Selasa, 04 Desember 2012

Solusi Bisnis untuk Kemiskinan


Solusi Bisnis untuk Kemiskinan
Rahmat Pramulya ;  Gerakan Indonesia Bangkit
SUARA KARYA, 03 Desember 2012


Sangat menarik membaca buku berjudul, "Solusi Bisnis untuk Kemiskinan" karya kolaboratif guru besar dan pengusaha besar, Prof Eriyatno dan M Nadjikh. Betapa tidak, keduanya sepakat memadukan ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) untuk satu tujuan mengeluarkan bangsa ini dari kemiskinan. Kesepakatan yang muncul akibat keingintahuan yang dipicu oleh rasa ketidakpercayaan bahwa predikat miskin ternyata terkait dengan realitas ekonomi biaya tinggi.
Dibandingkan orang kaya, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ternyata orang miskin masuk dalam kategori high cost economy. Untuk mendapatkan layanan pokok dengan fasilitas yang serba minim, si miskin dikenai biaya per unit layanan yang relatif tinggi dibanding orang kaya yang serba tersedia fasilitasnya.
Sebagai contoh, kebutuhan air bersih di pedesaan untuk mandi, mencuci, memasak, dan air minum, si miskin harus membeli air dengan jerigen yang harganya berkali lipat, sekitar Rp 1000-2000/jerigen (20 liter). Angka ini lebih mahal jika dibandingkan dengan orang kaya yang membayar tarif PAM dengan bayaran per meter kubik sekitar Rp 10 ribuan. Contoh lainnya adalah listrik. Bagi si miskin yang tinggal di perkotaan dan tinggal di rumah yang tidak permanen, di lokasi tanah yang belum jelas statusnya seperti di pinggir sungai atau tanah negara, mereka tidak bisa mendapatkan saluran listrik dari PLN. Dhus, si miskin harus menyambung listrik tidak resmi dengan pemilik rumah yang ada saluran listriknya. Untuk itu, mereka harus membayar biaya listrik minimal dua kali lipat dari tarif PLN normal.
Sementara untuk kebutuhan transportasi sehari-hari, keluarga miskin tidak mempunyai sepeda ataupun sepeda motor. Maka, mereka terpaksa naik transportasi umum seperti becak, ojek, mikrolet, atau bus kota yang biaya per kilometernya relatif mahal, jika dibandingkan dengan biaya per hari menggunakan kendaraan sendiri seperti yang dilakukan orang kaya/mampu. Belum lagi, saat si miskin membutuhkan pinjaman uang, nasib yang sama akan ditemui.
Pengusaha miskin biasanya dinilai tidak bonafid dan tidak bankable oleh lembaga keuangan, karena status kredibilitasnya diragukan. Maka, dengan terpaksa usaha mikro mencari pinjaman uang dari bank gelap dan rentenir yang bunganya minimal 5 persen per bulan atau sekitar 60 persen per tahun. Hal ini berbeda dengan pengusaha kaya yang mendapat bunga pinjaman sekitar 10-15 persen per tahun, dengan jumlah pinjaman yang cukup besar dengan nilai agunan dan kepercayaan perbankan. Ketimpangan inilah yang menye-babkan sulitnya usaha mikro berkembang.
Dari kenyataan tersebut jelas bahwa untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, si miskin memerlukan biaya hidup yang sangat tinggi. Sedangkan pendapatan yang diterimanya rendah dan tak menentu sehingga hidupnya serba kekurangan dan sering terjerat utang dengan rentenir. Berbeda dengan orang kaya yang hidupnya berkecukupan, dan biaya harian relatif lebih rendah jika diban-dingkan dengan pendapatan yang diterimanya. Sehingga, mereka bisa menabung, membeli aset untuk investasi, dan sebagainya.
Dari realitas ini dapat ditarik kurva pembelajaran bahwa orang kaya akan semakin kaya dan orang miskin akan tetap miskin. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, dan apabila belum ada perspektif bisnis untuk memecahkan persoalan kemiskinan tersebut, maka diyakini angka kemiskinan tidak akan pernah bisa diturunkan. Maka, sebuah konsep bisnis di-harapkan dapat mengakhiri kemiskinan yang masih melanda jutaan keluarga Indonesia.
Mengapa bisnis? Titik Winarti dalam Forum MDG-UN (2005) mengatakan, "Yang kami butuhkan adalah kesempatan, bukan belas kasihan." Memang, akar permasalahan kemiskinan adalah tidak adanya ketersediaan lapangan kerja yang mampu memberikan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Untuk itu, pendekatan bisnis yang mampu menyediakan lapangan kerja buat si miskin sangat penting adanya. Proses bisnis dengan mekanisme unik di mana jaringan produksi dibangun dengan sangat kuat dengan melibatkan si miskin sebagai tenaga kerja di hulu adalah pemikiran cerdas.
Konsep miniplant dibangun di sentra-sentra penghasil bahan baku untuk mempermudah penanganan pasca panen ke tahap proses produksi selanjutnya. Miniplant berfungsi sebagai tempat pengolahan (pabrik) khas sebagai solusi penanganan pasca panen. Warga sekitar bisa diserap untuk bekerja di miniplant ini sehingga dapat meluaskan lapangan kerja dan mening-katkan kesejahteraan mereka.
Di sampung, dapat memperpendek rantai tata niaga hasil laut sehingga harga beli bahan baku dari nela-yan meningkat, dan nelayan akan tertolong. Miniplant dibangun di lokasi yang dekat dengan sumber bahan baku sehingga penanganannya menjadi lebih cepat, akurat, bersih, efisien, dan rantai segar produk akan terjamin.
Kelola Mina Laut, sebuah perusahaan agribisnis hasil laut di Jatim telah mencontohkan sukses pendekatan miniplant ini untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah-wilayah miskin mitra usahanya. Terutama, di daerah-daerah pesisir di Indonesia, di mana bahan baku hasil laut yang ditangkap para nelayan dikumpulkan, diproses, dan di-grading di miniplant tersebut. Siapa sangka, produk yang dihasilkan mampu menembus pasar ekspor di 30 negara.
Intinya terletak pada pemanfaatan bahan baku lokal dan pemberdayaan penduduk lokal. Model ini semestinya mampu memantik spirit para pebisnis untuk mengadopsinya sebagai bagian dari upaya turut mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sudah tidak pada tempatnya pebisnis hanya berorientasi pada profit seraya menutup mata terhadap fenomena sosial di sekelilingnya. Para pebisnis mestinya memiliki kepedulian untuk mengembangkan bisnis yang dapat menyumbang solusi mengatasi kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar