Menguji
Kualitas Parpol
A Musthofa Asrori ; Peneliti di Ciganjur Centre
|
SUARA
KARYA, 18 Desember 2012
Dampak putusan Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan semua partai politik, termasuk partai parlemen, harus
menjalani verifikasi ternyata sungguh luar biasa. Lihat saja dari sekian
banyak partai yang mendaftar di KPU hanya 36 yang lolos verifikasi tahap
awal. Kemudian, menyusut 16 parpol yang berhak melaju ke babak berikutnya
lantaran lolos verifikasi administratif. Putusan MK ini pada titik tertentu
menjelma alat uji emisi mesin parpol.
Dengan putusan ini, parpol
sebetulnya mendapatkan momentum untuk mengevaluasi basis konstituen dan ajang
menyusun strategi baru nan jitu dalam pemenangan pemilu. Para legislator juga
bisa menyapa konstituen. Karenanya, tidak rugi bila parpol lolos parlemen mengikuti
verifikasi ulang. Dengan verifikasi ulang, eksistensi dan kualitas parpol
teruji.
Selain parpol, kredibilitas KPU
selaku penyelenggara pemilu juga diuji. Pasalnya, selama ini KPU dinilai
lemah dan kurang tegas dalam verifikasi parpol. Pada Pemilu 2009, disinyalir
terdapat sebagian partai yang diloloskan meski berkasnya belum lengkap. Nah,
momentum ini mestinya dijadikan KPU untuk berbenah. Di masa mendatang,
kinerja dan integritas KPU akan dinilai publik melalui proses verifikasi
parpol. Keharusan verifikasi bagi seluruh parpol menciptakan keadilan dalam
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kontestasi tentu lebih sehat dan
berimbang lantaran semua parpol memiliki kewajiban yang sama. Meski terkesan
mubazir, namun kebijakan ini rasanya cukup fair. Publik patut memberikan
apresiasi tinggi kepada MK yang telah berani menembus batas kenyamanan
parpol.
Jika ditelisik lebih mendalam,
sejatinya kewajiban verifikasi ulang ini justru menguntungkan parpol besar,
karena parpol bisa melakukan fore play menjelang kontestasi pemilu atas
lahirnya putusan tersebut. Parpol juga memiliki kesempatan menyempurnakan
database anggota dan kader.
Sebagaimana diberitakan, MK
mengabulkan uji materi terhadap Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 208
UU No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang diajukan
koalisi partai gurem. Bunyi pasal 8 ayat (1): "Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari
jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta
Pemilu pada Pemilu berikutnya." Dengan dikabulkannya uji materi pasal
tersebut, parpol yang lolos pada Pemilu 2009 otomatis batal ditetapkan
sebagai peserta Pemilu 2014.
Dengan demikian, amat logis jika
dalam amar putusannya MK mewajibkan seluruh parpol yang memiliki kursi di DPR
dan yang tidak untuk mengikuti verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU
jika ingin turut serta meramaikan pesta demokrasi 2014. Sudah tentu, putusan
'berani' MK ini menjadi tantangan tersendiri baik bagi parpol maupun
penyelenggara pemilu, yang sudah sangat dekat.
Selain itu, MK juga membatalkan
ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5 persen untuk
tingkat nasional sebagaimana diatur dalam pasal 208. Pascaputusan, PT
akhirnya hanya berlaku untuk pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota. Alasannya, PT sebesar 3,5 persen tingkat nasional merenggut
kedaulatan rakyat daerah. Sudah tentu, hal ini bertentangan dengan
konstitusi. Bagi MK, penyederhanaan partai secara alamiah berdasarkan pilihan
rakyat. Ini tentu lebih demokratis.
Sebagai salah satu pilar
demokrasi, parpol kini didera persoalan serius. Ba-nyak kader parpol
tersandera korupsi, menurunkan kualitas parpol. Pelajaran penting yang bisa
dipetik dari putusan MK tempo hari adalah hanya parpol berkualitas yang bisa
mengikuti pemilu. Salah satu parameternya, banyaknya rakyat yang bergabung.
Namun, jika parpol tak berkualitas
dan well organized, dapat dipastikan bakal repot mendulang suara lebih
banyak. Kualitas dalam hal ini adalah tentang data administrasi dan
kesesuaian dengan data yang ada. Belum lagi terkait dengan sumber daya
manusia. Apalagi muncul partai baru yang siap mencuri hati floating mass.
Pada titik ini, partai tengah patut waspada! Survei Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) membuktikan, elektabilitas empat parpol berbasis
massa Islam belum melampaui ambang batas parlemen 3,5 persen: PPP (3 persen),
PKB (2,8 persen), PKS (2,2 persen), dan PAN (2 persen).
Sejarah mencatat, perolehan suara
partai Islam secara kolektif relatif naik turun. Jika pada pemilu 1955 (era
Orde Lama) partai Islam meraup 45,13 persen suara, maka perolehan suara
partai Islam pada Pemilu 1971 (era Orde Baru) turun menjadi 27,11 persen.
Sementara pada Pemilu 1999 (era Reformasi) partai Islam memperoleh suara 37
persen. Dukungan kemudian naik di Pemilu 2004 (38,1 persen) meski setelah itu
turun drastis di Pemilu 2009 (23,1 persen).
Tren penurunan dukungan juga
dialami Partai Demokrat (PD), yang 'terjun bebas' lantaran pemberitaan
korupsi para kadernya. Dukungan 21 persen pada Pemilu 2009 dan adanya
penurunan saat ini menjadi 11,1 persen merupakan indikasi raibnya kepercayaan
publik terhadap PD. Kenaikan paling signifikan diperoleh Partai Golkar (18
persen). Sementara PDI-P mendulang dukungan sebesar 11,6 persen. Menarik,
Nasdem sebagai pendatang baru justru menunjukkan potensi elektoral lumayan
lantaran mampu menyaingi partai tengah.
Terlepas dari skeptisisme publik
terhadap parpol yang sering dikonotasikan negatif lantaran oknum anggotanya,
agaknya parpol masih paling logis demi sustainabilitas hidup berdemokrasi.
Semua sepakat bahwa kekuasaan yang diraih melalui partai rentan dikorupsi.
Walau tak sempurna, kehadiran parpol sebagai salah satu pilar tegaknya
bangunan demokrasi tak bisa dipandang sebelah mata.
Jika ingin kualitas terjaga, tiada
pilihan parpol harus berbenah, verifikasi ulang jadikan sebagai wahana
introspeksi diri. Yakinlah, hanya parpol berkualitas saja yang bisa lolos
'audisi' dan mampu bersaing dalam Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar