Selasa, 04 Desember 2012

Darurat Iklim Global


Darurat Iklim Global
Jalal ;  Aktivis Lingkar Studi CSR (www.csrindonesia.com)
KORAN TEMPO, 03 Desember 2012


Sama dengan pertemuan-pertemuan internasional soal perubahan iklim yang dilaksanakan beberapa tahun belakangan, Konferensi Tahunan Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Doha, Qatar pada 26 November-6 Desember 2012 disambut dengan harapan sekaligus pesimisme. Konferensi tersebut masih akan dirundung masalah klasik: kondisi ekonomi berbagai negara maju yang sedang lesu membuat perhatian kepada aspek sosial dan lingkungan "sedikit" tersisihkan.
Entah mengapa, dunia belum juga bergerak ke arah yang seharusnya. Ekonomi masih dipandang sebagai aspek yang paling sakral, sehingga aspek-aspek yang lain terus saja dianggap sebagai pinggiran. Padahal, berbagai publikasi seperti Limits to Growth (Meadows, et al., 1972), Our Comon Future (Brundtland, et al., 1987), serta gagasan mengenai Triple Bottom Line (Elkington, 1997) telah begitu lama didengungkan. Seluruhnya menganjurkan keseimbangan antara ketiga aspek pembangunan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bahkan, para pakar yang lebih modern melihat perlunya pemecahan yang lebih mendasar. Ekonomi seharusnya ditempatkan di bawah nilai keadilan sosial, dan keadilan sosial ditempatkan di bawah nilai kelestarian lingkungan (Porritt, 2005). Hanya dengan demikian, keberlanjutan bisa dipastikan.
Kita juga telah memiliki pengetahuan bahwa, kalau model pembangunan sekarang terus dipergunakan, konsekuensinya akan sangat berat. Dua laporan yang terbit pada bulan November 2012, yaitu laporan Postdam Institute untuk Bank Dunia bertajuk Turn Down the Heat serta Energy Outlook 2012 dari International Energy Agency, seharusnya menjadi pengingat bagi mereka yang sedang berkumpul di Qatar, juga bagi seluruh warga Bumi. Disebutkan dalam laporan Turn Down the Heat bahwa, apabila seluruh komitmen penurunan emisi yang ada hingga sekarang benar-benar dilaksanakan, pada 2100 kita akan menyaksikan peningkatan 3 derajat Celsius di atas suhu masa pra-industrial. Bahkan, terdapat 20 persen kemungkinan bahwa peningkatan suhunya akan mencapai 4 derajat Celsius. Sedangkan kalau komitmen yang ada sekarang tidak dilaksanakan sepenuhnya, kondisi itu bisa datang pada 2060.
Menurut laporan itu, pada kondisi suhu tersebut, muka air laut akan naik 0,5-1 meter, dan berbagai bencana "alam" akan jauh lebih dahsyat dampaknya serta lebih sering terjadi. Beberapa tahun yang lalu, komunitas ilmiah sampai kepada kesimpulan bahwa ambang batas rata-rata bagi seluruh negara adalah kenaikan suhu 2 derajat Celsius, sementara untuk kategori negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang serta negara-negara dengan perkembangan pembangunan paling lambat, ambang batasnya adalah 1,5 derajat Celsius. Tentu, skenario tidak menambahkan komitmen penurunan emisi, apalagi tidak melaksanakan komitmen yang sudah dibuat, tidak akan layak bagi kemanusiaan. Mereka yang ada di Qatar harus mencamkan hal ini, dan berusaha keras meningkatkan komitmen seluruh negara.
Laporan Energy Outlook 2012 memiliki sejumlah temuan dan rekomendasi yang juga sangat perlu dicermati. Sudah sangat jelas bahwa jejak kaki ekologis umat manusia sangat dipengaruhi pemanfaatan energi. Bentuk energi tak terbarukan, khususnya minyak dan batu bara, telah menyumbang besar sekali kepada jejak kaki tersebut, dan membebani Bumi lebih dari 1,5 kali lipat dari yang bisa ditopangnya. Bentuk energi rendah karbon dan terbarukan kini telah tumbuh, tapi dalam bauran energi tetap saja masih menjadi minoritas. Salah satu penyebabnya adalah subsidi total negara-negara kepada energi fosil, yang mencapai US$ 523 miliar pada 2011 (IEA, 2012), dan mungkin mencapai US$ 775 miliar pada tahun ini (Zadek, 2012). Sedangkan subsidi total untuk energi terbarukan hanya sekitar seperenamnya.
Selain masalah penggunaan energi tak terbarukan yang masih sangat besar, laporan tersebut juga menyoroti masalah efisiensi energi yang rendah. Banyak sekali teknologi yang efisiensinya tinggi, namun karena masyarakat global masih merasa bahwa energi itu murah, karena subsidi dan eksternalisasi dampak negatifnya, maka kita masih saja terlena, meneruskan cara pemanfaatan yang pandir. Padahal, apabila efisiensi energi bisa ditingkatkan dengan seluruh teknologi yang sekarang sudah diketahui, maka isu-isu keamanan energi, pertumbuhan ekonomi, serta dampak lingkungan akan sangat terbantu penyelesaiannya.
Dalam hal ini, investasi untuk membalikkan kondisi sangatlah diperlukan. Para pakar memperkirakan besaran yang diperlukan adalah US$ 6 triliun per tahun (Zadek, 2012), tapi pada kenyataannya jauh sekali di bawah itu. Green Climate Fund, sebagaimana yang dijanjikan kumpulan pemerintah negara maju kepada negara berkembang, jumlahnya hanya US$ 100 miliar per tahun. Sedangkan besaran seluruh belanja sektor publik adalah sekitar US$ 4-5 triliun per tahun, yang kita semua tahu itu terutama tidak dibelanjakan dengan visi keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Dari mana kita akan mendapatkan teknologi dengan efisiensi energi yang tinggi dan investasi yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia dari masa depan yang murung itu? Tampaknya hanya mungkin dari sektor swasta. Selama ini perusahaan-perusahaan progresif telah jauh melampaui kinerja negara-negara maju, yang berjanji untuk memotong emisinya pada akhir 2012 hingga 5 persen di bawah tingkat emisi 1990. Kita sudah menyaksikan banyak perusahaan berhasil memotong emisinya hingga puluhan persen secara sukarela, ketika negara-negara cuma sibuk berdalih atas kegagalannya.
Keberhasilan itu mengisyaratkan kita sangat mungkin untuk mencapai pemotongan emisi secara drastis, karena turunnya emisi itu sebetulnya cuma dampak ikutan dari logika ekonomi yang tunduk pada nilai-nilai keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Tampaknya kita selama ini terlampau sedikit menimbang peran perusahaan dalam perundingan penurunan emisi di skala global. Suara perusahaan-perusahaan progresif seharusnya mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan dengan yang selama ini diberikan, apalagi dalam situasi di mana nasib umat manusia bergantung pada teknologi dan keputusan investasi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar