Solusi Bisnis
untuk Kemiskinan
Rahmat Pramulya ; Gerakan Indonesia
Bangkit
|
SUARA
KARYA, 03 Desember 2012
Sangat
menarik membaca buku berjudul, "Solusi
Bisnis untuk Kemiskinan" karya kolaboratif guru besar dan pengusaha
besar, Prof Eriyatno dan M Nadjikh. Betapa tidak, keduanya sepakat memadukan
ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) untuk satu tujuan mengeluarkan
bangsa ini dari kemiskinan. Kesepakatan yang muncul akibat keingintahuan yang
dipicu oleh rasa ketidakpercayaan bahwa predikat miskin ternyata terkait
dengan realitas ekonomi biaya tinggi.
Dibandingkan
orang kaya, dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ternyata orang miskin masuk
dalam kategori high cost economy.
Untuk mendapatkan layanan pokok dengan fasilitas yang serba minim, si miskin
dikenai biaya per unit layanan yang relatif tinggi dibanding orang kaya yang
serba tersedia fasilitasnya.
Sebagai
contoh, kebutuhan air bersih di pedesaan untuk mandi, mencuci, memasak, dan
air minum, si miskin harus membeli air dengan jerigen yang harganya berkali
lipat, sekitar Rp 1000-2000/jerigen (20 liter). Angka ini lebih mahal jika
dibandingkan dengan orang kaya yang membayar tarif PAM dengan bayaran per
meter kubik sekitar Rp 10 ribuan. Contoh lainnya adalah listrik. Bagi si
miskin yang tinggal di perkotaan dan tinggal di rumah yang tidak permanen, di
lokasi tanah yang belum jelas statusnya seperti di pinggir sungai atau tanah
negara, mereka tidak bisa mendapatkan saluran listrik dari PLN. Dhus, si
miskin harus menyambung listrik tidak resmi dengan pemilik rumah yang ada
saluran listriknya. Untuk itu, mereka harus membayar biaya listrik minimal
dua kali lipat dari tarif PLN normal.
Sementara
untuk kebutuhan transportasi sehari-hari, keluarga miskin tidak mempunyai
sepeda ataupun sepeda motor. Maka, mereka terpaksa naik transportasi umum
seperti becak, ojek, mikrolet, atau bus kota yang biaya per kilometernya
relatif mahal, jika dibandingkan dengan biaya per hari menggunakan kendaraan
sendiri seperti yang dilakukan orang kaya/mampu. Belum lagi, saat si miskin
membutuhkan pinjaman uang, nasib yang sama akan ditemui.
Pengusaha
miskin biasanya dinilai tidak bonafid dan tidak bankable oleh lembaga
keuangan, karena status kredibilitasnya diragukan. Maka, dengan terpaksa
usaha mikro mencari pinjaman uang dari bank gelap dan rentenir yang bunganya
minimal 5 persen per bulan atau sekitar 60 persen per tahun. Hal ini berbeda
dengan pengusaha kaya yang mendapat bunga pinjaman sekitar 10-15 persen per
tahun, dengan jumlah pinjaman yang cukup besar dengan nilai agunan dan
kepercayaan perbankan. Ketimpangan inilah yang menye-babkan sulitnya usaha
mikro berkembang.
Dari
kenyataan tersebut jelas bahwa untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, si
miskin memerlukan biaya hidup yang sangat tinggi. Sedangkan pendapatan yang
diterimanya rendah dan tak menentu sehingga hidupnya serba kekurangan dan
sering terjerat utang dengan rentenir. Berbeda dengan orang kaya yang
hidupnya berkecukupan, dan biaya harian relatif lebih rendah jika
diban-dingkan dengan pendapatan yang diterimanya. Sehingga, mereka bisa
menabung, membeli aset untuk investasi, dan sebagainya.
Dari
realitas ini dapat ditarik kurva pembelajaran bahwa orang kaya akan semakin
kaya dan orang miskin akan tetap miskin. Apabila hal ini dibiarkan terus
menerus, dan apabila belum ada perspektif bisnis untuk memecahkan persoalan
kemiskinan tersebut, maka diyakini angka kemiskinan tidak akan pernah bisa
diturunkan. Maka, sebuah konsep bisnis di-harapkan dapat mengakhiri
kemiskinan yang masih melanda jutaan keluarga Indonesia.
Mengapa
bisnis? Titik Winarti dalam Forum MDG-UN (2005) mengatakan, "Yang kami butuhkan adalah
kesempatan, bukan belas kasihan." Memang, akar permasalahan
kemiskinan adalah tidak adanya ketersediaan lapangan kerja yang mampu
memberikan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan mereka. Untuk itu, pendekatan bisnis yang mampu menyediakan
lapangan kerja buat si miskin sangat penting adanya. Proses bisnis dengan
mekanisme unik di mana jaringan produksi dibangun dengan sangat kuat dengan
melibatkan si miskin sebagai tenaga kerja di hulu adalah pemikiran cerdas.
Konsep
miniplant dibangun di sentra-sentra penghasil bahan baku untuk mempermudah
penanganan pasca panen ke tahap proses produksi selanjutnya. Miniplant
berfungsi sebagai tempat pengolahan (pabrik) khas sebagai solusi penanganan
pasca panen. Warga sekitar bisa diserap untuk bekerja di miniplant ini
sehingga dapat meluaskan lapangan kerja dan mening-katkan kesejahteraan
mereka.
Di
sampung, dapat memperpendek rantai tata niaga hasil laut sehingga harga beli
bahan baku dari nela-yan meningkat, dan nelayan akan tertolong. Miniplant
dibangun di lokasi yang dekat dengan sumber bahan baku sehingga penanganannya
menjadi lebih cepat, akurat, bersih, efisien, dan rantai segar produk akan
terjamin.
Kelola
Mina Laut, sebuah perusahaan agribisnis hasil laut di Jatim telah
mencontohkan sukses pendekatan miniplant ini untuk mengentaskan kemiskinan di
wilayah-wilayah miskin mitra usahanya. Terutama, di daerah-daerah pesisir di
Indonesia, di mana bahan baku hasil laut yang ditangkap para nelayan
dikumpulkan, diproses, dan di-grading
di miniplant tersebut. Siapa sangka, produk yang dihasilkan mampu menembus
pasar ekspor di 30 negara.
Intinya terletak pada
pemanfaatan bahan baku lokal dan pemberdayaan penduduk lokal. Model ini semestinya
mampu memantik spirit para pebisnis untuk mengadopsinya sebagai bagian dari
upaya turut mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sudah tidak pada tempatnya
pebisnis hanya berorientasi pada profit seraya menutup mata terhadap fenomena
sosial di sekelilingnya. Para pebisnis mestinya memiliki kepedulian untuk
mengembangkan bisnis yang dapat menyumbang solusi mengatasi kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar