Kemitraan
Polri-KPK Penuh Liku
Ferry Santoso ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
31 Desember 2012
Tahap kedua (2010-2014)
dalam strategi besar Polri 2005-2025 menuju Kepolisian Negara RI yang
mandiri, profesional, dan dipercaya masyarakat adalah membangun kemitraan
(partnership building). Polri ditantang untuk dapat membangun kerja sama
dengan berbagai pihak dalam penegakan hukum dan menjaga keamanan.
Saat
ini, upaya Polri membangun kemitraan benar-benar diuji. Bagaimana Polri
membangun kemitraan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi, seperti
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung?
Terkait
kasus-kasus konflik sosial, bagaimana pula jajaran Polri menjalin komunikasi
dan membangun relasi dengan jajaran pemerintah daerah dan masyarakat lokal,
seperti tokoh masyarakat atau berbagai kelompok rentan, sebagai upaya
mendeteksi dan mencegah potensi gangguan keamanan?
Dalam
lima bulan terakhir, publik dipertontonkan bagaimana kemitraan atau hubungan
antara Polri dan KPK yang terkesan kurang harmonis. Relasi Polri dan KPK
dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ibarat jalan
panjang yang berliku-liku dan terjal.
Ada
”sengketa” kewenangan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi
mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Ada ”drama” upaya
penangkapan terhadap penyidik KPK Komisaris Novel Baswedan yang diduga
melakukan tindak penganiayaan. Juga ada ”penarikan” penyidik Polri yang
bertugas di KPK.
Energi
anak bangsa seperti terkuras untuk menyelesaikan hubungan Polri dan KPK yang
disharmonis. Setelah terkatung- katung lebih dari dua bulan, akhirnya, orang
nomor satu di negeri ini pun angkat bicara.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya tegas memerintahkan Polri untuk menyerahkan
sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps
Lalu Lintas Polri kepada KPK (Kompas, 9/10).
Sangat
disayangkan, lembaga besar, seperti KPK dan Polri, harus ”perang dingin”
dalam menangani suatu kasus dugaan korupsi. Padahal, seharusnya lembaga
penegak hukum, seperti KPK, Polri, termasuk Kejaksaan Agung, bergandengan
Mengapa
institusi penegak hukum, seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung, perlu
bersinergi menindak kejahatan atau tindak pidana korupsi? Korupsi ibarat
penyakit kanker yang menggerogoti kekebalan tubuh secara pelan-pelan yang
dapat bermuara pada kematian. Korupsi jelas menggerogoti suatu bangsa
sehingga nasib bangsa dapat menjadi babak belur.
Dalam
laporan Transparency International (TI) 2012 disebutkan, dengan melihat
indeks persepsi korupsi (corruption perceptions index/CPI) 2012, jelas bahwa
korupsi merupakan ancaman terhadap kemanusiaan.
Korupsi
menghancurkan kehidupan manusia serta merusak negara dan institusi. Korupsi
juga dapat membangkitkan kemarahan masyarakat yang berpotensi mengancam
stabilitas dan menambah konflik kekerasan.
Dari
178 negara yang disurvei TI pada 2012, terungkap bahwa dua pertiga dari
jumlah negara (178 negara) yang disurvei itu memiliki skor di bawah 50.
Fakta
bahwa dua pertiga
Pada
2011, Indonesia masuk urutan ke-100 dengan skor 3,0. Pada survei 2011, skor
yang ditentukan adalah 0 (highly
corrupt) sampai 10 (very clean).
Dengan angka itu, Indonesia sebenarnya dapat dinilai ”mundur” dalam upaya
pemberantasan korupsi.
Indonesia
berada di bawah negara-negara seperti Timor Leste, Nigeria, dan Guatemala
dengan masing-masing skor 113, Filipina dengan skor 105, dan Malaysia dengan
skor 54.
Lalu,
bagaimana Polri sebagai institusi penegak hukum yang besar di negeri ini
dapat berkontribusi lebih besar dalam memberantas korupsi? Selain tetap harus
bermitra dengan lembaga penegak hukum lain, Polri tentu perlu menunjukkan
aksi-aksi yang konkret dalam pemberantasan korupsi.
Aksi-aksi
konkret itu tentu
Wakil
Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna mengungkapkan, Polri sudah
lama mengampanyekan gerakan antikorupsi. Anggota Polri diwajibkan menggunakan
pin yang bertuliskan ”Pelayanan Prima, Anti KKN dan Kekerasan” di dada.
Bahkan,
Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo telah mengeluarkan ”maklumat”
tentang pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam maklumat itu,
antara lain disebutkan semua anggota Polri dalam kapasitas sebagai bawahan
harus berani secara etis mengingatkan, mencegah, dan menolak perintah atasan
yang bernuansa KKN.
Selain
itu, semua pimpinan Polri di semua level juga wajib menunjukkan tampilan
anti-KKN dan memberikan teladan, bersifat melayani, berperan sebagai
konsultan dan penjamin kualitas (quality assurance).
Aksi
konkret lain yang perlu ditunjukkan kepada publik, antara lain, kinerja Polri
dalam menindak kejahatan korupsi dan menjerat tersangka dari berbagai
kalangan, seperti pejabat daerah, pejabat kementerian, atau lembaga negara.
Akan tetapi, dalam satu tahun terakhir, yaitu 2012, belum terlihat penanganan
kasus dugaan korupsi besar oleh Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan
Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang patut dibanggakan.
Sebagai
contoh, penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di
Kementerian Kesehatan dengan tersangka mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah.
Penanganan kasus itu terkesan berjalan di tempat.
Sebelumnya,
Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Sutarman pernah mengungkapkan,
Fadilah menjadi tersangka perkara korupsi pengadaan alat kesehatan pada 2005
dengan
Jika
Polri berkomitmen memberantas korupsi, prestasi besar seharusnya juga dapat
Bahkan,
Polri dapat menyampaikan perkembangan penanganan kasus tersebut secara
konsisten kepada masyarakat melalui peran media massa. Sutarman
mengungkapkan, Bareskrim Polri, termasuk polda, sebenarnya banyak mengusut
Sebagai
gambaran, menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Agus
Rianto, pada 2012, Polri telah menerima laporan terkait dugaan tindak pidana
korupsi sebanyak 1.023 kasus. Dari jumlah itu, sebanyak 542 kasus sudah
disidik.
Berkas
penyidikan yang
Dari
kasus dugaan korupsi yang sudah ditangani itu, ungkap Agus, potensi kerugian
negara mencapai Rp 1,5 triliun. Barang bukti yang dikembalikan mencapai Rp
211 miliar.
Meski
cukup banyak penanganan kasus korupsi oleh Polri, berbagai kalangan tetap
meragukan kinerja Polri dalam penanganan kasus korupsi. Anggota Badan Pekerja
Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai, Polri belum memiliki
kemauan yang kuat dalam penindakan kasus korupsi, terutama yang sarat
Karena
itu, para penegak
Dalam
suatu acara sarasehan budaya, Wakil Jaksa Agung
Tenaga
itu adalah lembaga penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, maupun KPK. Namun,
tenaga besar saja tidak cukup menangani masalah korupsi. ”Tanpa kemauan,
tenaga yang besar tak ada artinya,” tuturnya.
Dengan
langkah konkret dalam mengusut kasus-kasus dugaan korupsi, diharapkan Polri
semakin mendapat kepercayaan dari masyarakat, seperti yang dicanangkan dalam
tahap pertama (2005-2009) grand strategy Polri, yaitu membangun kepercayaan
masyarakat (trust building). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar