Jumat, 07 Desember 2012

Guru dan Kurikulum Baru


Guru dan Kurikulum Baru
Paulus Mudjiran ;  Pendidik sekaligus Ketua Pelaksana
Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
KORAN TEMPO, 05 Desember 2012


Kurikulum baru yang rencananya disosialisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2013 memberi harapan. Kurikulum yang sampai sekarang belum diketahui apa namanya, serta bentuk fisiknya seperti apa, itu sudah banyak mendapat tanggapan luas dari berbagai media. Beberapa kisi-kisi memang sudah "bocor", misalnya soal jumlah mata pelajaran di SD yang dikurangi menjadi tujuh mata pelajaran serta tekanan pada pendidikan karakter. 
Namun setidaknya kurikulum baru perlu disambut dengan positif. Setidaknya kurikulum baru memberi tempat pada pembaruan pendidikan. Pendidikan terasa sudah lapuk atau usang sehingga perlu ada pompa semangat baru untuk menambah energi. Pendidikan juga berkutat pada persoalan itu-itu saja. Dan, kurikulum baru diharapkan mampu membangkitkan lagi gairah dunia pendidikan, guru, serta peserta didik. Proses belajar-mengajar dibuat semakin menarik, guru pun bekerja bukan semata-mata karena dibayar. 
Sekarang seolah semua permasalahan dalam kehidupan politik, hukum, ekonomi, sosial, termasuk agama dan moral, ditimpakan kepada dunia pendidikan. Karena perilaku warga bangsa buruk, perlu ditambahkan pendidikan karakter. Menjumpai anak didik tidak sopan, perlu ditambahkan pendidikan budi pekerti. Karena peserta didik tidak mengerti bahasa daerah, perlu ditambahkan bahasa daerah. Begitu pun tuntutan dunia kerja yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi, lalu mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam diperbanyak. 
Kurikulum yang cenderung adaptif untuk semua permasalahan sosial masyarakat tidak tepat diberikan kepada peserta didik. Yang ada hanyalah keranjang sampah. Peserta didik menerima demikian banyak informasi, tapi itu hanya sampah karena tidak mendalam dan tidak berguna, malahan membebani serta mengotori hidup peserta didik. Kurikulum baru diharapkan benar-benar kurikulum yang berisi (nuchter), mengajarkan apa yang benar-benar diperlukan bagi peserta didik untuk masa depan mereka. 
Kurikulum baru meminjam slogan majalah Tempo, harus benar-benar enak dibaca dan perlu. Artinya, mata pelajaran yang memang sangat tidak diperlukan tidak perlu diajarkan. Guru juga tidak berlelah-lelah memberikan materi yang hanya meracuni peserta didik. Yang tidak boleh dilupakan, diseminasi informasi kurikulum baru harus memperhatikan guru. Betapa pun hebatnya sebuah kurikulum didesain oleh para pejabat di Kementerian Pendidikan dengan melibatkan pakar-pakar yang kompeten dalam pendidikan, guru tetap merupakan ujung tombak penerapan kurikulum. 
Memastikan bahwa semua guru telah menguasai kurikulum tentu bukan persoalan sederhana. Karena itu, guru harus dituntut benar-benar menguasai semua arahan kurikulum dan mampu menjabarkan dalam proses belajar-mengajar kepada peserta didik. Guru harus mampu menangkap "roh" perubahan kurikulum, apa beda secara substansial dengan kurikulum sebelumnya, seperti kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Berbahaya jika guru menangkap kurikulum baru hanya pada pengurangan jumlah mata pelajaran, sementara proses lain tetap mempergunakan cara-cara lama. 
Sangat mungkin para guru merasa terbebani oleh hadirnya kurikulum baru. Mengingat, setiap berganti kebijakan pendidikan, yang selalu paling direpotkan adalah para guru. Selain harus belajar lagi lantaran ada pergantian buku-buku pelajaran, guru dituntut membaca dan mengubahnya menjadi rencana pembelajaran harian kepada peserta didik. Bisa jadi guru tidak menangkap substansi pembaruan ini. Judulnya dengan kurikulum baru, tapi belajar-mengajarnya tetap dengan model lama. 
Maka guru harus menjadi ujung tombak diseminasi informasi dan memastikan mereka benar-benar siap dengan pembaruan. Akan sia-sia ketika pembaruan dan gong sudah telanjur dicanangkan, tapi guru justru tidak dipersiapkan dengan baik. Memang prosesnya akan bertahap, tapi betapa pun guru tidak boleh diremehkan. Jangan sampai ada anggapan nanti pada saatnya para guru pasti mengikuti dengan sendirinya. 
Diseminasi informasi kurikulum harus memperhatikan kesenjangan guru di kota dan pelosok pedesaan. Jangan sampai terjadi, guru yang melek informasi disamakan dengan guru-guru yang gagap informasi alias gaptek. Sangat mungkin sekolah-sekolah maju sudah merespons kurikulum baru dalam proses belajar mereka, sementara sekolah pinggiran cenderung masih bertahan dengan kurikulum yang lama. Keterlambatan informasi akan terasa pada saat ujian nasional masih diperlakukan. 
Pada era kurikulum baru, sekolah tidak boleh menambah jumlah mata pelajaran di luar yang digariskan dalam kurikulum resmi. Bisa jadi Kementerian Pendidikan sudah mematok hanya ada tujuh mata pelajaran di jenjang SD. Namun, karena desakan orang tua dan komite sekolah, sekolah menambah mata pelajaran lain yang dirasa sesuai dengan tuntutan zaman. Kondisi ini tentu semakin membebani peserta didik. 
Peserta didik harus dibebaskan dari proyek-proyek titipan semacam ini karena mereka bukanlah obyek. Mereka juga bukan ajang eksperimen. Guru harus berani menolak manakala pihak luar memaksakan kehendak yang justru membuat pendidikan kian menjadi beban. Pada kesempatan yang sama, kurikulum baru juga bisa menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Kurikulum baru menghasilkan proyek buku pelajaran dan lembar kerja siswa, yang berarti proyek besar.
Guru harus dibebaskan dari jebakan proyek-proyek semacam ini. Pemerintah harus konsisten bahwa buku-buku pelajaran akan disediakan dan distribusi ke semua sekolah. Bukan hanya di sekolah-sekolah pemerintah, tapi juga di sekolah swasta. Tidak terbayangkan berapa rupiah yang akan beredar manakala proses pengadaan buku diserahkan kepada sekolah. Pemerintah harus belajar dari buku sekolah elektronik (BSE) pada masa lalu yang ternyata sulit dilaksanakan. 
BSE dijanjikan murah, mudah, dan transparan, tapi ternyata aksesnya masih perlu Internet, komputer, listrik, dan printer, yang semuanya pasti lebih mahal dan kurang praktis. BSE tidak bisa berjalan di berbagai tempat karena kendala listrik dan ketersediaan akses Internet. Pada masa mendatang, pemerintah harus memilih perangkat teknologi dalam rangka menyebarluaskan buku-buku pelajaran secara mudah, murah, dan praktis. 
Lebih dari itu, guru-guru harus diberdayakan. Kurikulum baru akan diterima sebagai tantangan dalam pembaruan pendidikan manakala proses pengenalan dan sosialisasi benar-benar "nguwongke" para guru. Seminimal mungkin harus ditekan terjadinya gejolak di kalangan guru. Dinas pendidikan daerah harus pandai-pandai "ngemong" guru, karena keberadaan guru pada masa lalu dan sekarang sudah sangat jauh berbeda. Dinas pendidikan tidak bisa lagi menjadi tukang perintah, melainkan harus bersama-sama guru dan sekolah melakukan pembaruan. Jangan sampai sekolah dan guru diperalat dinas pendidikan karena merekalah agen perubahan yang sesungguhnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar