Selasa, 04 Desember 2012

Bhatoeganagate


Bhatoeganagate
Adhie M Massardi ;  Gerakan Indonesia Bangkit
SUARA KARYA, 03 Desember 2012



Jagat politik nasional tiba-tiba dikejutkan oleh riuh-rendahnya kaum Nahdliyin dan simpatisan almarhum Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berunjuk rasa di cabang-cabang kantor Partai Demokrat hampir di seluruh Indonesia. Bahkan di beberapa kota di Jawa Timur, para pengunjuk rasa ada yang melakukan sweeping terhadap anggota partai yang dibina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Kemarahan kaum Nahdliyin itu dipicu oleh pernyataan Ketua Komisi VII DPR dari Partai Demokrat, Sutan Bhatoegana, dalam sebuah diskusi rutin Dialog Kenegaraan yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di lobi gedung DPD di Senayan, Jakarta, Rabu dua pekan lalu (21/11).

Meskipun Bhatoegana tidak secara eksplisit mengatakan pemerintahan Gus Dur jatuh karena kasus korupsi dana Yanatera Bulog (Buloggate) dan sumbangan Sultan Brunei (lazim disebut Bruneigate), yang beritanya marak pada pertengahan tahun 2000, penjelasannya di berbagai forum - pemerintahan Gus Dur tidak bersih makanya dijatuhkan - kian membuat publik geram. Makanya, eskalasi aksi di kantor-kantor Partai Demokrat di seluruh Indonesia yang bergulir sejak Senin pekan lalu (26/11) pun terus meningkat.

Beruntung Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, juga beberapa petinggi lain partai tersebut, lekas mengambil inisiatif meminta maaf kepada keluarga Gus Dur dan warga Nahdliyin. Puncaknya, Kamis pekan lalu (29/11) Anas dan pimpinan lain Partai Demokrat "membawa" Bhatoegana ke kediaman keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf. Padahal sebelumnya Bhatoegana keukeuh pada pendapatnya bahwa Gus Dur dilengserkan karena korupsi.

Dalam konteks itu, Bhatoegana memang terkesan memutarbalik fakta. Sebab kenyataannya, Sidang Istimewa MPR, Juli 2001, digelar karena (Presiden) Gus Dur menetapkan Wakil Kepala Polri Komjen Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala Polri, menggantikan Jenderal (Pol) Soerojo Bimantoro. Ini, menurut Amien Rais Cs, menyalahi Tap MPR No VII/MPR/2000.

Sedangkan diterbitkannya Maklumat Dekrit oleh Gus Dur, merupakan langkah ekstra konstitusional yang bisa dilakukan Presiden untuk menghentikan tindakan inkonstitusional Amien Rais Cs. Tapi dalam perkembangannya, Amien Rais Cs malah mengubah alasan SI MPR pada 23 Juli 2001 itu segera dilaksanakan karena Presiden mengeluarkan dekrit.

Bagi pengikut Gus Dur (Gusdurian), khususnya kaum Nahdliyin, tragedi konstitusi 2001 itu sangat menyakitkan. Ketidakadilan politik yang diperlakukan kepada pemimpin mereka waktu itu, terus terpendam, menjadi magma sosial yang setiap saat bisa menggelegak dan keluar dari perut bumi, menjadi api kemarahan kolosal. Magma dalam perut bumi NU itu kini memang bergolak-golak karena dipanaskan oleh pemandangan politik yang janggal. Yaitu, skandal rekayasa bailout Bank Century yang melibatkan orang-orang Istana dan sudah ditetapkan bermasalah oleh BPK, DPR dan KPK kok dibiarkan mengambang. Juga, kasus Hambalang dan korupsi yang melibatkan para menteri SBY lainnya.
Pemandangan politik yang kian permisif terhadap para koruptor di kalangan penguasa inilah yang membuat warga Nahdliyin menjadi sangat sensitif.

Pernyataan Sutan Bhatoegana (Bhatoeganagate) hanya pemicu meluapnya magma itu. Makanya, permintaan maaf Bhatoegana dan para petinggi Partai Demokrat tidak menjamin meredanya kemarahan. Mereka mengharapkan perlakuan politik yang sama kepada penguasa yang korup. Apalagi, ini faktanya sudah sangat jelas dan terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar