Jumat, 07 Desember 2012

Repotnya Berurusan dengan DPR


Repotnya Berurusan dengan DPR
Djoko Susilo ;  Anggota Fraksi PAN DPR 1999-2009
JAWA POS, 05 Desember 2012


PARA anggota Komisi VII DPR Senin lalu (3 Desember 2012) dikabarkan sangat gusar karena Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak menghadiri rapat yang akan membahas masalah inefisiensi PLN selama periode 2009-2011. Padahal, Dahlan sudah datang, tetapi kemudian pamit karena ada undangan sidang kabinet terbatas di istana pukul 10.30 hari itu juga. 

Keputusan Dahlan untuk pamit itulah yang membuat anggota DPR meradang. Effendy Simbolon, wakil ketua Komisi VII DPR, menganggap menteri BUMN sudah ''melecehkan'' parlemen atau ''contempt of parliament''. Karena itu, dia sampai mengancam akan memanggil paksa Dahlan dalam rapat berikutnya.

Sebegitu beratkah kesalahan Dahlan? Atau, sebegitu berkuasakah DPR sehingga sampai bisa berbuat sewenang-wenang, bahkan terhadap seorang pejabat tinggi negara setingkat menteri? Hal yang demikian itu sampai menjadi perbincangan di sebagian kalangan masyarakat. Bahkan, masyarakat ekspatriat Indonesia seperti di Swiss dalam beberapa kesempatan menyampaikan kepada saya kekhawatiran akan adanya ''kediktatoran parlemen''.

Jika seorang pejabat tinggi setingkat menteri saja sampai kewalahan menghadapi DPR, bagaimana dengan rakyat jelata yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa? Yang terjadi di Senayan bisa dipersepsikan sebagai ''pameran kekuasaan'' oleh segelintir politikus. Parlemen memang mempunyai kekuasaan, khususnya di bidang legislasi dan pengawasan eksekutif. Tetapi, tentunya semua memiliki takaran yang pas. Merebak kekhawatiran, parlemen sering overacting dan overdosis dalam menggunakan kekuasaannya.

Dua tahun lalu, menjelang pelantikan sebagai duta besar di Swiss, saya bertemu seorang menteri dari kalangan profesional. Ketika berbincang, tanpa sungkan-sungkan menteri tersebut mengatakan, ''Saya paling repot kalau berurusan dengan teman-teman Pak Djoko di Senayan.'' Bagi dia, mengurus kementeriannya yang sangat strategis yang menyangkut nasib jutaan orang tidak serepot berurusan dengan politisi Senayan. Keluhan yang sama pernah disampaikan mantan Wapres Jusuf Kalla yang mendapat curhat dari para menteri saat itu. 

Anggota DPR sering menggunakan istilah ''memanggil'' atau ''panggil paksa'' seolah-olah para menteri atau pejabat tinggi tersebut adalah ''pesakitan''. Seharusnya, sebagai politisi beradab, mereka ''mengundang'' sesuai surat resmi DPR, bukan ''memanggil''. Tetapi, dalam pernyataan verbalnya, banyak legislator yang dengan bangga selalu menyatakan ''akan memanggil'' atau bahkan dalam kasus Menteri Dahlan akan ''dipanggil paksa''. Dalam pernyataan tersebut, tersirat nada ancaman dan arogansi kekuasaan luar biasa.

Dalam hubungan tata negara, hubungan antara parlemen dan eksekutif itu setara. Bahkan, secara individu dan menurut aturan protokol, anggota DPR berada di bawah menteri. Misalnya, selaku duta besar, jika kedatangan tamu seorang menteri, aturan protokolnya saya harus menjemput ke bandara. Tetapi, tidak ada kewajiban yang sama jika tamunya adalah anggota DPR. 

Demikian juga pengaturan tempat duduk dalam suatu acara resmi. Menteri harus berada di baris depan, baru diikuti anggota DPR dan pejabat lain sesuai jabatannya. Dengan demikian, menteri memiliki kedudukan protokoler yang tinggi. Karena itu, sangat tidak tepat kalau DPR sering menggunakan istilah ''memanggil'' apalagi ''memanggil paksa'' seorang menteri. Kata-kata arogan itu akan meruntuhkan martabat DPR yang sekarang berada di titik nadir tersebut.

Mana Konsistensi Legislator? 

Parlemen memang memiliki kekuasaan. Sebab, tanpa wewenang dan kuasa, parlemen akan menjadi ''rubber stamp parliament'' seperti pada masa lalu. Hak-hak anggota parlemen seperti interpelasi, imunitas, angket, dan bujet harus digunakan dengan dosis yang tepat serta konsisten.

Sayangnya, masih ada anggota parlemen yang sering tidak konsisten. Jika pejabat yang diundang ke parlemen terlambat atau tidak bisa hadir sama sekali, DPR akan marah besar. Contohnya, menteri BUMN yang dimarahi sebagian anggota Komisi VII DPR karena minta izin menghadiri sidang kabinet terbatas sehingga terpaksa batal ikut rapat dengan DPR. Namun, sebaliknya, tidak ada sanksi bagi anggota DPR yang mangkir sidang, baik paripurna atau komisi. Dalihnya, yang akan memberikan sanksi adalah ''konstituen masing-masing'' yang anonim. 

Rapat komisi, pansus, bahkan rapat paripurna sering harus ditunda berjam-jam karena tidak kuorum, meski menteri atau pejabat yang mewakili pemerintah sudah duduk rapi dan lengkap. Tidak jarang, legislator keluar dari sidang dengan berbagai alasan. Termasuk, misalnya, dipanggil fraksi atau DPP partainya. Jadi, kalau anggota DPR boleh absen sidang karena dipanggil bos fraksi atau partainya, seorang menteri dilarang absen dari sidang di Senayan meski dipanggil presiden RI, orang nomor satu di negara ini. Benar-benar repot.

Mungkin akan banyak yang mengkritik saya karena saya pernah 10 tahun di Senayan, khususnya di komisi I. Hanya, kolega saya di komisi pertahanan dan luar negeri cukup toleran dengan hal-hal yang mendesak, termasuk undangan mendadak seorang menteri oleh presiden. Kami selalu bisa memberikan solusi dengan menunda rapat dengan DPR serta memberikan kesempatan kepada menteri bersangkutan untuk memenuhi panggilan kepala negara. 

Karena itu, bisa dikatakan, selama saya bertugas di komisi I, nyaris tidak pernah ada keributan soal panggil-memanggil seorang menteri. Kami pun menghindari istilah yang terkesan arogan. Misalnya, komisi I memanggil panglima TNI atau komisi I akan memanggil paksa Menlu. Saya hanya sekali menggunakan istilah ''memanggil paksa'', yaitu terhadap seorang rekanan Dephan (kini Kemenhan) yang terlibat kasus helikopter Mi-17. 

Kekuasaan dan wewenang DPR sangat diperlukan, namun jangan digunakan serampangan. Semua pihak di DPR wajib menjaga jangan sampai wajah DPR makin terpuruk, semakin buruk. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar