Selasa, 18 Desember 2012

Menguji Kualitas Parpol


Menguji Kualitas Parpol
A Musthofa Asrori ;  Peneliti di Ciganjur Centre
SUARA KARYA, 18 Desember 2012


Dampak putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan semua partai politik, termasuk partai parlemen, harus menjalani verifikasi ternyata sungguh luar biasa. Lihat saja dari sekian banyak partai yang mendaftar di KPU hanya 36 yang lolos verifikasi tahap awal. Kemudian, menyusut 16 parpol yang berhak melaju ke babak berikutnya lantaran lolos verifikasi administratif. Putusan MK ini pada titik tertentu menjelma alat uji emisi mesin parpol.
Dengan putusan ini, parpol sebetulnya mendapatkan momentum untuk mengevaluasi basis konstituen dan ajang menyusun strategi baru nan jitu dalam pemenangan pemilu. Para legislator juga bisa menyapa konstituen. Karenanya, tidak rugi bila parpol lolos parlemen mengikuti verifikasi ulang. Dengan verifikasi ulang, eksistensi dan kualitas parpol teruji.
Selain parpol, kredibilitas KPU selaku penyelenggara pemilu juga diuji. Pasalnya, selama ini KPU dinilai lemah dan kurang tegas dalam verifikasi parpol. Pada Pemilu 2009, disinyalir terdapat sebagian partai yang diloloskan meski berkasnya belum lengkap. Nah, momentum ini mestinya dijadikan KPU untuk berbenah. Di masa mendatang, kinerja dan integritas KPU akan dinilai publik melalui proses verifikasi parpol. Keharusan verifikasi bagi seluruh parpol menciptakan keadilan dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kontestasi tentu lebih sehat dan berimbang lantaran semua parpol memiliki kewajiban yang sama. Meski terkesan mubazir, namun kebijakan ini rasanya cukup fair. Publik patut memberikan apresiasi tinggi kepada MK yang telah berani menembus batas kenyamanan parpol.
Jika ditelisik lebih mendalam, sejatinya kewajiban verifikasi ulang ini justru menguntungkan parpol besar, karena parpol bisa melakukan fore play menjelang kontestasi pemilu atas lahirnya putusan tersebut. Parpol juga memiliki kesempatan menyempurnakan database anggota dan kader.
Sebagaimana diberitakan, MK mengabulkan uji materi terhadap Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang diajukan koalisi partai gurem. Bunyi pasal 8 ayat (1): "Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya." Dengan dikabulkannya uji materi pasal tersebut, parpol yang lolos pada Pemilu 2009 otomatis batal ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2014.
Dengan demikian, amat logis jika dalam amar putusannya MK mewajibkan seluruh parpol yang memiliki kursi di DPR dan yang tidak untuk mengikuti verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU jika ingin turut serta meramaikan pesta demokrasi 2014. Sudah tentu, putusan 'berani' MK ini menjadi tantangan tersendiri baik bagi parpol maupun penyelenggara pemilu, yang sudah sangat dekat.
Selain itu, MK juga membatalkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5 persen untuk tingkat nasional sebagaimana diatur dalam pasal 208. Pascaputusan, PT akhirnya hanya berlaku untuk pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Alasannya, PT sebesar 3,5 persen tingkat nasional merenggut kedaulatan rakyat daerah. Sudah tentu, hal ini bertentangan dengan konstitusi. Bagi MK, penyederhanaan partai secara alamiah berdasarkan pilihan rakyat. Ini tentu lebih demokratis.
Sebagai salah satu pilar demokrasi, parpol kini didera persoalan serius. Ba-nyak kader parpol tersandera korupsi, menurunkan kualitas parpol. Pelajaran penting yang bisa dipetik dari putusan MK tempo hari adalah hanya parpol berkualitas yang bisa mengikuti pemilu. Salah satu parameternya, banyaknya rakyat yang bergabung.
Namun, jika parpol tak berkualitas dan well organized, dapat dipastikan bakal repot mendulang suara lebih banyak. Kualitas dalam hal ini adalah tentang data administrasi dan kesesuaian dengan data yang ada. Belum lagi terkait dengan sumber daya manusia. Apalagi muncul partai baru yang siap mencuri hati floating mass. Pada titik ini, partai tengah patut waspada! Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) membuktikan, elektabilitas empat parpol berbasis massa Islam belum melampaui ambang batas parlemen 3,5 persen: PPP (3 persen), PKB (2,8 persen), PKS (2,2 persen), dan PAN (2 persen).
Sejarah mencatat, perolehan suara partai Islam secara kolektif relatif naik turun. Jika pada pemilu 1955 (era Orde Lama) partai Islam meraup 45,13 persen suara, maka perolehan suara partai Islam pada Pemilu 1971 (era Orde Baru) turun menjadi 27,11 persen. Sementara pada Pemilu 1999 (era Reformasi) partai Islam memperoleh suara 37 persen. Dukungan kemudian naik di Pemilu 2004 (38,1 persen) meski setelah itu turun drastis di Pemilu 2009 (23,1 persen).
Tren penurunan dukungan juga dialami Partai Demokrat (PD), yang 'terjun bebas' lantaran pemberitaan korupsi para kadernya. Dukungan 21 persen pada Pemilu 2009 dan adanya penurunan saat ini menjadi 11,1 persen merupakan indikasi raibnya kepercayaan publik terhadap PD. Kenaikan paling signifikan diperoleh Partai Golkar (18 persen). Sementara PDI-P mendulang dukungan sebesar 11,6 persen. Menarik, Nasdem sebagai pendatang baru justru menunjukkan potensi elektoral lumayan lantaran mampu menyaingi partai tengah.
Terlepas dari skeptisisme publik terhadap parpol yang sering dikonotasikan negatif lantaran oknum anggotanya, agaknya parpol masih paling logis demi sustainabilitas hidup berdemokrasi. Semua sepakat bahwa kekuasaan yang diraih melalui partai rentan dikorupsi. Walau tak sempurna, kehadiran parpol sebagai salah satu pilar tegaknya bangunan demokrasi tak bisa dipandang sebelah mata.
Jika ingin kualitas terjaga, tiada pilihan parpol harus berbenah, verifikasi ulang jadikan sebagai wahana introspeksi diri. Yakinlah, hanya parpol berkualitas saja yang bisa lolos 'audisi' dan mampu bersaing dalam Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar