Darurat Iklim
Global
Jalal ; Aktivis
Lingkar Studi CSR (www.csrindonesia.com)
|
KORAN
TEMPO, 03 Desember 2012
Sama dengan
pertemuan-pertemuan internasional soal perubahan iklim yang dilaksanakan
beberapa tahun belakangan, Konferensi Tahunan Perubahan Iklim Perserikatan
Bangsa-Bangsa di Doha, Qatar pada 26 November-6 Desember 2012 disambut dengan
harapan sekaligus pesimisme. Konferensi tersebut masih akan dirundung masalah
klasik: kondisi ekonomi berbagai negara maju yang sedang lesu membuat
perhatian kepada aspek sosial dan lingkungan "sedikit" tersisihkan.
Entah mengapa,
dunia belum juga bergerak ke arah yang seharusnya. Ekonomi masih dipandang
sebagai aspek yang paling sakral, sehingga aspek-aspek yang lain terus saja
dianggap sebagai pinggiran. Padahal, berbagai publikasi seperti Limits to Growth (Meadows, et al.,
1972), Our Comon Future
(Brundtland, et al., 1987), serta gagasan mengenai Triple Bottom Line (Elkington, 1997) telah begitu lama
didengungkan. Seluruhnya menganjurkan keseimbangan antara ketiga aspek
pembangunan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bahkan, para pakar yang lebih
modern melihat perlunya pemecahan yang lebih mendasar. Ekonomi seharusnya
ditempatkan di bawah nilai keadilan sosial, dan keadilan sosial ditempatkan
di bawah nilai kelestarian lingkungan (Porritt, 2005). Hanya dengan demikian,
keberlanjutan bisa dipastikan.
Kita juga
telah memiliki pengetahuan bahwa, kalau model pembangunan sekarang terus
dipergunakan, konsekuensinya akan sangat berat. Dua laporan yang terbit pada
bulan November 2012, yaitu laporan Postdam
Institute untuk Bank Dunia bertajuk Turn
Down the Heat serta Energy Outlook 2012 dari International Energy Agency, seharusnya menjadi pengingat bagi mereka
yang sedang berkumpul di Qatar, juga bagi seluruh warga Bumi. Disebutkan
dalam laporan Turn Down the Heat
bahwa, apabila seluruh komitmen penurunan emisi yang ada hingga sekarang
benar-benar dilaksanakan, pada 2100 kita akan menyaksikan peningkatan 3
derajat Celsius di atas suhu masa pra-industrial. Bahkan, terdapat 20 persen
kemungkinan bahwa peningkatan suhunya akan mencapai 4 derajat Celsius.
Sedangkan kalau komitmen yang ada sekarang tidak dilaksanakan sepenuhnya,
kondisi itu bisa datang pada 2060.
Menurut
laporan itu, pada kondisi suhu tersebut, muka air laut akan naik 0,5-1 meter,
dan berbagai bencana "alam" akan jauh lebih dahsyat dampaknya serta
lebih sering terjadi. Beberapa tahun yang lalu, komunitas ilmiah sampai
kepada kesimpulan bahwa ambang batas rata-rata bagi seluruh negara adalah
kenaikan suhu 2 derajat Celsius, sementara untuk kategori negara-negara
kepulauan kecil yang sedang berkembang serta negara-negara dengan
perkembangan pembangunan paling lambat, ambang batasnya adalah 1,5 derajat
Celsius. Tentu, skenario tidak menambahkan komitmen penurunan emisi, apalagi
tidak melaksanakan komitmen yang sudah dibuat, tidak akan layak bagi
kemanusiaan. Mereka yang ada di Qatar harus mencamkan hal ini, dan berusaha
keras meningkatkan komitmen seluruh negara.
Laporan Energy
Outlook 2012 memiliki sejumlah temuan dan rekomendasi yang juga sangat perlu
dicermati. Sudah sangat jelas bahwa jejak kaki ekologis umat manusia sangat
dipengaruhi pemanfaatan energi. Bentuk energi tak terbarukan, khususnya
minyak dan batu bara, telah menyumbang besar sekali kepada jejak kaki
tersebut, dan membebani Bumi lebih dari 1,5 kali lipat dari yang bisa
ditopangnya. Bentuk energi rendah karbon dan terbarukan kini telah tumbuh,
tapi dalam bauran energi tetap saja masih menjadi minoritas. Salah satu
penyebabnya adalah subsidi total negara-negara kepada energi fosil, yang
mencapai US$ 523 miliar pada 2011 (IEA, 2012), dan mungkin mencapai US$ 775
miliar pada tahun ini (Zadek, 2012). Sedangkan subsidi total untuk energi
terbarukan hanya sekitar seperenamnya.
Selain masalah
penggunaan energi tak terbarukan yang masih sangat besar, laporan tersebut
juga menyoroti masalah efisiensi energi yang rendah. Banyak sekali teknologi
yang efisiensinya tinggi, namun karena masyarakat global masih merasa bahwa
energi itu murah, karena subsidi dan eksternalisasi dampak negatifnya, maka
kita masih saja terlena, meneruskan cara pemanfaatan yang pandir. Padahal,
apabila efisiensi energi bisa ditingkatkan dengan seluruh teknologi yang
sekarang sudah diketahui, maka isu-isu keamanan energi, pertumbuhan ekonomi,
serta dampak lingkungan akan sangat terbantu penyelesaiannya.
Dalam hal ini,
investasi untuk membalikkan kondisi sangatlah diperlukan. Para pakar
memperkirakan besaran yang diperlukan adalah US$ 6 triliun per tahun (Zadek,
2012), tapi pada kenyataannya jauh sekali di bawah itu. Green Climate Fund, sebagaimana yang dijanjikan kumpulan
pemerintah negara maju kepada negara berkembang, jumlahnya hanya US$ 100
miliar per tahun. Sedangkan besaran seluruh belanja sektor publik adalah
sekitar US$ 4-5 triliun per tahun, yang kita semua tahu itu terutama tidak dibelanjakan
dengan visi keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Dari mana kita
akan mendapatkan teknologi dengan efisiensi energi yang tinggi dan investasi
yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia dari masa depan yang murung itu?
Tampaknya hanya mungkin dari sektor swasta. Selama ini perusahaan-perusahaan
progresif telah jauh melampaui kinerja negara-negara maju, yang berjanji
untuk memotong emisinya pada akhir 2012 hingga 5 persen di bawah tingkat
emisi 1990. Kita sudah menyaksikan banyak perusahaan berhasil memotong
emisinya hingga puluhan persen secara sukarela, ketika negara-negara cuma
sibuk berdalih atas kegagalannya.
Keberhasilan itu mengisyaratkan
kita sangat mungkin untuk mencapai pemotongan emisi secara drastis, karena
turunnya emisi itu sebetulnya cuma dampak ikutan dari logika ekonomi yang
tunduk pada nilai-nilai keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Tampaknya
kita selama ini terlampau sedikit menimbang peran perusahaan dalam
perundingan penurunan emisi di skala global. Suara perusahaan-perusahaan
progresif seharusnya mendapatkan perhatian lebih besar dibandingkan dengan
yang selama ini diberikan, apalagi dalam situasi di mana nasib umat manusia
bergantung pada teknologi dan keputusan investasi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar