Bhatoeganagate
Adhie M Massardi ; Gerakan Indonesia
Bangkit
|
SUARA
KARYA, 03 Desember 2012
Jagat
politik nasional tiba-tiba dikejutkan oleh riuh-rendahnya kaum Nahdliyin dan
simpatisan almarhum Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang
berunjuk rasa di cabang-cabang kantor Partai Demokrat hampir di seluruh
Indonesia. Bahkan di beberapa kota di Jawa Timur, para pengunjuk rasa ada
yang melakukan sweeping terhadap
anggota partai yang dibina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Kemarahan
kaum Nahdliyin itu dipicu oleh pernyataan Ketua Komisi VII DPR dari Partai
Demokrat, Sutan Bhatoegana, dalam sebuah diskusi rutin Dialog Kenegaraan yang
digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di lobi gedung DPD di Senayan, Jakarta,
Rabu dua pekan lalu (21/11).
Meskipun
Bhatoegana tidak secara eksplisit mengatakan pemerintahan Gus Dur jatuh karena
kasus korupsi dana Yanatera Bulog (Buloggate) dan sumbangan Sultan Brunei
(lazim disebut Bruneigate), yang beritanya marak pada pertengahan tahun 2000,
penjelasannya di berbagai forum - pemerintahan Gus Dur tidak bersih makanya
dijatuhkan - kian membuat publik geram. Makanya, eskalasi aksi di
kantor-kantor Partai Demokrat di seluruh Indonesia yang bergulir sejak Senin
pekan lalu (26/11) pun terus meningkat.
Beruntung
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, juga beberapa petinggi lain
partai tersebut, lekas mengambil inisiatif meminta maaf kepada keluarga Gus
Dur dan warga Nahdliyin. Puncaknya, Kamis pekan lalu (29/11) Anas dan
pimpinan lain Partai Demokrat "membawa" Bhatoegana ke kediaman
keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, untuk mencabut pernyataannya dan
meminta maaf. Padahal sebelumnya Bhatoegana keukeuh pada pendapatnya bahwa Gus Dur dilengserkan karena
korupsi.
Dalam
konteks itu, Bhatoegana memang terkesan memutarbalik fakta. Sebab
kenyataannya, Sidang Istimewa MPR, Juli 2001, digelar karena (Presiden) Gus
Dur menetapkan Wakil Kepala Polri Komjen Chaeruddin Ismail sebagai pemangku
sementara jabatan Kepala Polri, menggantikan Jenderal (Pol) Soerojo
Bimantoro. Ini, menurut Amien Rais Cs, menyalahi Tap MPR No VII/MPR/2000.
Sedangkan
diterbitkannya Maklumat Dekrit oleh Gus Dur, merupakan langkah ekstra
konstitusional yang bisa dilakukan Presiden untuk menghentikan tindakan
inkonstitusional Amien Rais Cs. Tapi dalam perkembangannya, Amien Rais Cs
malah mengubah alasan SI MPR pada 23 Juli 2001 itu segera dilaksanakan karena
Presiden mengeluarkan dekrit.
Bagi
pengikut Gus Dur (Gusdurian), khususnya kaum Nahdliyin, tragedi konstitusi
2001 itu sangat menyakitkan. Ketidakadilan politik yang diperlakukan kepada
pemimpin mereka waktu itu, terus terpendam, menjadi magma sosial yang setiap
saat bisa menggelegak dan keluar dari perut bumi, menjadi api kemarahan
kolosal. Magma dalam perut bumi NU itu kini memang bergolak-golak
karena dipanaskan oleh pemandangan politik yang janggal. Yaitu, skandal
rekayasa bailout Bank Century yang melibatkan orang-orang Istana dan sudah
ditetapkan bermasalah oleh BPK, DPR dan KPK kok
dibiarkan mengambang. Juga, kasus Hambalang dan
korupsi yang melibatkan para menteri SBY lainnya.
Pemandangan
politik yang kian permisif terhadap para koruptor di kalangan penguasa inilah
yang membuat warga Nahdliyin menjadi sangat sensitif.
Pernyataan
Sutan Bhatoegana (Bhatoeganagate)
hanya pemicu meluapnya magma itu. Makanya, permintaan maaf Bhatoegana dan para petinggi
Partai Demokrat tidak menjamin meredanya kemarahan. Mereka mengharapkan
perlakuan politik yang sama kepada penguasa yang korup. Apalagi, ini faktanya
sudah sangat jelas dan terbuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar