Guru dan
Kurikulum Baru
Paulus Mudjiran ; Pendidik sekaligus Ketua Pelaksana
Yayasan
Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
|
KORAN
TEMPO, 05 Desember 2012
Kurikulum baru
yang rencananya disosialisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai
2013 memberi harapan. Kurikulum yang sampai sekarang belum diketahui apa
namanya, serta bentuk fisiknya seperti apa, itu sudah banyak mendapat
tanggapan luas dari berbagai media. Beberapa kisi-kisi memang sudah
"bocor", misalnya soal jumlah mata pelajaran di SD yang dikurangi
menjadi tujuh mata pelajaran serta tekanan pada pendidikan karakter.
Namun
setidaknya kurikulum baru perlu disambut dengan positif. Setidaknya kurikulum
baru memberi tempat pada pembaruan pendidikan. Pendidikan terasa sudah lapuk
atau usang sehingga perlu ada pompa semangat baru untuk menambah energi.
Pendidikan juga berkutat pada persoalan itu-itu saja. Dan, kurikulum baru
diharapkan mampu membangkitkan lagi gairah dunia pendidikan, guru, serta
peserta didik. Proses belajar-mengajar dibuat semakin menarik, guru pun
bekerja bukan semata-mata karena dibayar.
Sekarang
seolah semua permasalahan dalam kehidupan politik, hukum, ekonomi, sosial,
termasuk agama dan moral, ditimpakan kepada dunia pendidikan. Karena perilaku
warga bangsa buruk, perlu ditambahkan pendidikan karakter. Menjumpai anak
didik tidak sopan, perlu ditambahkan pendidikan budi pekerti. Karena peserta
didik tidak mengerti bahasa daerah, perlu ditambahkan bahasa daerah. Begitu
pun tuntutan dunia kerja yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
lalu mata pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam diperbanyak.
Kurikulum yang
cenderung adaptif untuk semua permasalahan sosial masyarakat tidak tepat diberikan
kepada peserta didik. Yang ada hanyalah keranjang sampah. Peserta didik
menerima demikian banyak informasi, tapi itu hanya sampah karena tidak
mendalam dan tidak berguna, malahan membebani serta mengotori hidup peserta
didik. Kurikulum baru diharapkan benar-benar kurikulum yang berisi (nuchter),
mengajarkan apa yang benar-benar diperlukan bagi peserta didik untuk masa
depan mereka.
Kurikulum baru
meminjam slogan majalah Tempo, harus benar-benar enak dibaca dan perlu.
Artinya, mata pelajaran yang memang sangat tidak diperlukan tidak perlu
diajarkan. Guru juga tidak berlelah-lelah memberikan materi yang hanya
meracuni peserta didik. Yang tidak boleh dilupakan, diseminasi informasi
kurikulum baru harus memperhatikan guru. Betapa pun hebatnya sebuah kurikulum
didesain oleh para pejabat di Kementerian Pendidikan dengan melibatkan
pakar-pakar yang kompeten dalam pendidikan, guru tetap merupakan ujung tombak
penerapan kurikulum.
Memastikan
bahwa semua guru telah menguasai kurikulum tentu bukan persoalan sederhana.
Karena itu, guru harus dituntut benar-benar menguasai semua arahan kurikulum
dan mampu menjabarkan dalam proses belajar-mengajar kepada peserta didik.
Guru harus mampu menangkap "roh" perubahan kurikulum, apa beda
secara substansial dengan kurikulum sebelumnya, seperti kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP). Berbahaya jika guru menangkap kurikulum baru hanya
pada pengurangan jumlah mata pelajaran, sementara proses lain tetap
mempergunakan cara-cara lama.
Sangat mungkin
para guru merasa terbebani oleh hadirnya kurikulum baru. Mengingat, setiap
berganti kebijakan pendidikan, yang selalu paling direpotkan adalah para
guru. Selain harus belajar lagi lantaran ada pergantian buku-buku pelajaran,
guru dituntut membaca dan mengubahnya menjadi rencana pembelajaran harian
kepada peserta didik. Bisa jadi guru tidak menangkap substansi pembaruan ini.
Judulnya dengan kurikulum baru, tapi belajar-mengajarnya tetap dengan model
lama.
Maka guru
harus menjadi ujung tombak diseminasi informasi dan memastikan mereka
benar-benar siap dengan pembaruan. Akan sia-sia ketika pembaruan dan gong
sudah telanjur dicanangkan, tapi guru justru tidak dipersiapkan dengan baik.
Memang prosesnya akan bertahap, tapi betapa pun guru tidak boleh diremehkan.
Jangan sampai ada anggapan nanti pada saatnya para guru pasti mengikuti
dengan sendirinya.
Diseminasi
informasi kurikulum harus memperhatikan kesenjangan guru di kota dan pelosok
pedesaan. Jangan sampai terjadi, guru yang melek informasi disamakan dengan
guru-guru yang gagap informasi alias gaptek. Sangat mungkin sekolah-sekolah
maju sudah merespons kurikulum baru dalam proses belajar mereka, sementara
sekolah pinggiran cenderung masih bertahan dengan kurikulum yang lama.
Keterlambatan informasi akan terasa pada saat ujian nasional masih
diperlakukan.
Pada era
kurikulum baru, sekolah tidak boleh menambah jumlah mata pelajaran di luar
yang digariskan dalam kurikulum resmi. Bisa jadi Kementerian Pendidikan sudah
mematok hanya ada tujuh mata pelajaran di jenjang SD. Namun, karena desakan
orang tua dan komite sekolah, sekolah menambah mata pelajaran lain yang
dirasa sesuai dengan tuntutan zaman. Kondisi ini tentu semakin membebani
peserta didik.
Peserta didik
harus dibebaskan dari proyek-proyek titipan semacam ini karena mereka bukanlah
obyek. Mereka juga bukan ajang eksperimen. Guru harus berani menolak manakala
pihak luar memaksakan kehendak yang justru membuat pendidikan kian menjadi
beban. Pada kesempatan yang sama, kurikulum baru juga bisa menjadi ajang
bisnis yang menggiurkan. Kurikulum baru menghasilkan proyek buku pelajaran
dan lembar kerja siswa, yang berarti proyek besar.
Guru harus
dibebaskan dari jebakan proyek-proyek semacam ini. Pemerintah harus konsisten
bahwa buku-buku pelajaran akan disediakan dan distribusi ke semua sekolah.
Bukan hanya di sekolah-sekolah pemerintah, tapi juga di sekolah swasta. Tidak
terbayangkan berapa rupiah yang akan beredar manakala proses pengadaan buku
diserahkan kepada sekolah. Pemerintah harus belajar dari buku sekolah
elektronik (BSE) pada masa lalu yang ternyata sulit dilaksanakan.
BSE dijanjikan
murah, mudah, dan transparan, tapi ternyata aksesnya masih perlu Internet,
komputer, listrik, dan printer, yang semuanya pasti lebih mahal dan kurang
praktis. BSE tidak bisa berjalan di berbagai tempat karena kendala listrik
dan ketersediaan akses Internet. Pada masa mendatang, pemerintah harus
memilih perangkat teknologi dalam rangka menyebarluaskan buku-buku pelajaran
secara mudah, murah, dan praktis.
Lebih dari itu, guru-guru harus
diberdayakan. Kurikulum baru akan diterima sebagai tantangan dalam pembaruan
pendidikan manakala proses pengenalan dan sosialisasi benar-benar
"nguwongke" para guru. Seminimal mungkin harus ditekan terjadinya
gejolak di kalangan guru. Dinas pendidikan daerah harus pandai-pandai
"ngemong" guru, karena keberadaan guru pada masa lalu dan sekarang
sudah sangat jauh berbeda. Dinas pendidikan tidak bisa lagi menjadi tukang
perintah, melainkan harus bersama-sama guru dan sekolah melakukan pembaruan.
Jangan sampai sekolah dan guru diperalat dinas pendidikan karena merekalah
agen perubahan yang sesungguhnya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar