik dan BBM, ancaman PHK karena peningkatan upah yang akan makin
kuat, sementara peningkatan efisiensi sangat lambat.
Tahun 2012 ekonomi
Indonesia diperkirakan tumbuh lebih rendah dibanding tahun 2011. Sampai
triwulan 3 tahun 2012, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6,29%, lebih rendah
dari 2011 sebesar 6,46 %. Pola pertumbuhannya pun tak banyak berubah,
konsumsi rumah tangga sedikit menurun dari 55,61% tahun 2011 menjadi 54,96%
tahun 2012, sementara investasi sedikit naik dari 24,45% tahun 2011 menjadi 24,93%
tahun 2012.
Komposisi ekspor
bersih 2011 tercatat 11,29% dan menurun pada 2012 karena sampai triwulan 3
baru 7,45%. Ekspor kita lebih banyak komoditas tradisional seperti tekstil,
minyak sawit, dan karet olahan pada industri manufaktur, dan batu bara yang
menjadi primadona untuk komoditas pertambangan. Walaupun bukan hal
baru, harus dicatat ekspor kita terancam tidak sustainable dalam jangka
panjang.
Berbagai indikator
makro, fenomena internasional, dan agenda fiskal menjadikan ekonomi Indonesia
2013 rentan dan tidak sehat. Memang berbagai lembaga internasional
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 lebih tinggi dari 2012. Bank
Dunia memperkirakan pertumbuhan bisa 6,5%, IMF memperkirakan 6,3%. Tetapi
perkiraan pertumbuhan yang lebih tinggi itu tidak secara otomatis
meniadakan berbagai kerentanan.
Pertama; kemunculan
ancaman peningkatan inflasi. Pada Januari 2013, PLN berencana menaikkan tarif
dasar listrik, sementara harga minyak internasional sampai November 2012
sudah melewati 106 dolar AS per barel. Dua jenis komoditas energi ini selalu
menjadi pemicu inflasi jika harganya dinaikkan. Opsi perlakuan terhadap dua
komoditas itu pun terbatas; menambah subsidi atau menaikkan harga,
bermuara sama, yakni kelesuan ekonomi walau berbeda jalur.
Menaikkan
harga BBM adalah opsi yang selalu mengundang kontroversi dan respons yang
cenderung politis, yang mungkin dihindari oleh partai politik menjelang
Pemilu 2014. Sementara menambah subsidi, selain mengurangi kemampuan
menciptakan kapasitas produktif juga bisa meningkatkan rasio defisit, yang
juga meningkatkan risiko jangka panjang perekonomian. Fenomena Yunani adalah
contoh konkret akibat beban defisit fiskal.
Ditambah situasi
eksternal berupa cenderung kemelemahan rupiah pada akhir 2012, dan peningkatan
konsumsi pemerintah untuk agenda Pemilu 2014, inflasi 2013 akan lebih tinggi,
kecuali otoritas moneter mampu mengendalikan jumlah uang beredar. Bank
Indonesia tentu harus berpikir untuk menurunkan suku bunga industri perbankan
jika kebijakan-kebijakan yang cenderung mendorong inflasi dari sisi
penawaran tersebut dilakukan pada 2013. Ruang ini relatif terbuka karena
industri perbankan saat ini sudah makin efisien.
Langkah
Penghematan
Kedua; kenaikan
upah dan ancaman PHK. Kenaikan upah, selain akan mendorong inflasi juga bisa
menjadi pemicu, setidak-tidaknya alasan bagi pengusaha untuk mem-PHK tenaga
kerja. Ancaman Apindo mem-PHK sekitar 1 juta naker tahun depan jika kenaikan
upah diberlakukan, terutama pada industri tekstil, tidak bisa dianggap angin
lalu. Industri tekstil tergolong industri padat karya, dan tentu paling
terkena dampak dari kebijakan kenaikan upah.
Tetapi apakah cukup
bijak menunda kenaikan upah buruh yang jika dibanding kebutuhan hidup layak
mereka, sesungguhnya kenaikan tersebut tidak serta merta menjadikan buruh
bermewah-mewah? Tentu harus ada jalan ketiga yang bisa dilakukan, yakni
memangkas berbagai pengeluaran yang seharusnya tidak dibayarkan oleh
perusahaan dalam kaitan operasional.
Secara rata-rata,
berdasar statistik Industri yang dipublikasikan BPS, masih ada sekitar 10-15%
pengeluaran yang bisa dihemat oleh sektor industri. Ruang inilah yang
seharusnya dimanfaatkan. Tingginya pengeluaran industri yang tidak terkait
dengan operasional, merupakan indikasi lain masih tingginya berbagai pungutan
tidak resmi.
Ketiga; mempercepat
peningkatan efisiensi. Kelambatan penurunan incremental capital output ratio
(ICOR), yang berarti ada kelambatan peningkatan efisiensi, sesungguhnya mencerminkan
tidak fleksibel dan pemborosan sistem produksi, serta distribusi barang
dan jasa. Peningkatan efisiensi, menunjukkan peningkatan produktivitas
perekonomian, baik pada produksi, distribusi, maupun pelayanan, tentu juga
penghematan biaya.
Tingkat korupsi
yang masih sangat tinggi adalah gambaran masih borosnya perekonomian kita.
Pada Desember ini Transparansi Internasional menempatkan Indonesia pada
urutan ke-118 dengan skor 32 dari 100, dari 176 negara yang disurvei. Jadi,
langkah-langkah strategis tersebut memang harus dilakukan agar ekonomi Indonesia
2013 tidak mengalami obesitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar